BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Reformasi birokrasi yang menjadi salah satu tuntutan
sejak perubahan politik tahun 1998, masih mengalami berbagai kendala dan belum
menampakkan hasil maksimal sesuai harapan masyrakat. Berbagai persoalan
pelayanan kepada publik yang tersendat dan berbelit-belit masih mewarnai dalam
kehidupan birokrasi pemerintahan. Oleh sebab itu, untuk mendukung keberhasilan
reformasi birokrasi diperlukan kepemimpinan yang transparan, agar program-program
pemerintah yang berkaitan dengan upaya meningkatkan kesejahteraan dapat
diketahui secara transparan.
Pola kepemimpinan yang transparan dalam institusi
pemerintah, memang sudah selayaknya untuk dikembangkan sejalan dengan dinamika
reformasi politik yang menekankan perlunya pelayanan kepada publik yang lebih
memadai dan beradab. Terlebih lagi, tidak bisa dinafikan, bahwa pola
kepemimpinan birokrasi di Indonesia cenderung menutup akses informasi bahkan
berupaya untuk merahasiakan setiap pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya.
Dengan bermacam dalih yang dihubungkan dengan rahasia jabatan ataupun rahasia
negara, maka karakter kepemimpinan di badan publik atau milik pemerintah lebih
suka menutup diri dan tidak mau mengeksplorasi informasi yang seharusnya
menjadi hak masyarakat untuk mengetahui.
Perilaku pemimpin yang menutup diri dan tabu untuk
membuka informasi tentang kinerja pemerintah, khususnya yang berkaitan
pelayanan kepada masyarakat, memang cenderung dilembagakan pada masa
pemerintahan Orde Baru. Namun tindakan menutup diri tersebut bukan hal yang
menjadi masalah pada masa itu. Sebab kepemimpinan lebih banyak difokuskan untuk
mengeksplorasi informasi tentang kekuatan pemerintah untuk menguasai rakyat
secara sosial, ekonomi maupun politik. Karena itu, informasi yang dinilai memperlemah
posisi pemerintah, seperti halnya kelambanan dalam memberikan pelayanan publik,
tidak akan dideseminasikan. Tujuannya jelas agar pemerintah tetap memiliki
kekuatan untuk mengendalikan masyartakat. Tetapi di pihak lain, sejumlah
informasi yang seharusnya dapat dipakai sebagai rujukan masyarakat untuk
menilai perilaku aparat pemerintah tidak dapat diketahui secara transparan.
Kepemimpinan dalam lembaga pemerintah ataupun
kepemimpinan birokrasi yang diasumsikan tidak berpihak kepada rakyat, seringkali
dikaitkan dengan kultur feodalisme dalam pemerintahan di Indonesia. Padahal
sesungguhnya birokrasi sendiri, adalah model ideal untuk menjalankan organisasi
dalam rangka mencapai tujuan yang ditetapkan bersama. Tidak bisa diabaikan,
bahwa kapitalisme, terlepas dari asumsi memiliki sejumlah kelemahan, tetapi
dengan prinsip kerja keras untuk melaksanakan birokrasi yang ideal, mampu
meningkatkan produktivitas kerja dan akumulasi modal yang sangat besar. Jadi
birokrasi yang denotatif adalah kerja keras yang terstruktur dengan baik. Bukan
penyimpangan birokrasi konotatif yang seringkali dihubungkan dengan istilah
“birokratis” dalam berbagai urusan dengan pemerintah yang berbelit-belit dan
tidak efisien.
Memasuki reformasi politik, muncul tuntutan untuk
melakukan reformasi birokrasi yang menitikberatkan kepada pelaksanaan
pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Diberlakukannnya
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP)
merupakan upaya penguatan terhadap berbagai aturan lain yang berkaitan dengan
pelaksanaan pemerintahn yang demokratis dan berpihak kepada rakyat. Undang-Undang
KIP dimaksudkan agar badan publik membuka diri terhadap kritik masyarakat.,
atau masyarakat dapat ikut mengawasi jalannya pemerintahan karena dapat
mengetahui kinerja pemerintah yang diumumkan khalayak.
Mencermati kondisi itu, diperlukan kepemimpinan
birokrasi yang dapat menjalankan komunikasi publik secara transparan, agar
semua kegiatan pemerintah dari perencanaan sampai hasil yang dicapai, prosesnya
dapat diketahui oleh rakyat. Memang Undang-Undang KIP mengamanatkan, agar
rakyat ikut mengawasi jalannya pemerintah. Namun untuk melakukan gerakan menuju
pemerintahan yang bersih sesuai dengan prinsip reformasi birokrasi memerlukan
proses yang tidak mudah untuk dilalui. Sebab, kehidupan birokrasi pemerintahan
di Indonesia sudah terperangkap oleh jerat paternalistik yang mengunggulkan
para pemegang otoritas sebagai kelompok dominan di masyarakat. Akibatnya,
birokrasi dalam pemerintahan bukan memposisikan untuk melayani masyarakat,
tetapi justru menempatkan rakyat sebagai pihak yang harus memnberikan berbagai
keistimewewaan terhadap aparat pemerintah beserta sayap-sayap kekuatan
politiknya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian singkat dari latar belakang di atas,
maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Kepemimpinan
Administrasi dan Transparansi?
2. Bagaimana pengaruh Implikasi Organisasi pada
Perilaku Etis?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan pada rumusan masalah tersebut di atas, maka
penulisan ini bertujuan:
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan
kepemimpinan administrasi dan transparansi
2. Untuk mengetahui pengaruh Implikasi
Organisasi pada Perilaku Etis
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Konsep Kepemimpinan Administrasi dan
Transparansi
Pentingnya kepemimpinan dalam organisasi publik di
mana-mana tidak perlu dipertanyakan lagi. Sama halnya dengan tanggung jawab para
administrator publik sebagai pemimpin dan agen moral, untuk meningkatkan
tingkat wacana publik mengenai pelayanan publik itu sendiri. Wacana publik
mengenai pelayanan publik di Amerika sebagian besar negatif, yang dikenal
dengan istilah “birokrat”. Kata tersebut sering digunakan untuk merendahkan birokrasi
yang cenderung mementingkan diri sendiri dan tidak efektif. Terlebih lagi masyarakat
yang kurang memiliki kesadaran terhadap lingkungan yang kompleks dimana fungsi
pelayanan publik tersebut berada. Misalnya, privatisasi umumnya disetujui, akan
tetapi jarang masyarakat menghargai berbagai masalah yang terkait dengan
privatisasi, termasuk biaya dan konsekuensinya, serta isu-isu terkait akuntabilitas
dan kinerja para aparat pemerintah.
Demikian halnya yang terjadi di Indonesia, rendahnya
kualitas pelayanan publik merupakan salah satu sorotan yang diarahkan kepada
birokrasi pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Perbaikan
pelayanan publik di era reformasi merupakan harapan seluruh masyarakat, namun
dalam perjalanan reformasi, ternyata tidak mengalami perubahan yang signifikan.
Berbagai tanggapan masyarakat justru cenderung menunjukkan bahwa berbagai jenis
pelayanan publik mengalami kemunduran yang utamanya ditandai dengan banyaknya
penyimpangan dalam layanan publik tersebut. Sistem dan prosedur pelayanan yang
berbelit-belit, dan sumber daya manusia yang lamban dalam memberikan pelayanan,
mahal, tertutup, dan diskriminatif serta berbudaya bukan melayani melainkan
dilayani juga merupakan aspek layanan
publik yang banyak disoroti. Rendahnya kualitas pelayanan publik yang
dilaksanakan oleh sebagian aparatur pemerintahan atau administrasi negara dalam
menjalankan tugas dan fungsinya. Kondisi ini karena di dalam kerangka hukum
administrasi positif Indonesia saat ini telah diatur tentang standar minimum
kualitas pelayanan, namun kepatuhan terhadap standar minimum pelayanan publik
tersebut masih belum termanifestasikan dalam pelaksanaan tugas aparatur
pemerintah.
Menurut Garofalo dan Geuras dalam Raymond (2009:69),
bahwa pelayan publik yang paling berpengalaman dan siap untuk meningkatkan
tingkat wacana serta pemahaman tentang program tertentu dan fungsi dalam
pelayanan publik itu sendiri. Tapi perspektif budaya di tingkat masyarakat, serta
penekanan pada kepatuhan terhadap integritas pada organisasi dan tingkat
individu, terkadang menjadi penghambat dari pemenuhan tanggung jawab
administrasi tersebut. Sedangkan menurut Rasyid (1998:42) pemerintahan pada
hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk
melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan
kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyaraakat mengembangkan kemampuan
dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama. Karenanya birokrasi publik
berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan layanan baik dan
profesional.
1. Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan secara harfian berasal dari kata pimpin.
Kata pimpin mengandung pengertian mengarahkan, membina atau mengatur, menuntun
dan juga menunjukkan ataupun mempengaruhi. Pemimpin mempunyai tanggung jawab
baik secara fisik maupun spiritual terhadap keberhasilan aktivitas kerja dari
yang dipimpin, sehingga menjadi pemimpin itu tidak mudah dan tidak akan setiap
orang mempunyai kesamaan di dalam menjalankan ke-pemimpinannya.
Menurut Wahjosumidjo (2005:17) kepemimpinan
diterjemahkan ke dalam istilah sifat-sifat, perilaku pribadi, pengaruh terhadap
orang lain, pola- pola, interaksi, hubungan kerja sama antar peran, kedudukan
dari satu jabatan administratif, dan persuasif, dan persepsi dari lain-lain
tentang legitimasi pengaruh. Sedangkan menurut Thoha (2010:9) kepemimpinan
adalah kegiatan untuk memengaruhi perilaku orang lain, atau seni memengaruhi
perilaku manusia baik perorangan maupun kelompok.
Kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang sangat
penting dalam suatu organisai karena sebagian besar keberhasilan dan kegagalan
suatu organisasi ditentukan oleh kepemimpinan dalam organisasi tersebut.
Menurut Turney (1992) dalam Yamin dan Maisah (2010:74) mandefinisikan
kepemimpinan sebagai suatu proses yang dilakukan oleh seseorang dalam mengelola
dan menginspirasikan sejumlah pekerjaan untuk mencapai tujuan organisasi
melalui aplikasi teknik-teknik manajemen.
Terry (dalam Thoha, 2010:5) mengartikan bahwa
Kepemimpinan adalah aktivitas untuk mempengaruhi orang-orang supaya diarahkan
mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam
menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai
tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
kepemimpinan merupakan cara seorang pemimpin dalam mempengaruhi bawahan dengan
karakteristik tententu sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Faktor
keberhasilan seorang pemimpin salah satunya tergantung dengan teknik
kepemimpinan yang dilakukan dalam menciptakan situasi sehingga menyebabkan
orang yang dipimpinnya timbul kesadarannya untuk melaksanakan apa yang
dikehendaki. Dengan kata lain, efektif atau tidaknya seorang pemimpin
tergantung dari bagaimana kemampuannya dalam mengelola dan menerapkan pola
kepemimpinannya sesuai dengan situasi dan kondisi organisasi tersebut.
2. Etika Kepemimpinan
Pada dasarnya setiap individu memiliki kepentingan yang
berbeda-beda, oleh karenya diperlukan sebuah aturan-aturan yang mampu
meminimalisir gesekan antar kepentingan tersebut. Demikian halnya dalam sebuah
organisasi, selain adanya aturan tertulis, diperlukan juga aturan tidak
tertulis yang mengatur hubungan antar rekan kerja untuk memastikan tercapainya
tujuan organisasi tersebut.
Etika kepemimpinan merupakan cara-cara yang dianggap
benar secara umum oleh sekelompok masyarakat dalam upaya untuk mempengaruhi
orang lain untuk mencapai suatu tujuan bersama yang dimiliki oleh suatu
organisasi. Nilai yang terpenting dalam etika kepemimpinan adalah nilai-nilai
moral dimana seorang pemimpin yang visioner adalah pemimpin yang memiliki
beberapa kriteria antara lain:
1. Memiliki kompetensi untuk mewujudkan visi
organisasi secara bersama-sama dengan SDM yang dipimpinnya.
2. Memiliki kemampuan rethinking future
3. Mampu menggerakkan seluruh potensi yang
dimiliki organisasi
4. Mempunyai kewibawaan sehingga mampu
membangun semangat setiap pribadi untuk mengambil bagian dalam mewujudkan
tujuan
Adapun syarat-syarat pemimpin yang beretika antara
lain:
1. Memiliki hati nurani yang baik
2. Memiliki komitmen terhadap etika keutamaan
3. Memiliki etika kewajiban (Yusuf dkk, 2012)
Lebih lanjut menurut Yusuf dkk (2012) komponen-komponen
dari etika kepemimpinan adalah sebagai berikut:
1. Ethical
communication
Pemimpin yang beretika akan menerapkan standar kejujuran untuk
setiap bawahan yang dipimpinnya.
2. Ethical
Quality
Seorang pemimpin yang beretika paham bahwa ada tiga factor
yang menentukan tingkat kompetitifnya suatu organisasi, yaitu produk yang
berkualitas, pelayanan pelanggan yang berkualitas dan pengiriman yang
berkualitas.
3. Ethical
Collaboration
Pemimpin yang beretika membutuhkan banyak penasihat. Ia akan
memilih penasihat yang paling unggul di dalam organisasinya dan akan
mempekerjakan beberapa orang penasihat dari luar perusahaan.
3. Agen Moral, Moral Kepemimpinan dan Transparansi
Pada Pelayanan Publik
Tiga konsep yang sangat penting untuk meningkatkan
wacana publik dalam pemerintahan adalah agen moral, kompetensi moral, dan
transparansi. Menurut Garofalo dan Geuras dalam Raymond (2009:70) administrasi
publik adalah hal yang sangat pokok dan bahwa pelayan publik adalah agen moral.
Sedangkan menurut Pfiffner dan Presthus dalam dalam Syafiie (1999:24-25),
administrasi publik adalah suatu proses yang bersangkutan dengan pelaksanaan
kebijakan-kebijakan pemerintah, pengarahan kecakapan teknik-teknik yang tidak
terhingga jumlahnya, memberikan arah dan maksud terhadap usaha sejumlah orang.
Sebagaimana yang diuraikan oleh Garofalo dan Geuras
dalam Raymond (2009:70) bahwa dalam konteks ini pelayan publik memiliki
beberapa peran kepentinngan dan prioritas yang sangat banyak juga. Pelayan
publik memiliki peran sentral, dimana peranan moral merupakan suatu hal yang
mendasar untuk legitimasi administrasi publik. Pada akhirnya, administrasi
publik menyajikan nilai-nilai sosial, dan menyangkut pembenaran dari tujuan dan
sarana dimana nilai-nilai tersebut berlaku. Hal tersebut adalah dasar dari
administrasi publik sebagai legitimasi moral dalam pemerintahan.
Lebih lanjut Garofalo dan Geuras (2005) dalam Raymond
(2009:70) berpendapat bahwa legitimasi moral tidak cukup untuk kepemimpinan
layanan publik yang efektif. Ini harus disertai dengan kompetensi moral, yang
merupakan dimensi kunci dari keterampilan profesional yang diperlukan baik oleh
pemerintahan. Gambaran kedua dari
Kenneth Winston (2003) dalam Raymond (2009:70) terkait analisis etika terpadu
menjelaskan bahwa individual, karakteristik kelembagaan dan kapasitas, didasarkan
pada sifat moral demokrasi. Serta kesetiaan kepada publik, keyakinan pengambilan
keputusan, dan pelaksanaan kebijaksanaan yang bertanggung jawab mendukung
secara sah moral dan kompeten moral kepemimpinan pelayanan publik. Garofalo dan
Geuras 2005, dalam Raymond (2009:70).
Sesuai dengan gambaran dari Moore (1995) dalam Raymond
(2009:70) pelayanan publik, bukan hanya mencari nilai publik, menggunakan
inisiatif dan penilaian, akan tetapi juga menjadi responsif terhadap otoritas
politik, kita membayangkan kepemimpinan pelayanan publik yang mengartikulasikan
nilai-nilai, mengembangkan visi, kejelasan, dan keyakinan termasuk kompetensi
moral, (Garofalo dan Geuras dalam Raymond (2009:70). Ini adalah kepemimpinan
yang memerlukan kebijaksanaan, pilihan sulit, dan keterbukaan. Pegawai negeri
adalah pelaku moral dimana kebijaksanaan dan keputusan menuntut penerapan
pertimbangan moral dalam kebijakan dan manajemen, daripada hanya sekedar
ketaatan kepada perintah secara hirarkis. Meskipun hal ini tidak mengecualikan
kebutuhan hukum, kode, dan sanksi, dan legalistik ini merupakan hal yang
penting dalam kepemimpinan moral.
Konsep terakhir untuk meningkatkan wacana publik dan
tata kelola adalah transparansi. Transparansi dibangun atas dasar arus
informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga, dan
informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan
informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.
Menurut Raymond (2009:70) Transparansi adalah instrumental dan nilai normatif, baik
dimaksudkan untuk meningkatkan informasi kepada warga untuk memfasilitasi
pilihan yang lebih efektif dan untuk memastikan akuntabilitas yang lebih besar,
dan dirancang untuk berkontribusi terhadap tata kelola yang sah dengan membantu
untuk menyelesaikan masalah utama. Sedangkan menurut Menurut Hafiz (2000:40)
Transparansi adalah Keterbukaan dan kejujuran kepada masyarakat berdasarkan
pertimbangan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengetahui secara terbuka dan
menyeluruh atas pertanggungjawaban pemerintahan dalam sumber daya yang dipercayakan
kepadanya dan ketaatannya pada peraturan perundang-undangan.
Lebih lanjut menurut Andrianto (2007:20) Transparansi
adalah Keterbukaan secara sungguh-sungguh, menyeluruh, dan memberi tempat bagi
partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam proses pengelolaan
sumber daya publik. Namun penerapan transparansi dalam keadaan tertentu sering
bertentangan dengan nilai-nilai atau kepentingan lainnya. Sebagai contoh,
pengungkapan data dapat membahayakan privasi, keamanan publik, atau hak milik informasi.
Oleh karena itu, keterampilan yang dibutuhkan untuk menafsirkan dan menerapkan
informasi dan untuk membedakan kegunaan transparansi dalam situasi tertentu
merupakan elemen penting dalam pemerintahan. (Fenster et al dalam Raymond,
2009:70). Raymond (2009:70-71) berpendapat bahwa keterampilan pelayan publik
merupakan hal pokok yang didasarkan atas kesadaran moral dan kompeten untuk
melakukan pekerjaan mereka dan untuk berkontribusi pada peningkatan wacana
publik dan kualitas keputusan publik.
4. Indikator Transparansi Pada Pelayanan Publik
Prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap
orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni
informasi mengenai kebijakan, proses pembuatan, pelaksanaan, dan hasil yang
dicapai.
Prinsip ini menekankan kepada 2 (dua) aspek, yaitu:
a. Komunikasi publik oleh pemerintah.
b. Hak masyarakat terhadap akses informasi.
Menurut Krina (2003:17) Indikator-indikator dari
Transparansi adalah sebagai berikut:
a. Penyediaan informasi yang jelas tentang
tanggung jawab;
b. Kemudahan akses informasi;
c. Menyusun suatu mekanisme pengaduan jika ada
peraturan yang dilanggar atau permintaan untuk membayar uang suap; dan
d. Meningkatkan arus informasi melalui kerjasama
dengan media massa dan lembaga non pemerintah.
5. Membingkai Kepemimpinan Administrasi dan
Transparansi
Sama seperti kolaborasi antara warga dan pegawai negeri
sangat penting untuk penciptaan wacana publik dan penilaian masyarakat,
demikian juga kolaborasi antara pegawai negeri, akademisi, asosiasi profesi,
dan kelompok kepentingan umum penting untuk membingkai hubungan antara
kepemimpinan administrasi dan transparansi. Hal yang mendasar untuk proses ini
adalah revitalisasi saling percaya, perjanjian antara administrator publik,
seperti perserikatan warga dengan kita semua, dan masyarakat umum. Dalam hal ini,
Garofalo dan Geuras dalam Raymond (2009:74) mengusulkan konsep yang mirip
dengan Benjamin Barber (1998) yang disebut forum sipil nasional dimana pidato umum
dan argumen politik yang wajar antara geografis dan penyebaran ekonomi
masyarakat menjadi mungkin.
Hal tersebut menurut Barber dalam Raymond (2009:74)
adalah sebuah keuntungan dalam forum tersebut termasuk percakapan horizontal
antara warga negara dan bukan percakapan vertikal yang lebih khusus antara
warga dan elit. Musyawarah yang berlangsung bukan peristiwa tunggal; dan
kemungkinan penggunaan media interaktif untuk memungkinkan dialog sebagai bentuk
penentangan, misalnya, dominasi komersial proses pemilu. Hal tersebut
bermanfaat untuk pertimbangan serius, sepanjang dengan pertimbangan pelayan publik
sebagai agen moral dalam wacana publik. Peran baru yang lebih sentral, kesadaran
moral dan kompetensi moral administrator publik akan menjembatani kesenjangan
antara warga dan para tenaga ahli dengan mewujudkan kualitas baik dan
memberikan kontribusi perhatian secara jelas untuk nilai-nilai serta informasi
teknis dan kemampuan yang diperlukan untuk penilaian kebijakan informasi.
Panggilan untuk pegawai negeri adalah kebutuhan untuk
administrator publik untuk bertindak secara etis. Konteks ini adalah pada
kapasitas organisasi pemerintah yang mempengaruhi pelaksanaan diskresi kekuasaan
pegawai negeri (Bailey et al dalam Raymond, 2009:77). konflik antara
nilai-nilai organisasi, misi dan tujuan dari organisasi publik dapat
menyebabkan perilaku menyimpang dalam batas-batas organisasi.
Sebuah pertanyaan kunci: mengapa orang-orang dalam
organisasi publik melakukan hal-hal yang mereka tidak akan pernah melakukannya
sendiri? Organisasi dimana orang bekerja dan didorong untuk mengaktualisasikan
diri melalui motivasi dan sosialisasi dengan individu lainnya. Kepatuhan
terhadap otoritas menjelaskan sebagian perilaku yang ditemukan di dalam
organisasi publik. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Milgram 1974 dalam
Raymond (2009:77) menemukan bahwa sebagian besar penduduk Amerika mungkin
cenderung untuk mematuhi otoritas, bahkan ketika melakukan hal itu melibatkan
tindakan yang tampaknya berbahaya bagi orang lain. Penelitian tersebut berusaha
untuk memberikan daya prediksi apakah kontrol etika bekerja. Penelitian yang
dilakukan tersebut mengisi kekosongan dalam literatur dengan membangun hubungan
penting antara budaya organisasi publik dan perilaku etis.
Cohen dalam
Raymond (2009:77) menjelaskan bahwa pengaturan etika yang paling kondusif dan
prediksi tanggung jawab perilaku moral dalam organisasi administrasi publik
membutuhkan perilaku. Menurut Cohen dalam Raymond (2009:77) Perilaku etis secara
sengaja melibatkan tindakan tanggung jawab, menghormati implisit dan eksplisit
kontrak sosial, dan berusaha untuk mencegah, menghindari atau memperbaiki
kerusakan. Khususnya dalam konteks organisasi, perilaku ini juga termasuk memperkenalkan
goodwill (kelakuan baik) dalam jangka
panjang dan melintasi batas-batas kelompok dan menghormati kebutuhan orang lain
baik di dalam maupun di luar perusahaan.
1. Pengaruh Etika Organisasi
Waldo (1974) dalam Raymond (2009:78) menjelaskan bahwa tanggung
jawab public managers menghadirkan dua prinsip yaitu individu dan organisasi
merupakan dilema etika yang dihadapi oleh pelayan publik. Pendekatan organisasi
dalam paradigma birokrasi tradisional administrasi publik akan panggilan etika
ditegakkan oleh otoritas birokrasi (Fox et al dalam Raymond, 2009:78). Otoritas
etika ditegakkan dalam menciptakan birokrasi hierarkis yang tersusun untuk mengarahkan
administrator publik dengan aturan dan kontrol koordinasi dengan tenaga ahli
menggunakan prinsip-prinsip ilmiah (Gulick et al dalam Raymond, 2009:78).
Kontras model birokrasi rasional berpendapat pendekatan
tanggung jawab merupakan langkah kunci dalam mengukur pengendalian etis. Sedangkan
teori Postmodern mendukung desentralisasi lembaga pemerintah dan kekuatan
akuntabilitas dan responsibilitas untuk tingkat yang lebih rendah dalam rantai
kepemimpinan. dimana akuntabilitas berpusat pada kontrol eksternal, sedangkan
responsibilitas berfokus pada pengendalian internal. Pembagian kekuasaan yang
lebih membutuhkan kebijaksaaan yang lebih besar dalam alokasi tugas dan
panggilan untuk partisipasi eksternal yang lebih besar pada bagian dari
masyarakat untuk memegang pemimpin publik yang bertanggung jawab dan untuk
menciptakan ketergantungan pada kelompok eksternal (Gortner dalam Raymond, 2009:78).
Gerakan administrasi publik terhadap akuntabilitas diri
menunjukkan perlunya mempertimbangkan kontrol internal organisasi. Cooper dalam
Raymond (2009:78) menyatakan bahwa struktur dan budaya organisasi memberikan
nilai terhadap keputusan langsung dan tindakan pegawai negeri. Budaya
organisasi adalah asumsi dasar dan keyakinan yang dimiliki oleh anggota
organisasi (Schein dalam Raymond, 2009:78). Namun iklim organisasi berbeda,
dari budaya organisasi (Cullen et al dalam Raymond, 2009:78). Menurut Ott
(1989) dalam Raymond (2009:78) perilaku individu terjadi dalam lingkungan
psikologis didasarkan pada iklim organisasi. Norma-norma individu mempengaruhi
iklim organisasi dan berkembang menjadi institusi sistem yang dikenal oleh
anggota organisasi. Iklim etika organisasi adalah kumpulan persepsi bersama
tentang apa yang merupakan etika yang benar masalah perilaku dan bagaimana
etika harus ditangani (Victor dan Cullen dalam Raymond, 2009:79).
2. Definisi Organisasi Publik
Organisasi publik melayani peran dalam memberikan
pelayanan publik dan menciptakan serta melaksanakan kebijakan publik. Peran ini
melampaui masalah efisiensi dan efektivitas dan termasuk nilai-nilai
kesetaraan, keadilan, dan transparansi (Appleby et all dalam Raymond, 2009:79).
Otoritas politik
menyiratkan kepemilikan publik, yang pada gilirannya memberikan perbedaan yang
jelas dengan organisasi swasta melalui pendekatan tujuan kontrol organisasi.
Apalagi, nilai demokrasi yang melekat dalam organisasi publik dan nilai-nilai
berbasis pasar yang melekat dalam organisasi swasta memaksakan tantangan
manajemen yang berbeda secara signifikan untuk bidang-bidang seperti
pengambilan keputusan dan sistem penghargaan karyawan (Box 1999 dalam Raymond,
2009:79).
Raymond (2009:79) mendefinisikan organisasi publik
sebagai kolektif individu beroperasi dalam batas yang mendefinisikan orang
dalam dan orang luar. Pegawai pemerintah beroperasi dalam sistem kegiatan dan koordinat
untuk mencapai tujuan kebijakan khusus, merefleksikan nilai-nilai demokrasi,
keadilan sosial, dan tanggap terhadap warga. Kegiatan berada di bawah kendali
entitas politik yang menciptakan hasil yang diharapkan untuk proses, produk,
atau jasa. Ekspektasi perilaku yang ada dalam proses sosialisasi dalam batas-batas
yang ditetapkan organisasi.
Lebih lanjut menurut Siagian, (2006:6), menjelaskan
organisasi sebagai “Setiap bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih yang bekerja
bersama serta secara formal terikat dalam rangka pencapaian suatu tujuan yang
telah ditentukan dalam ikatan yang terdapat seorangatau beberapa orang yang
disebut atasan dan seorang atau sekelompok orang yang disebut bawahan”.
Definisi di atas menunjukkan bahwa orgaisasi dapat
ditinjau dari dua segi
pandangan, yaitu ebagai
berikut:
a. Organisasi sebagai wadah di mana
kegiatan-kegiatan administrasi dijalankan.
b. Organisasi sebagai rangkaian hierarki dan
interaksi antara orang-orang dalam suatu ikatan formal.
Menurut Dimock dalam Tangkilisan (2005:132),
mendefinisikan organisasi sebagai suatu cara yang sistematis untuk memadukan
bagian-bagian yang saling tergantung menjadi suatu kesatuan yang utuh dimana
kewenangan, koordinasi, dan pengawasan dilatih untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan. Sedangkan menurut Waldo dalam Syafie dengan (2004:96), menjelaskan
bahwa “Organisasi sebagai suatu struktur dan kewenangankewenangan dan kebiasaan
dalam hubungan antar orang-orang pada suatu sistem administrasi”.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas, dapat
disimpulkan organisasi antara lain adalah sebagai berikut:
a. Wadah atau tempat terselenggaranya
administrasi;
b. Di dalamnya terjadi hubungan antar individu
atau kelompok, baik dalam organisasi itu sendiri maupun keluar organisasi;
c. Terjadi kerja sama dan pembagian tugas dalam
organisasi tersebut;
d. Berlangsungnya proses aktivitas berdasarkan
kinerja masing-masing.
Lebih lanjut menurut Muhammad, (2004:29) menjelaskan
bahwa tiap organisasi disamping mempunyai elemen yang umum juga mempunyai
karakteristik organisasi yang umum diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Dinamis, disebabkan karena adanya perubahan
ekonomi, kondisi sosial dan teknologi;
b. Memerlukan informasi, dan melalui proses
komunikasi;
c. Mempunyai maksud dan tujuan tertentu;
d. Testruktur, organisasi dalam usaha mencapai
tujuan biasanya membuat aturan-aturan, undang-undang dan hierarki hubungan
dalam organisasi.
3. Konseptualisasi Budaya dan Iklim Organisasi
Inti dari budaya organisasi terletak pada pola yang
mendasari asumsi, keyakinan, dan nilai-nilai dan tidak dalam perilaku terbuka.
Schein (1992) dan Ott (1989) dalam Raymond (2009:79) menjelaskan bahwa fokus
definisi budaya organisasi berada disekitar komponen kognitif dari pola asumsi
dasar bersama dipelajari oleh anggota organisasi dalam menanggapi masalah
adaptasi eksternal dan integrasi internal.
Menurut Ott dan Schein dalam Raymond (2009:79) Teori organisasi
menekankan nilai-nilai, norma-norma, ritual, dan mitos bersama oleh anggota
organisasi saat menjelaskan budaya organisasi. Mereka melihat budaya dalam suatu
organisasi sebagai variabel mirip dengan strategi atau struktur. Tiga teori
organisasi budaya perspektif, integrasi, diferensiasi, dan fragmentasi,
membantu menjelaskan perbedaan pendekatan untuk berteori budaya organisasi
(Martin, dalam Raymond, 2009:79). Menurut Ott dan Schein dalam Raymond
(2009:80) mendefinisikan budaya organisasi sebagai organisasi yang terlihat
elemen, nilai-nilai dan asumsi tersembunyi yang menyediakan aturan perilaku
untuk anggotanya. Konsensus pada unsur-unsur yang terlihat, nilai-nilai dan
asumsi menghubungkan anggota organisasi. Perbedaan pendapat tidak mengecualikan
organisasi anggota karena beberapa arti oleh masing-masing anggota.
Iklim organisasi adalah arena dimana perilaku individu
terjadi (Barker dan Ott dalam Raymond, 2009:80). Perilaku ini berevolusi
menjadi sistem kelembagaan yang dikenal oleh anggota organisasi dan memberikan
sinyal untuk perilaku yang benar (Victor dan Cullen 1987). Berlaku persepsi
karyawan organisasi sinyal mengacu pada perjanjian umum di antara anggota
perusahaan tentang apa praktik dan prosedur organisasi benar-benar berarti
dalam hal yang diharapkan perilaku (Vidaver-Cohen 1988).
Moran dan Volkwein (1986) dalam Raymond (2009:80)
menjelaskan bahwa iklim organisasi beroperasi di tingkat sikap dan perilaku
aktual sedangkan budaya beroperasi pada dasar asumsi dan nilai-nilai. Oleh
karena itu iklim organisasi, adalah pola perilaku oleh anggota organisasi
berdasarkan harapan perilaku.
4. Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Perilaku
Etis Seseorang
Budaya organisasi menurut Schein dalam Sobirin
(2007:132) adalah pola asumsi dasar yang dianut bersama oleh sekelompok orang
setelah sebelumnya mereka mempelajari dan meyakini kebenaran pola asumsi
tersebut sebagai cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang berkaitan
dengan adaptasi eksternal dan integrasi internal, sehingga pola asumsi dasar
tersebut perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar
untuk berpersepsi, berpikir dan mengungkapkan perasaannya dalam kaitannya
dengan persoalan-persoalan organisasi.
Budaya organisasi sangatlah penting untuk dipahami
karena budaya organisasi dapat mempengaruhi cara orang dalam berprilaku dan
harus menjadi patokan dalam setiap program pengembangan organisasi dan
kebijakan yang diambil. Hal ini terkait dengan bagaimana budaya itu
mempengaruhi organisasi dan bagaimana suatu budaya itu dapat dikelola oleh
organisasi.
Budaya perusahaan pada dasarnya mewakili norma-norma
perilaku yang diikuti oleh para anggota organisasi, termasuk mereka yang berada
dalam hierarki organisasi. Bagi organisasi yang masih didominasi oleh pendiri,
maka budayanya akan menjadi wahana untuk mengkomunikasikan harapan-harapan
pendiri kepada para pekerja lainnya. Demikian pula jika perusahaan dikelola
oleh seorang manajer senior otokratis yang menerapkan gaya kepemimpinan top down. Disini budaya juga akan berperan
untuk mengkomunikasikan harapan-harapan manajer senior itu.
Isu dan kekuatan suatu budaya memengaruhi suasana etis
sebuah organisasi dan perilaku etis para anggotanya. Budaya sebuah organisasi
yang punya kemungkinan paling besar untuk membentuk standar dan etika tinggi
adalah budaya yang tinggi toleransinya terhadap risiko tinggi, sedang, sampai
rendah dalam hal keagresifan, dan fokus pada sarana selain itu juga hasil.
Manajemen dapat melakukan beberapa hal dalam
menciptakan budaya yang lebih etis, yaitu:
a.
Model peran yang visibel
Karyawan akan melihat sikap dan perilaku
manajemen puncak (Top Management)
sebagai acuan/landasan standar untuk menentukan perilaku dan tidakan-tindakan
yang semestinya diambil.
b. Komunikasi harapan etis ambiguitas
Etika dapat diminimalisir dengan menciptakan dan
mengkomunikasikan kode etik organisasi.
c. Pelatihan etis
Pelatihan etis digunakan untuk memperkuat standar, tuntunan
organisasi, menjelaskan praktik yang diperbolehkan dan yang tidak, dan
menangani dilema etika yang mungkin muncul.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan singkat dari makalah tersebut
terkait kepemimpinan administrasi dan transparansi serta pengaruh organisasi
terhadap perilaku etis, maka dari itu penulis dapat menyimpulkan yaitu:
1. Hal yang mendasar untuk membingkai hubungan
antara kepemimpinan administrasi dan transparansi adalah revitalisasi saling
percaya, perjanjian antara administrator publik dengan masyarakat melalui forum
sipil nasional.
2. Budaya organisasi adalah prediktif perilaku
etis, inovasi kepemimpinan, dan untuk tingkat kohesi yang lebih rendah,
tampaknya dimensi budaya organisasi merupakan kunci dalam hal mengembangkan
etika iklim, dan menciptakan norma-norma organisasi dan memprediksi perilaku
etis.
DAFTAR
PUSTAKA
Andrianto,
Nico, 2007. Transparasi dan Akuntabilitas
Publik Melalui e-Government. Malang: Bayumedia Publishing.
Hafiz,
Abdul Tanjung, 2000. Akuntansi,
Transparansi, dan Akuntabiltas Keuangan Publik (Sebuah Tantangan). Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Krina,
Loina L, 2003. Indikator Dan Alat Ukur
Prinsip Akuntabilitas, Transparasi dan, Partisipasi. Jakarta: BAPENAS 9.
Muhammad,
Arni, 2004. Komunikasi Organisasi.
Jakarta: Bumi Aksara.
Rasyid,
Muhammad Ryaas, 1998. Desentralisasi
Dalam Menunjang Pembangunan Daerah dalam Pembangunan Administrasi Di Indonesia.
Jakarta: Pustaka LP3ES.
Raymond,
W Cox III, 2009. Ethics and Integrity in Public Administration; Concepts and
Cases. New York: M.E.Sharpe Armonk.
Siagian,
Sondang. P, 2006. Sistem Informasi
Manajemen. Jakarta :PT. Bumi Aksara.
Sobirin,
Achmad, 2007. Budaya Organisasi.
Yokyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN.
Syafiie,
Inu Kencana, 1999. Kepemimpinan
Pemerintahan Indonesia. Bandung: Refika Aditama.
Tangkilisan, Hessel Nogi S, 2005. Manajemen Publik. Jakarta: Gramedia
Widia Sarana Indonesia.
Thoha,
Miftah 2010. Kepemimpinan dan Manajemen,
Devisi Buku Perguruan Tinggi.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Wahjosumidjo,
2005. Kepemimpinan Kepala Sekolah.
Jakarta: PT Raja Garfindo Persada.
Yamin,
Martinis dan Maisah. 2010. Standarisasi
Kinerja Guru. Jakarta: Persada Press.
Yusuf, Adian dkk,
2012. Etika Kepemimpinan. Sumber: https://prezi.com/plwximctlmnp/etika-kepemimpinan/ di akses pada tanggal 5 Desember 2014 pada
pukul 14.00 Wita.