Senin, 19 Januari 2015

Menggagas Kinerja Birokrasi Pemerintah dalam Pelayanan Publik

BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
            Birokrasi merupakan instrumen penting dalam masyarakat modern yang kehadirannya tak mungkin terelakkan. Eksistensi birokrasi ini sebagai konsekuensi logis dari tugas utama negara (pemerintahan) untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat (social welfare). Negara dituntut terlibat dalam memproduksi barang dan jasa yang diperlukan oleh rakyatnya (public goods and services) baik secara langsung maupun tidak. Bahkan dalam keadaan tertentu negara yang memutuskan apa yang terbaik bagi rakyatnya. Untuk itu negara mernbangun sistem administrasi yang bertujuan untuk melayani kepentingan rakyatnya yang disebut dengan istilah birokrasi.
            Permasalahan dalam birokrasi pemerintahan pada saat ini antara lain bahwa: birokrasi pemerintah belum efisien, kebijakan belum stabil, dan masih ada praktek penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang. Bidang peraturan perundang-undangan di bidang aparatur negara masih tumpang tindih, inkonsisten, tidak jelas, multi tafsir, pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lain dan pelayanan publik belum dapat mengakomodasi kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Dalam Grand Design dan Road Map Reformasi Birokrasi Birokrasi tahun 2010-2025, salah satu program yang menjadi prioritas nasional adalah program Reformasi Birokrasi. Banyak tantangan yang harus dihadapi dan dicari solusinya. Tantangan dimaksud yaitu bahwa: Reformasi Birokrasi belum mencapai sasaran pembenahan kelembagaan, tatalaksana, manajemen SDM aparatur, akuntabilitas, pengawasan, pelayanan publik, reward and punishment, dan perubahan mind-set dan culture set; belum dikembangkannya sistem monitoring dan evaluasi pelaksanaan Reformasi Birokrasi secara nasional; Reformasi Birokrasi juga belum memiliki grand design dan road map serta di keluarkannya arahan Presiden dan Wakil Presiden untuk melaksanakan Reformasi Birokrasi yang menyeluruh, mendalam, nyata serta menyentuh sendi kehidupan masyarakat.
            Tujuan Reformasi Birokrasi adalah membentuk birokrasi profesional, dengan karakteristik: adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi, bebas dan bersih KKN, mampu melayani publik, netral, berdedikasi, dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara dan sasaran Reformasi Birokrasi yaitu membangun birokrasi yang berorientasi pada hasil (outcomes) melalui perubahan secara terencana, bertahap, dan terintegrasi dari berbagai aspek strategis birokrasi.
            Birokrasi bagi sebagian orang dimaknai sebagai prosedur yang berbelit-belit, menyulitkan dan menjengkelkan. Namun bagi sebagian yang lain birokrasi dipahami dari perspektif yang positif yakni sebagai upaya untuk mengatur dan mengendalikan perilaku masyarakat agar lebih tertib. Ketertiban yang dimaksud adalah ketertiban dalam hal mengelola berbagai sumber daya yang mendistribusikan sumber daya tersebut kepada setiap anggota masyarakat secara berkeadilan. Pendapat yang berbeda tersebut, dapat dipahami dari perspektifnya masing-masing. Bagi yang berpandangan posisif terhadap birokrasi maka baginya birokrasi adalah sebuah keniscayaan. Akan tetapi, bagi mereka yang berpandangan negatif maka birokrasi justru menjadi salah satu penghalang tercapainya tujuan sehingga keberadaan birokrasi harus dihilangkan.
            Birokrasi yang terjadi di Indonesia pada dasarnya dirancang sebagai birokrasi yang rasional dengan pendekatan struktural-hirarkikal (tradisi weberian). Pendekatan Weberian dalam penataan kelembagaan yang berlangsung dalam pendayagunaan aparatur negara hingga dewasa ini, secara klasikal menegaskan pentingnya rasionalisasi birokrasi yang menciptakan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas melalui pembagian kerja hirarkikal dan horizontal yang seimbang, diukur dengan rasio antara volume atau beban tugas dengan jumlah sumber daya, disertai tata kerja yang formalistik dan pengawasan yang ketat.
            Organisasi birokratik adalah salah satu bentuk organisasi yang digunakan oleh pemerintah untuk melaksanakan pelayanan publik. Mengapa demikian?. Bermula ketika Weber mengenalkan pengamatannya tentang bureaucrationally, yang melihat sosok birokrasi sebagai alat yang bermanfaat bagi pelaksanaan rasionalitas terhadap tugas-tugas administrasi sehingga bisa mencapai efisiensi, sungguhpun Weber tidak pernah mendefinisikan birokrasi yang dimaksud secara jelas akan tetapi, hasil pengamatan Weber tersebut kemudian dikukuhkan Hegel yang memandang birokrasi tersebut dapat dijadikan sebagai alat penghubung antara negara dan masyarakat. Sehingga sampai dengan dewasa ini birokrasi pemerintah menjadi alat yang sangat utama dan paling dominan peranannya dalam pelaksanaan tugas-tugas negara.
            Pada era reformasi, birokrasi dituntut untuk berubah sikap dan perilaku agar dapat melayani masyarakat dengan baik. Perubahan -perubahan sosial yang terjadi baik yang berlangsung cepat (revolusi) maupun yang berlangsung dengan lambat (evolusi) menuntut pada organisasi birokrasi untuk dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut, sebab perubahan selalu mengandung unsur perbedaan. Namun, di dalam mengamati kondisi lingkungan masyarakat di mana organisasi birokrasi itu berada, bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan, sebab kondisi lingkungan masyarakat memiliki ciri-ciri spesifik yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Birokrasi sebagai organisasi jenis seperti ini memiliki keterbatasan dalam memberikan pelayanannya pada masyarakat. Berangkat dari keterbatasan inilah biasanya organisasi pelayanan membentuk pola pelayanan yang bagi sebagian masyarakat dianggap tidak masuk akal, persyaratan prosedur yang berbelit dari mekanisme yang ditentukan birokrasi pemerintah dalam mendapatkan pelayannya, dan sebagainya, serta tambah tidak masuk akal lagi kalau kita berharap bahwa birokrasi akan dapat menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi masyarakat.
            Pupusnya harapan masyarakat bahwa birokrasi akan dapat memberikan pelayanan untuk dapat menyelesaikan persoalannya, menyebabkan masyarakat enggan berurusan dengan birokrasi pemerintah terbukti dengan adanya “jalan belakang”, “uang pelicin”, “jalan tol” dan sebagainya yang mereka sebut “birokrasi amplop”, pada intinya memotong prosedur untuk mendapatkan pelayanan atas prosedur yang panjang dari birokrasi pemerintahan itu.
            Buruknya kinerja birokrasi pemerintahan dalam memberikan pelayanan pada masyarakat ini, menggambarkan bahwa betapa kompleks persoalan organisasi birokratik yang begitu mekanistik dihadapkan pada persoalan masyarakat yang begitu heterogen, kondisi demikian menyebabkan organisasi birokrasi membentuk sejumlah pola yang digunakan untuk memberikan pelayanan pada masyarakatnya, seperti: Pertama, adalah pola pelayanan yang sama bagi semua, dalam pola ini terbatas daya serapnya, karena kemampuan pelayanan pemerintah terbatas sehingga tidak bisa digunakan secara sama oleh semua warga negara. Hal ini menyebabkan tipe pelayanan pada pola ini yang pada mulanya untuk semua. Oleh karena keterbatasan yang ada justru merancang pola yang hanya untuk memenuhi kebutuhan sekelompok masyarakat tertentu saja; Kedua, pola pelayanan yang sama secara proporsional bagi semua, dalam pola ini menyarankan suatu distribusi pelayanan yang didasarkan atas suatu ciri tertentu yang berhubungan dengan kebutuhan. Kondisi ini tampak lebih pragmatis sebab pola pelayanan ini menyediakan dasar yang kongkrit dan lebih obyektif untuk dibagikan pada masyarakat. Di sisi lain pola pelayanan ini memungkinkan dapat disediakannya pelayanan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat; Ketiga, adalah pola pelayanan yang tidak sama bagi individu-individu bersesuaian dengan perbedaan yang relevan, dalam pola pelayanan ini perbedaan pelayanan berdasarkan pada cirri-ciri yang dimiliki oleh para penerima pelayanan.
            Menyimak pola pelayanan tersebut di atas, maka akan tampak dua dimensi dalam melihat masalah keadilan distribusi pelayanan organisasi birokrasi pemerintahan pada masyarakatnya. Pertama, memberikan pelayanan di antara orang-orang yang beraneka ragam itu harus ditentukan lebih dahulu kriteria dalam membagikan pelayanan-pelayanan di antara kelompok masyarakat yang berbeda. Kedua, pemberian pelayanan itu harus dilakukan dengan memberikan perlakuan yang sama pada pihak-pihak yang sama. Meskipun demikian, pada realitanya tidak semudah apa yang ditampilkan sebab pola pelayanan tersebut di atas menuntut sejumlah besar informasi dan cara organisasi birokrasi itu menangani informasi tersebut dalam menerapkan distribusi pada pola pelayanannya.
            Pada sisi lain, organisasi birokratik yang begitu mekanistik memiliki keterbatasan kemampuan dalam menyerap informasi dari lingkungan masyarakat yang begitu kompleks. Kondisi seperti inilah yang menyebabkan seringnya terjadi kesalahan dalam kinerja birokrasi itu. Pertama, kurangnya informasi mengenai faktor lingkungan yang bertalian dengan situasi khusus pengambilan keputusan organisasi tersebut. Kedua, ketidakmampuan organisasi itu untuk secara tepat menetapkan kemungkinan mengenai faktor-faktor di lingkungan masyarakat tersebut mampu mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan sebuah unit penentu dalam melaksanakan fungsinya. Ketiga, kurangnya informasi mengenai kerugian yang harus dipikul akibat keputusan atau langkah yang keliru.
            Kekaburan data dan informasi seperti ini justru akan lebih memburukkan kinerja organisasi birokrasi pemerintah tersebut dalam memberikan pelayanannya dan tanpa disadari kelompok tersebut bahwa dirinya telah menjebak organisasi birokrasi itu pada posisi yang sangat dilematis dengan mengaburkan informasi di satu sisi sambil menyalahkan kinerja organisasi birokrasi itu di sisi yang lain. Kondisi ini menunjukkan lingkungan masyarakat di satu sisi menyediakan sumber daya yang sangat diperlukan oleh organisasi birokrasi itu, dan di sisi lain lingkungan masyarakat menawarkan batas dan hambatan bagi aktivitas organisasi birokrasi tersebut. Kondisi tersebut juga menyebabkan organisasi birokratik mengalami kekaburan peran dan fungsinya dalam melakukan tugasnya sebab di posisikan pada posisi yang sangat sulit.
            Masalahnya terletak pada bagaimana masyarakat mampu memposisikan organisasi birokrasi tersebut menjadi pelayan yang baik dengan segala keterbatasan yang ada, bukankah setiap bentuk layanan apapun yang kita terima di dalamnya selalu mengisyaratkan batasan-batasan tertentu di satu sisi sedangkan di sisi lain bagaimana organisasi birokrasi mampu memuaskan semua pihak, bukankah setiap individu dalam masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan yang terbaik, pada posisi seperti ini akan tampak dua kutub yang berseberangan yaitu tuntutan masyarakat akan mendapatkan pelayanan yang terbaik dengan keterbatasan kemampuan organisasi birokrasi sebagai penyedia jasa pelayanan tersebut.
B.   Rumusan Masalah
            Berdasarkan uraian singkat dari latar belakang di atas, maka penulis merumuskan permasalahan pada:
1.    Apa yang dimaksud dengan birokrasi pemerintah?
2.    Bagaimana menggagas kinerja birokrasi pemerintah dalam pelayanan publik?
C.   Tujuan Penulisan
            Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Untuk mengetahui konsep birokrasi pemerintah
2.    Untuk mengetahui gagasan kinerja birokrasi pemerintah dalam pelayanan publik

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.   Konsep Birokrasi Pemerintah
1.    Pengertian Birokrasi
            Birokrasi yang dalam bahasa Inggris disebut bureaucracy berasal dari dua kata yaitu “bureau” yang artinya meja dan “ cratein” berarti kekuasaan. Jadi, maksudnya kekuasaan yang berada pada orang-orang yang ada di belakang meja (Raha, 2014). Menurut Rourke (1978) dalam Azhari (2011:59), mengungkapkan bahwa birokrasi adalah sistem administrasi dan pelaksanaan tugas keseharian yang terstruktur, dalam sistem hierarki yang jelas, dilakukan dengan aturan tertulis, dan dijalankan oleh bagian tertentu yang terpisah dengan bagian lainnya, oleh orang-orang yang dipilih berdasarkan kemampuan dan keahlian di bidangnya. Sedangkan menurut Setiyono (2012:15), birokrasi dapat dipahami secara simpel sebagai aparatur negara, secara praktis, pengertian ini masih sering menimbulkan kontroversi. Pada konsepsi yang paling luas, birokrasi sering disebut sebagai badan/sektor pemerintah, atau dalam konsepsi bahasa Inggris disebut public sector, atau juga public service atau public administration. Konsepsi itu mencakup institusi atau orang yang penghasilannya berasal secara langsung dari uang Negara atau rakyat yang biasanya tercantum dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) atau APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah).
            Lebih lanjut Kristiadi dalam Pasolong (2011:67), mengatakan bahwa birokrasi adalah merupakan struktur organisasi di sektor pemerintah, yang memiliki ruang lingkup tugas-tugas yang sangat luas serta memerlukan organisasi besar dengan sumber daya manusia yang besar pula jumlahnya. Birokrasi yang dimaksudkan untuk penyelenggaraan bernegara, penyelenggaraan pemerintahan termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan umum dan pembangunan, seringkali oleh masyarakat diartikan dalam konotasi yang berbeda. Birokrasi seolah-olah memberi kesan adanya suatu proses panjang yang berbelit-belit apabila masyarakat akan menyelesaikan suatu urusan dengan aparat pemerintah. Sedangkan menurut Thoha (2011:16), birokrasi pemerintah sering kali diartikan sebagai “of-ficialdom” atau kerajaan pejabat. Suatu kerajaan yang raja-rajanya adalah para pejabat dari suatu bentuk organisasi yang digolongkan modern.
            Weber dalam Ali (2012:148), mengatakan bahwa birokrasi itu pada hakikatnya mengandung makna pengorganisasian yang tertib, tertata dan teratur dalam hubungan kerja yang berjenjang serta mempunyai prosedur dalam suatu tatanan organisasi. Birokrasi merupakan lembaga yang memiliki kemampuan besar dalam menggerakkan organisasi karena birokrasi ditata secara formal untuk melahirkan tindakan rasional dalam sebuah organisasi. Birokrasi sebagai suatu bentuk organisasi yang ditandai oleh hierarki, spesialisasi peranan, dan tingkat kompetensi yang tinggi ditunjukkan oleh para pejabat yang terlatih untuk mengisi peran-peran tersebut. Sedangkan Blau dan Meyer dalam Martini (2012:9), birokrasi adalah tipe organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif dengan cara mengkoordinasi secara sistematis teratur pekerjaan dari banyak anggota organisasi. Birokrasi merupakan sistem kerja yang berlaku dalam suatu organisasi (baik publik maupun swasta) yang mengatur secara ke dalam maupun ke luar. Mengatur ke dalam berarti berhubungan dengan hal-hal yang menyangkut hubungan atau interaksi antara manusia dalam organisasi juga antara manusia dengan sumber daya organisasi lainnya. Sedangkan mengatur ke luar berarti berhubungan dengan interaksi antara organisasi dengan pihak lain baik dengan lembaga lain maupun dengan individu-individu. Birokrasi sesungguhnya dimaksudkan sebagai sarana bagi pemerintah yang berkuasa untuk melaksanakan pelayanan publik sesuai dengan aspirasi masyarakat. Birokrasi adalah tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengoordinasi secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang (Kumorotomo, 2009:74).
            Kenyataan empirik menunjukkan bahwa konsep birokrasi yang dipergunakan di Indonesia mengalami kendala-kendala yang terdapat pada birokrasi administrasi publik, pelaksanaan pembangunan berlangsung demikian lamban atau mengalami banyak kegagalan, karena para birokrat dan lembaga usaha swasta  ataupun masyarakat sendiri dapat dikatakan masih terjangkiti penyakit inefisiensi, yang seharusnya mereka masing-masing memperoleh kebebasan untuk menyembuhkan penyakit tersebut dengan menyesuaikan diri dengan tata nilai baru administrasi publik yaitu pelayanan yang efisien kepada pelanggan.
            Berdasarkan uraian dari definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa birokrasi merupakan sistem administratif dan pelaksanaan tugas keseharian yang terstruktur, dalam sistem hierarki yang jelas, dilakukan dengan aturan tertulis, dilakukan oleh bagian tertentu yang terpisah dengan bagian lainnya, oleh orang yang dipilih karena kemampuan dan keahlian di bidangnya. Dalam bidang publik konsep birokrasi dimaknai sebagai proses dan sistem yang diciptakan secara rasional untuk menjamin mekanisme dan sistem kerja yang teratur, pasti, dan mudah dikendalikan.
2.    Makna dan Kategori Birokrasi
            Meskipun secara umum sudah ada penjelasan atau definisi tentang birokrasi, tetapi dalam khasanah ilmu pengetahuan perbedaan pendapat dan pandangan sangat dihargai. Demikian juga dengan perbedaan pandangan tentang birokrasi. Ada beberapa tokoh atau ahli yang memandang birokrasi secara positif, ada juga yang secara negatif, tetapi ada juga yang melihatnya secara netral (value free).
a.    Makna Positif
       Birokrasi yang bermakna positif diartikan sebagai birokrasi legal-rasional yang bekerja secara efisien dan efektif. Birokrasi tercipta karena kebutuhan akan adanya penghubung antara negara dan masyarakat, untuk mengejawantahkan kebijakan-kebijakan negara. Artinya, birokrasi dibutuhkan baik oleh negara maupun oleh rakyat. Tokoh pendukungnya adalah : Max Weber dan Hegel.
b.    Makna Negatif
       Birokrasi yang bermakna negatif diartikan sebagai birokrasi yang penuh dengan patologi (penyakit), organisasi tambun, boros, tidak efisien dan tidak efektif, korupsi, dan lain-lain. Birokrasi adalah alat penindas (penghisap) bagi kaum yang lemah (miskin) dan hanya membela kepentingan orang kaya. Artinya, briokrasi hanya menguntungkan kelompok orang kaya saja. Tokoh pendukungnya adalah : Karl Max dan Harold Laski.
c.    Makna Netral (value free)
       Sedangkan birokrasi yang bermakna netral diartikan sebagai keseluruhan pejabat negara pada cabang eksekutif atau bisa juga diartikan sebagai setiap organisasi yang berskala besar. (Martini, 2012:11-12).
            Berdasarkan perbedaan tugas pokok atau misi yang mendasari suatu organisasi birokrasi menurut Syukur Abdullah dalam Kumorotomo (2009:79) menguraikannya dalam tiga kategori birokrasi sebagai berikut:
a.    Birokrasi pemerintahan umum yaitu rangkaian organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum termasuk memelihara ketertiban dan keamanan dari tingkat pusat sampai daerah (propinsi), kabupaten, kecamatan dan kelurahan/desa. Tugas-tugas tersebut bersifat mengatur.
b.    Birokrasi pembangunan yaitu organisasi pemerintahan yang menjalankan salah satu bidang atau sektor yang khusus guna mencapai tujuan pembangunan, seperti pertanian, kesehatan, pendidikan, dan indusri. Fungsi pokoknya adalah development function atau adaptive function.
c.    Birokrasi pelayanan yaitu unit organisasi yang pada hakikatnya merupakan bagian yang langsung berhubungan dengan masyarakat. Yang termasuk dalam kategori ini antara lain : rumah sakit, sekolah, koperasi, bank rakyat desa, transmigrasi, dan berbagai unit organisasi lainnya yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat atas nama pemerintah, fungsi utamanya adalah service.
3.    Birokrasi dan Politik
            Menurut (Setiyono, 2012:65), birokrasi merupakan organ utama dalam sistem dan kegiatan pemerintahan yang dapat berbuat atas nama negara. Karenanya birokrasi sangat kuat secara politis dan cenderung menjadi “the single authoritarian institution”. Di banyak negara, peranan birokrasi bahkan dipandang memiliki tingkat yang tak terkalahkan dari kelompok-kelompok masyarakat lain. Lebih lanjut Setiyono (2012:66), mengatakan bahwa setidaknya ada 3 (tiga) alas an untuk menilai mengapa birokrasi sangat kuat secara politik, yakni:
a.    Kepemilikan asset sumber kekuasaan;
b.    Peranan birokrasi yang istimewa di tengah masyarakat; serta
c.    Posisi birokrasi yang strategis dalam hubungan penguasa dan rakyat.
            Birokrasi pemerintah tidak bisa dilepaskan dari proses dan kegiatan politik. Pada setiap gugusan masyarakat yang membentuk suatu tata kepemerintahan tidak bisa dilepaskan dari aspek politik ini (Thoha, 2011:26). Politik sebagaimana diketahui bersama terdiri dari orang-orang yang berperilaku dan bertindak politik (consists of people acting politically), yang diorganisasikan secara politik oleh kelompok-kelompok kepentingan dan berusaha mencoba mempengaruhi pemerintah untuk mengambil dan melaksanakan suatu kebijakan dan tindakan yang bisa mengangkat kepentingannya dan mengesampingkan kepentingan kelompok lainnya. Birokrasi pemerintah langsung ataupun tidak langsung akan selalu berhubungan dengan kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat.
            Beetham dalam Azhari (2011:86), mengasumsikan bahwa birokrasi merupakan entitas yang tidak mungkin netral dari ranah politik. Adanya berbagai perbedaan pemikiran-pemikiran dari berbagai ahli terkait hubungan birokrasi dan politik melahirkan pemikiran-pemikiran baru dalam dinamika hubungan birokrasi dan politik. Perbedaan tersebut tidak hanya berlangsung dalam konteks akademik, tetapi juga berlangsung dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan khususnya dalam menempatkan posisi birokrasi.
4.    Intervensi Politik Terhadap Netralitas Birokrasi
             Menurut Azhari (2011:93), intervensi diartikan sebagai upaya yang dilakukan oleh pejabat politik dalam mempengaruhi proses rekrutmen dan promosi birokrat pada jabatan-jabatan birokrasi. Sementara netralitas birokrasi merupakan kondisi terlepasnya birokrasi spoil sistem yang berarti birokrasi bekerja berdasarkan profesionalisme dan kemampuan teknis yang dibutuhkan. Hal demikian seperti yang dikemukakan oleh Setiyono (2012:76), bahwa birokrasi adalah institusi publik yang dibentuk dan dibiayai oleh masyarakat (melalui pajak, rertribusi dan lain-lain pungutan) untuk melayani seluruh lapisan masyarakat, maka birokrasi harus terlepas dari ikatan partai politik maupun golongan. Sedangkan Carino (Dalam Thoha, 2012:48) menjelaskan bahwa hubungan antara pejabat politik (political leadership) dan birokrasi merupakan suatu hubungan  yang konstan (ajeg) antara fungsi kontrol dan dominasi.
            Menurut Setiyono (2012:76), persoalan birokrasi dalam kaitannya dengan politik ini meliputi 2 (dua) hal:
a.    Adanya intervensi partai politik dalam proses rekrutmen dan mutasi jabatan-jabatan birokrasi.
b.    Penggunaan personil, aset-aset dan infrastruktur birokrasi untuk kepentingan politik oleh pihak eksternal birokrasi maupun oleh birokrasi itu sendiri. Sulistiyani dan Rosidah (2009:173), mengungkapkan bahwa kepentingan politik oleh pihak eksternal birokrasi sangat kuat mempengaruhi proses rekrutmen dan mutasi, terutama untuk posisi-posisi yang strategis dalam pemerintahan.
            Intervensi partai politik dalam institusi birokrasi akan mengacaukan tata kerja birokrasi yang harusnya berdasar pada prinsip-prinsip manajemen pemerintahan (public sector management) yang sehat, rasional, dan berdasarkan hukum. Thoha (2010:8), menjelaskan bahwa masalah netralitas birokrasi pemerintah terhadap pengaruh dan intervensi partai politik tampaknya tidak bisa dianggap ringan sekarang ini. Apabila intervensi dilakukan, maka sistem pembinaan pegawai akan rusak, karena pengangkatan pejabat hanya didasari oleh prinsip suka atau tidak suka (like or dislike) disebabkan dalam konteks kepentingan politik, tidak didasari atas pertimbangan kemampuan, kapasitas, dan pengalaman kerja. Sedangkan apabila kita mengacu pada konsep netralitas birokrasi maka sesungguhnya seorang pegawai dalam sebuah instansi diangkat berdasarkan pada profesionalitas kerja dan prestasinya.
            Hal demikian seperti yang dikemukakan oleh Thoha (2010:168), bahwa netralitas birokrasi pada hakikatnya adalah suatu sistem dimana birokrasi tidak akan berubah dalam memberikan pelayanan kepada masternya (dari parpol yang memerintah), biarpun masternya berganti dengan master (parpol) yang lain. Pemberian pelayanan tidak bergeser sedikit pun walaupun masternya berubah. Birokrasi dalam memberikan pelayanan berdasarkan profesionalisme bukan karena kepentingan politik. Sedangkan apabila ditinjau dari dimensi aktor, terjadinya Nondecision Making diakibatkan dari pertentangan internal, disebabkan oleh menguatnya kepentingan individu yang sejalan dengan kepentingan partai politik (Madani, 2012:149).
            Menurut Soekanto (2011:235), penguasa dan pemerintah berusaha untuk membuat peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat. Caranya adalah dengan meyakinkan atau memaksa masyarakat untuk menaati peraturan-peraturan yang telah dibuat oleh badan-badan yang berwenang dan sah. Lebih lanjut Soekanto (2012:237), menjelaskan bahwa cara-cara yang dilakukan juga dapat berupa menghilangkan segenap peraturan-peraturan lama terutama dalam bidang politik, yang merugikan kedudukan penguasa dimana peraturan-peraturan tersebut akan digantikan dengan peraturan-peraturan baru yang menguntungkan penguasa.
5.    Pejabat Politik dan Birokrasi
            Kuatnya konflik kepentingan politik dalam sistem kerja birokrasi menjadi salah satu penyebab lemahnya kompetensi birokrasi di Indonesia. Sehingga optimalisasi pola kepemimpinan yang berkarakter kuat, tegas, serta bertanggung jawab merupakan variabel yang menentukan dalam upaya pengembalian fungsi birokrasi sebagai public servant. Perkawinan antara birokrasi dan partai politik telah melahirkan sistem yang saling melemahkan. Adanya penyakit kronis yang mengakar di birokrasi, yaitu kooptasi partai politik. Dimana di dalam pemilihan umum ataupun pemilihan kepala daerah sarat dengan politik uang. Karena itu, siapapun yang terpilih kelak akan disibukkan untuk “mengembalikan bayaran” kepada pihak-pihak yang telah membantunya ke jabatan tersebut.
            Dana pengembalian itu paling mungkin diambil dari anggaran yang tersedia. Akibatnya terasa betul tensi politik meninggi dalam setiap pilkada karena birokrasi merasa sangat terancam apabila mereka tidak taat atau tidak loyal kepada partai politik dan kandidat terpilih. Selain hal tersebut, perbedaan latar belakang kebutuhan dan kepentingan antara birokrasi dan partai politik juga merupakan suatu masalah. Menurut Tjokrowinoto, dkk (2011:121-122) birokrasi dilatarbelakangi oleh pengalaman profesionalisme dan keahlian di bidangnya masing-masing melalui cara-cara meritokrasi yang merujuk kepada cita-cita untuk menguatkan eksistensi masyarakat melalui penghargaan terhadap beraneka ragam kebutuhan dan kepentingan masyarakat, tanpa melihat simbol-simbol politik di belakangnya. Sedangkan partai politik, dilatarbelakangi oleh pengalaman profesi perjuangan untuk mempengaruhi dan merebut kekuasaan agar bisa memerintah (to govern) serta bahkan berlaku otoriter yang justru melanggar prinsip-prinsip bekerjanya birokrasi.
            Kenyataan lainnya adalah banyaknya birokrasi yang terjebak untuk mendukung salah satu satu calon dengan harapan untuk mendapatkan jabatan. Akhirnya para pejabat politik yang terpilih harus mendudukkan orang-orang yang mendukungnya. Sehingga proses mutasi dan rekrutmen pejabat tidak lagi objektif yang kemudian memperburuk kinerja birokrasi. Hal demikian seperti yang dikemukakan oleh Hardiyansyah (2012:158-159), yang menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang akan menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik wajib mengundurkan diri sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang diajukan secara tertulis kepada Pejabat Pembina Kepegawaian dan tembusannya disampaikan kepada atasan langsung Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan, serendah-rendahnya pejabat struktural eselon IV, pejabat yang bertanggungjawab di bidang kepegawaian instansi yang bersangkutan, dan pejabat yang bertanggung jawab di bidang keuangan yang bersangkutan.
6.    Reformasi Birokrasi
            Secara riil kinerja birokrasi Indonesia memang masih banyak mengecewakan. Dalam survey yang dilakukan oleh Dwiyanto, dkk dalam Setiyono (2012:118), terlihat bahwa nilai capaian kinerja birokrasi dalam hal produktivitas, kualitas layanan, responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas birokrasi kita masih sangat rendah. Bahkan, sebagaimana dikutip oleh Dwiyanto, dkk dalam Setiyono (2012:118) dari The World Competitiveness Yearbook tahun 1999, tingkat indeks Competitiveness birokrasi kita berada pada urutan terendah dari segi kualitas pelayanan publik dibandingkan dengan 100 negara lain di dunia. Hal ini terbukti dari hasil penelitian Dwiyanto, dkk dalam Setiyono (2012:118) bahwa dari segi orientasi pelayanan, birokrasi kita masih cenderung tidak sepenuhnya mencurahkan waktu dan tenaganya untuk menjalankan tugasnya melayani rakyat. Hampir 40% birokrat yang menjadi responden dalam penelitian Dwiyanto, menyatakan bahwa mereka memiliki pekerjaan lain di luar pekerjaannya sebagai aparatur negara. Kondisi ini otomatis mengurangi konsentrasi mereka dalam bekerja.
            Reformasi birokrasi pemerintah tidak mungkin bisa dilakukan tanpa didahului oleh upaya pemerintah melakukan evaluasi atau penelitian terhadap lembaga pemerintahannya. Dari hasil evaluasi ini akan dihasilkan rekomendasi lembaga organisasi mana yang masih efektif dan manapula yang harus di hemat, atau dilakukan penyusunan lembaga yang efektif. Menurut Thoha (2012:85), ada tiga prakondisi yang harus diperhatikan jika nanti menyusun organisasi birokrasi pemerintah yang efektif sesuai dengan tuntutan jaman. Tiga hal itu ialah, pertama semangat desentralisasi dan otonomi sebagai sebuah perwujudan dari sistem pemerintahan yang demokratis. Kedua, perubahan sistem politik yang jauh berbeda dengan keadaan sistem politik di jaman pemerintahan orde baru. Ketiga, krisis ekonomi yang mengakibatkan defisit anggaran, terpuruknya mata uang kita, pengangguran, dan ketergantungan pemerintah pada negara lain.
            Desentralisasi dan otonomi berarti pemerintah lebih banyak memberikan kepercayaan dan pemberdayaan kepada daerah agar mampu berperintahan dan berotonomi mengatasi persoalan-persoalan daerahnya. Campur tangan dan intervensi pemerintah pusat seharusnya tidak segencar di zaman pemerintahan orde baru. Evaluasi peraturan daerah (Perda) tidak hanya mempertimbangkan keinginan pemerintah pusat saja. Akan tetapi, juga mengutamakan aspirasi rakyat daerah.
            Sistem politik yang berubah dari zaman pemerintahan orde baru menyadarkan kita bahwa semakin banyaknya partai politik, maka semakin banyak keinginan partai politik memerintah birokrasi pemerintah. Orang-orang parpol akan menjadi pimpinan lembaga birokrasi pemerintah. Oleh karena itu, perlu diatur sistem hubungan kerja antara jabatan politik, jabatan negara, dan jabatan birokrasi karier pemerintah. Sampai sekarang ini hubungan dari ketiga jabatan tersebut belum ada tanda-tanda diatur. Adapun yang sekarang berlaku adalah cara-cara pemerintahan Pak Harto yang diteruskan oleh pemerintahan yang sekarang ini. Krisis anggaran membuat pemerintah harus berhemat, salah satunya ialah mengevaluasi organisasi pemerintah, mengevaluasi program dan sistem kerja, dan jumlah pegawai yang ada. Besarnya organisasi akan berdampak memperbesar jumlah anggaran belanja pemerintah. Sementara itu program kerja, perjalanan dinas ke luar negeri perlu juga dievaluasi manfaatnya. Kita senantiasa disajikan berita tentang defisit anggaran dari tahun ke tahun akan tetapi pejabatnya kelihatannya tidak menyadarinya bahkan program kerja semakin tidak hemat, kepergian ke luar negeri semakin banyak dilakukan.
            Menurut Ali (2012:174), reformasi birokrasi dilakukan ketika ada persoalan serius yang harus dipecahkan dengan cara yang lebih menyeluruh. Makna reformasi di sini, mestinya tidak dipahami secara parsial sebagaimana selama dilakukan dalam mereformat birokrasi pemerintahan. Dengan kata lain, reformasi birokrasi sebagai bagian tak terpisahkan dari perwujudan administrasi negara yang lebih baik, salah satu diantaranya gerakan reformasi dilakukan untuk mengatasi persoalan korupsi yang melanda birokrasi di dalam sistem administrasi publik. Sedangkan menurut Utomo (2012:206), dalam melakukan reformasi birokrasi di Indonesia perlu adanya planned change, dan yang utama harus difokuskan dalam 3 (tiga) hal: pertama, komitmen dan dukungan dari pimpinan atau atasan (Gubernur, Sekda, assekda, pendek kata eselon I, II); kedua, bahwa bawahan (Eselon III, Staff ke bawah) merasa perlunya reformasi tersebut. Dan yang ketiga, bahwa para pimpinan seharusnya merupakan aktor utama sebagai pe-reform, sebelum dirinya sendiri merupakan bagian yang harus di-reform.
7.    Landasan Reformasi Birokrasi di Indonesia
            Pelaksanaan reformasi birokrasi telah mendapatkan landasan yang kuat melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. Selanjutnya, dalam implementasinya telah ditetapkan landasan operasional dalam bentuk Peraturan Menteri Pemberdayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 20 tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014. Kemajuan yang cukup berarti, dalam tahun 2010, sebanyak 9 kementerian/lembaga telah melaksanakan reformasi birokrasi instansi (RBI). Dengan demikian, saat ini sudah terdapat 13 kementrian/lembaga yang melaksanakan RBI. Dalam rangka meningkatkan koordinasi, menajamkan dan mengawal pelaksanaan reformasi birokrasi, telah ditempuh langkah-langkah kebijakan, antara lain:
a.    Penerbitan Keppres 14 Tahun 2010 tentang Pembentukan Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional, yang disempurnakan menjadi Keppres Nomor 23 Tahun 2010;
b.    Keputusan Menpan dan RB Nomor 355 Tahun 2010 tentang Pembentukan Tim Independen, dan Keputusan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 356 Tahun 2010 tentang Pembentukan Tim Penjamin Kualitas (Quality Assurance).
c.    Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025 mengamanatkan bahwa pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk mendukung keberhasilan pembangunan bidang-bidang lain.
B.   Konsep Kinerja
1.    Pengertian Kinerja
            Kinerja pada dasarnya merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Dalam hal ini, pegawai bisa belajar seberapa besar kinerja mereka melalui sarana informasi seperti komentar baik dari mitra kerja. Namun demikian penilaian kinerja yang mengacu kepada suatu sistem formal dan terstruktur yang mengukur, menilai dan mempengaruhi sifat-sifat yang berkaitan dengan pekerjaan perilaku dan hasil termasuk tingkat ketidakhadiran. Kinerja dalam organisasi merupakan jawaban dari berhasil atau tidaknya tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Para pegawai negri sipil sering tidak memperhatikan kecuali sudah amat buruk atau segala sesuatu jadi serba salah. Terlalu sering para pegawai tidak mengetahui betapa buruknya kinerja telah merosot sehingga organisasi dalam suatu instansi pemerintahan menghadapi krisis yang serius.
            Menurut Murphy dan Clevelend (dalam Pasolong, 2011:175), mengatakan bahwa kinerja adalah kualitas perilaku yang berorientasi pada tugas atau pekerjaan. Sedangkan menurut Parmenter (2010:5), kinerja adalah melakukan suatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggungjawabnya dengan hasil seperti yang diharapkan. Setiap organisasi didirikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan tidaklah bisa dicapai hanya oleh pimpinan atau pendiri organisasi saja akan tetapi pasti membutuhkan dukungan dan partisipasi orang lain atau pegawai. Ketika pegawai direkrut sudah tentu diberikan tanggung jawab pekerjaan yang harus diselesaikan. Apakah tanggung jawab pekerjaan pegawai Saudara telah tercapai? Jawaban pertanyaan ini terkadang terabaikan oleh para pengelola organisasi yang cenderung hanya disibukkan melakukan kegiatan rutinitas dalam menggerakkan roda organisasinya, dan tidak memiliki waktu yang khusus untuk menjawab pertanyaan tersebut. Seberapa besarkah pencapaian kinerja organisasi dalam satu satuan waktu tertentu mungkin juga tidak terjawab dengan pasti karena tidak dilakukan pengukuran dan penilaian kinerja. (Sinambela, 2012:23).
            Suatu kinerja merupakan suatu istilah yang secara umum digunakan untuk sebagian atau seluruh tindakan dari suatu organisasi pada suatu periode dengan referensi pada sejumlah standar seperti biaya masa lalu atau yang diproyeksikan dengan dasar efisiensi, pertanggungjawaban atau akuntabilitas suatu manajemen. Kinerja sendiri mengacu pada kadar pencapaian tugas yang membentuk sebuah pekerjaan karyawan. Kinerja merefleksikan seberapa karyawan memenuhi persyaratan sebuah pekerjaan. Akan tetapi, sering disalahtafsirkan sebagai upaya yang menceminkan energi yang dikeluarkan, dimana kinerja diukur dari segi hasil. (Waluyo, 2013).
            Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai sekelompok orang dalam organisasi dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka mencapai tujuan atau sekumpulan orang dan individu yaitu pegawai negeri yang berada pada badan atau lembaga pemerintah yang menjalankan fungsi atau tugas pemerintahan.
 2.    Indikator Kinerja
            Menurut Dwiyanto (2010:50-51), menjelaskan beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik, yaitu:
a.    Produktivitas
       Karakteristik-karakteristik kepribadian individu yang muncul dalam bentuk sikap mental dan mengandung makna keinginan dan upaya individu yang selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas kehidupannya.
b.    Kualitas layanan
       Banyak pandangan negatif yang terbentuk mengenai organisasi publik, muncul karena ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas layanaan yang diterima dari organisasi publik. Dengan demikian, kepuasan dari masyarakat bisa mejadi parameter untuk menilai kinerja organisasi publik.
c.    Responsivitas
       Kemampuan organisasi untuk mengenali dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Responsivitas perlu dimasukkan ke dalam indikator kinerja karena menggambarkan secara langsung kemampuan organisasi pemerintah dalam menjalankan misi dan tujuannya.
d.    Responsibilitas
       Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit.
e.    Akuntabilitas
       Akuntabilitas publik menunjukkan pada berapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk pada pejabat politik yang dipilih oleh rakyat. Dalam konteks ini, konsep akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat berapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik itu konsisten dengan kehendak masyarakat banyak.
            Sedangkan menurut Kumorotomo (1996) dalam Pasolong (2011:180), menggunakan beberapa indikator kinerja untuk dijadikan pedoman dalam menilai kinerja birokrasi publik, antara lain:
a.    Efisiensi, yaitu menyangkut pertimbangan tentang keberhasilan organisasi pelayanan publik mendapatkan laba, memanfaatkan faktor-faktor produksi serta pertimbangan yang berasal dari rasionalitas ekonomis.
b.    Efektifitas, apakah tujuan yang didirikannya organisasi pelayanan publik tersebut tercapai? hal tersebut erat kaitannya dengan rasionalitas teknis, nilai, misi, tujuan organisasi serta fungsi agen pembangunan.
c.    Keadilan, yaitu mempertanyakan distribusi dan alokasi layanan yang diselenggarakan oleh organisasi pelayanan publik. Kriteria ini erat kaitannya dengan konsep ketercukupan atau kepantasan. Kedua mempersoalkan apakah tingkat efektifitas tertentu, kebutuhan dan nilai-nilai dalam masyarakat dapat terpenuhi. Isu-isu yang menyangkut pemerataan pembangunan, layanan kepada kelompok pinggiran dan sebagainya, akan mampu dijawab melalui kriteria ini.
d.    Daya Tanggap, yaitu berlainan dengan bisnis yang dilaksanakan oleh perusahaan swasta, organisasi pelayanan publik merupakan bagian dari daya tanggap negara atau pemerintah akan kebutuhan masyarakat yang mendesak. Karena itu, kriteria organisasi tersebut secara keseluruhan harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan demi memenuhi kriteria daya tanggap ini.
3.    Pengukuran Kinerja
            Pengukuran kinerja pada dasarnya digunakan untuk penilaian atas keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan kegiatan, program, dan/atau kebijakan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan misi dan visi instansi pemerintah. Pengukuran kinerja mencakup penetapan indikator kinerja dan penetapan pencapaian indikator kinerja. Penilaian kinerja merupakan evaluasi keberhasilan atau kegagalan seseorang dalam menjalankan tugasnya. Jika penilaian kinerja terhadap birokrasi, berarti evaluasi keberhasilan atau kegagalan birokrasi dalam menjalankan tugasnya sebagai pelayan masyarakat. Dessler dalam Pasolong (2011:182), menyatakan bahwa penilaian kinerja adalah merupakan upaya sistematis untuk membandingkan apa yang dicapai seseorang dibandingkan dengan standar yang ada. Tujuannya yaitu untuk mendorong kinerja seseorang agar bisa berada di atas rata-rata. Schuler dkk dalam Rivai dan Basri (2010:197), mengatakan bahwa sistem penilaian kinerja diartikan sebagai suatu proses penilaian kinerja. Dalam pandangan beliau bahwa proses penilaian kinerja dapat digunakan: (1) Pendekatan komparatif; (2) Standar-standar absolute; (3) Pendekatan tujuan; (4) Indeks yang bersifat langsung atau objektif.
            Menurut Pasolong (2011:183), unsur-unsur yang dinilai dalam penilaian pelaksanaan pekerjaan yaitu:
a.    Kesetiaan, yaitu tekad dan kesanggupan untuk mentaati, melaksanakan dan mengamalkan sesuatu yang ditaati dengan penuh kesabaran dan tanggung jawab. Sikap ini dapat dilihat dari perilaku sehari-hari serta perbuatan pegawai dalam melaksanakan tugas.
b.    Prestasi kerja, yaitu hasil kerja yang dicapai oleh pegawai dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. Pada umumnya prestasi kerja dipengaruhi oleh kecakapan, pengalaman dan kesungguhan PNS yang bersangkutan. Sedangkan menurut Cooper dalam Samsudin (2009:159), prestasi kerja adalah tingkat pelaksanaan tugas yang dapat dicapai oleh seseorang, unit, atau divisi dengan menggunakan kemampuan yang ada dan batasan-batasan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan organisasi/perusahaan.
c.    Tanggung jawab, yaitu kesanggupan pegawai dalam menyelesaikan pekerjaan tugas yang diserahkan kepadanya dengan sebaik-baiknya dan tepat pada waktunya serta berani menanggung resiko atas keputusan yang telah diambil atau tindakan yang dilakukannya.
d.    Ketaatan, yaitu kesanggupan pegawai untuk menaati segala peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku, mentaati perintah kedinasan yang diberikan oleh atasan yang berwenang serta kesanggupan untuk tidak melanggar aturan yang telah ditentukan.
e.    Kejujuran, yaitu ketulusan hati pegawai dalam melaksanakan dan kemampuan untuk tidak menyalahgunakan wewenang yang diembannya.
f.     Kerjasama, yaitu kemampuan pegawai untuk kerjasama dengan orang lain untuk menyelesaikan tugas yang ditentukan sehingga mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya.
g.    Prakarsa, yaitu kemampuan pegawai untuk mengambil keputusan langkah-langkah atau melaksanakan semua tindakan yang diperlukan dalam melaksanakan tugas pokok tanpa menunggu perintah dari pimpinan.
h.    Kepemimpinan, yaitu kemampuan untuk mempengaruhi orang lain sehingga dapat diarahkan secara maksimal untuk melaksanakan tugas.
4.    Menggagas Kinerja Birokrasi Pemerintah
            Inti dari reformasi birokasi, harus mengarah pada perbaikan kinerja (hasil). Berikut 7 (tujuh) gagasan kinerja birokrasi dalam reformasi birokrasi khususnya untuk pemerintah daerah, yaitu:
a.    Membangun sistem usulan dan pemantauan hasil pembangunan antara masyarakat dan struktur pemerintahan
       Karena tujuan reformasi birokrasi adalah perbaikan kinerja, sedangkan kinerja dituntut oleh “pemilik” maka yang harus pertama diperbaiki adalah hubungan antara masyarakat sebagai “pemilik” dan struktur pemerintahan sebagai “operator”. Fokusnya adalah hubungan terkait dengan mekanisme aspirasi/usulan kinerja dan mekanisme monitoring kinerja. Yang harus dihasilkan pada gagasan pertama ini adalah satu mekanisme hubungan yang efektif antara masyarakat termasuk kelompok masyarakat sipil, DPRD dan pemerintah dalam mengelola aspirasi masyarakat ke dalam bentuk “mandat” dan memonitor pencapaian dari mandat tersebut. Mandat harus dirumuskan dalam bentuk hasil atau kinerja. Untuk itu ada beberapa hal yang harus dilakukan: (1) Memperbaiki tata tertib DPRD agar lebih transparan; (2)   Memperbaiki hubungan DPRD dengan “konstituennya” sehingga lingkup konstituen menjadi ke wilayahan bukan pada “kelompok yang memilih saya”. (3) Penguatan kompetensi DPRD dalam menjalankan peran perencanaan dan monitoring kinerja yang partisipatif; (4) Penguatan kelompok masyarakat sipil dan kelompok kepentingan lainnya agar dapat mandiri dan juga menjalankan peran fasiltiasi perencanaan dan monitoring kinerja secara partisipatif; (5) Membangun transparansi yang proaktif di pemerintahan; (6)   Memperbaiki hubungan antara unit-unit pelayanan publik dan para pelanggannya terutama agar aspirasi dan keluhan pelanggan diperiksa setiap waktu dan dijadikan masukan untuk perbaikan pengelolaan unit pelayanan publik secara terus menerus.
b.    Mendefinisikan hasil dan anggaran untuk mencapai hasil dalam RPJMD/Renstra
       Sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian Dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, perencanaan daerah bersifat perencanaan kegiatan/program. Hal ini membuat sistem birokrasi sibuk dengan kegiatan dan program tetapi tidak diketahui apa yang dicapai. Pendekatan ini bukan hanya berpotensi membelanjakan dana publik untuk hal yang tidak perlu, tetapi juga membuat struktur birokasi tidak tahu persis apa yang harus dilakukan.
       Setelah Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian Dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah pemerintahan daerah harus berpikir kepada hasil. Merencanakan hasil, menganggarkan untuk hasil, memonitor hasil dan melaporkan hasil. Pemilik (rakyat) tidak terlalu pusing dengan apa yang dilakukan oleh birokrat, para pembayar pajak lebih mementingkan pencapaian hasil. Mereka ingin agar pasar tidak kumuh lagi, jalanan tidak macet lagi, semua anak bersekolah, semua orang yang sakit dapat perawatan, mudah dapat modal usaha dan lain-lain.
     Rumusan hasil harus datang dari warga masyarakat lewat satu mekansime tertentu yang menjamin keterwakilan dan transparansi. Anggaran harus dirancang untuk mencapai hasil, bukan hanya untuk melaksanakan kegiatan. Pada akhirnya setiap hasil harus didelegasikan kepada jabatan-jabatan yang ada di Pemda dalam bentuk kontrak kinerja.
c.    Membangun tata organisasi, tata laksana dan deskripsi jabatan yang mendukung pencapaian hasil-hasil
       Atas dasar RPJMD/Renstra, Biro/Bagian Organisasi bersama dengan setiap SKPD menyusun: (1) struktur organisasi; (2) tata laksana atau standard operating procedure (SOP); (3) uraian jabatan yang mencakup standar kompetensi dan target kinerja (hasil).
       SOP harus memberikan kepastian tercapainya hasil-hasil yang telah dimandatkan oleh masyarakat. SOP juga menjelaskan tugas dan capaian dari setiap jabatan yang ada di SKPD berdasarkan RPJMD/Renstra. Uraian jabatan, terutama standar kompetensi, mendefinisikan dengan jelas indikator-indikator kompetensi yang harus dimiliki oleh orang yang akan menempati jabatan. Selain itu, uraian jabatan juga secara tegas menetapkan hasil-hasil yang harus didapat oleh setiap pemegang jabatan. Pada akhirnya, Biro/Bagian Organisasi siap menyampaikan paket deskripsi jabatan berikut kontrak kinerja untuk setiap jabatan kepada BKD. Untuk selanjutnya BKD mencari orang yang tepat untuk menduduki jabatan tersebut.
d.    Memastikan setiap pegawai menempati posisi yang tepat untuk mencapai hasil-hasil
       Selanjutnya BKD mencari orang yang tepat untuk menduduki jabatan sesuai uraian jabatan yang dibuat oleh Biro/Bagian Organisasi. Berdasarkan deskripsi jabatan juga, BKD dapat menyusun pola karier pegawai agar sistem promosi dan mutasi pegawai dikelola secara profesional sesuai dengan potensi yang dimiliki setiap pegawai.
       Rekrutmen pegawai baru dilakukan lewat analisis kebutuhan pegawai yang profesional dengan mempertimbangkan hasil ananlisis jabatan tadi. Sebagai hasilnya, pegawai yang direkrut adalah orang-orang yang benar-benar atau paling paling mendekati standar kompetensi yang diharapkan.
       Promosi jabatan juga dilakukan secara profesional. Pertimbangan politik sangat minim. Lewat informasi pola karir dan sistem informasi kepegawaian dan sistem promosi yang terbuka, pemda akan mendapatkan pegawai yang paling tepat menduduki jabatan struktural atau fungsional yang kosong.
e.    Memastikan setiap pegawai memiliki kompetensi memadai untuk mencapai hasil-hasil
       BKD juga melakukan pengkajian kompetensi pegawai secara reguler. Hasilnya berupa kebutuhan pengembangan kompetensi dibahas bersama dengan Badan Diklat. Seluruh kebutuhan diklat dikerjakan oleh Badan Diklat sesuai dengan analisis kebutuhan diklat sebagai tindak lanjut dari analisis kompetensi yang dilakukan BKD.
       Badan Diklat tidak melakukan kegiatan diklat kecuali yang memang dibutuhkan oleh para pegawai untuk memenuhi target kinerjanya sesuai dengan kontrak kinerja yang sejalan dengan Renstra/RPJMD dan tuntutan warga masyarakat. Upaya-upaya pengembangan kompetensi lainnya selain pelatihan (misalnya: magang, studi banding, bimtek, dll) dilakukan bersama dengan BKD dan SKPD-SKPD terkait.
f.     Melengkapi fasilitas dan peralatan kerja pegawai sesuai kebutuhan untuk mencapai hasil-hasil
       Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan dan Aset (DP2KA) membuat analisis kebutuhan peralatan dan fasilitas kerja, dan bersama dengan dinas komunikasi dan informasi juga mengkaji kebutuhan teknologi informasi. Seluruh belanja barang yang terkait dengan fasilitas dan peralatan kerja dilakukan oleh DP2KA atas konsultasi dengan SKPD terkati dengan didasarkan atas analisis kebutuhan yang profesional. Proses pengadaan dilakukan lewat prosedur standar seperti diatur dalam aturan pengadaan. Dengan demikian, tidak ada satu pun pegawai yang tidak memiliki peralatan dan fasilitas kerja minimal. Tetapi, juga tidak ada pegawai yang memiliki fasilitas yang berlebihan dan tidak diperlukan untuk menjalankan tugasnya.
g.    Membangun sistem pemeliharaan motivasi pegawai: prosperity follow performance
       Salah satu hal yang sangat mempengaruhi motivasi adalah struktur dan besaran remunerasi. Di sini struktur dan besaran, bukan hanya besaran. Ada banyak contoh kasus dimana remunerasi besar tidak bisa mendorong motivasi jika tidak diatur oleh struktur yang cocok. (Armada, 2013).
BAB III
PENUTUP
A.   Simpulan
         Berdasarkan uraian singkat dari bab sebelumnya terkait menggagas kinerja birokrasi pemerintah dalam pelayanan publik, maka penulis menyimpulkan:
1.  Birokrasi merupakan sistem administratif dan pelaksanaan tugas keseharian yang terstruktur, dalam sistem hierarki yang jelas, dilakukan dengan aturan tertulis, dilakukan oleh bagian tertentu yang terpisah dengan bagian lainnya, oleh orang yang dipilih karena kemampuan dan keahlian di bidangnya. Dalam bidang publik konsep birokrasi dimaknai sebagai proses dan sistem yang diciptakan secara rasional untuk menjamin mekanisme dan sistem kerja yang teratur, pasti, dan mudah dikendalikan.
2.    Terdapat 7 (tujuh) gagasan kinerja birokrasi dalam reformasi birokrasi khususnya untuk pemerintah daerah, yaitu: (a) Membangun sistem usulan dan pemantauan hasil pembangunan antara masyarakat dan struktur pemerintahan; (b) Mendefinisikan hasil dan anggaran untuk mencapai hasil dalam RPJMD/Renstra; (c) Membangun tata organisasi, tata laksana dan deskripsi jabatan yang mendukung pencapaian hasil-hasil; (d) Memastikan setiap pegawai menempati posisi yang tepat untuk mencapai hasil-hasil; (e) Memastikan setiap pegawai memiliki kompetensi memadai untuk mencapai hasil-hasil; (f) Melengkapi fasilitas dan peralatan kerja pegawai sesuai kebutuhan untuk mencapai hasil-hasil; (g) Membangun sistem pemeliharaan motivasi pegawai: prosperity follow performance.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Eko Maulana. 2012. Kepemimpinan Transformasional dalam Birokrasi Pemerintah. Cetakan I. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing.
Azhari. 2011. Mereformasi Birokrasi Publik Indonesia. Cetakan I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dwiyanto, Agus. 2010. Manajemen Pelayanan Publik : Peduli, Inklusif, dan Kolaboratif. Yogyakarta: UGM Press.
Hardiyansyah. 2012. Sistem Administrasi dan Manajemen : Sumber Daya Manusia dalam Perspektif Otonomi Daerah. Cetakan I. Yogyakarta: Gava Media.
Kumorotomo, Wahyudi. 2009. Governance Reform di Indonesia : Mencari Arah Kelembagaan Politik yang Demokratis dan Birokrasi yang Profesional. Yogyakarta: Gava Media.
Madani, Muhlis. 2011. Dimensi Interaksi Aktor dalam Proses Perumusan Kebijakan Publik. Edisi I, Cetakan I. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Martini, Rina. 2012. Birokrasi dan Politik. Cetakan I. Semarang: UPT UNDIP Press.
Parmenter, David. 2010. Key Performance Indicators : Pengembangan, Implementasi dan Penggunaan KPI Terpilih. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Pasolong, Harbani. 2011. Teori Administrasi Publik. Cetakan III. Bandung: Alfabeta.
Rivai, Veithzal dan Basri. 2010. Performance Appraisal: Sistem yang Tepat untuk Menilai Kinerja Karyawan dan Meningkatkan Daya Saing Perusahaan. , Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Samsudin, Sadili. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Setiyono, Budi. 2012. Birokrasi dalam Perspektif Politik dan Administrasi. Cetakan I. Bandung: NUANSA.
Sinambela, Lijan Poltak. 2012. Kinerja Pegawai : Teori Pengukuran dan Implikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Soekanto, Soerjono. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Edisi I, Cetakan ke-44. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Sulistiyani, Ambar Teguh dan Rosidah. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia : Konsep, Teori dan Pengembangan dalam Organisasi Publik. Edisi II, Cetakan I. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Thoha, Miftah. 2010. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Edisi I, Cetakan ke-7. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Thoha, Miftah. 2011. Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi. Edisi I Cetakan ke-3. Jakarta: Kencana.
Thoha, Miftah. 2012. Birokrasi Pemerintah dan Kekuasaan di Indonesia. Cetakan I. Yogyakarta: Thafa Media.
Tjokrowinoto, Moeljarto dkk. 2011. Birokrasi dalam Polemik. Cetakan III. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Utomo, Warsito. 2012. Administrasi Publik Baru Indonesia : Perubahan Paradigma dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Cetakan IV. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Halaman Website:
Armada, Zulfikri. 2013. Menggagas Budaya Inovasi dan Reformasi Birokrasi Indonesia. Sumber: http://catatanpamong.blogspot.com/2013/06/makalah-menggagas-budaya-inovasi-dan.html, di akses pada tanggal 19 Januari pada pukul 23:40 Wita.
Raha, Septian. 2013. Makalah Birokrasi. Sumber: http://www.academia.edu/5160506/MAKALAH_BIROKRASI, di akses pada tanggal 19 Januari pada pukul 23:37 Wita.
Waluyo, Cipto. 2013. Makalah Kinerja Pegawai. Sumber: http://jantifornia.blogspot.com/2013/03/makalah-kinerja-pegawai.html, di akses pada tanggal 19 Januari 2015 pada pukul 23:23 Wita.
Peraturan-Peraturan:
Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025.
Peraturan Menteri Pemberdayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 20 tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014.
Keppres 14 Tahun 2010 tentang Pembentukan Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional, yang disempurnakan menjadi Keppres Nomor 23 Tahun 2010.
Keputusan Menteri Pemberdayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 355 Tahun 2010 tentang Pembentukan Tim Independen.

Keputusan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 356 Tahun 2010 tentang Pembentukan Tim Penjamin Kualitas (Quality Assurance). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar