BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Birokrasi merupakan instrumen penting dalam masyarakat
modern yang kehadirannya tak mungkin terelakkan. Eksistensi birokrasi ini
sebagai konsekuensi logis dari tugas utama negara (pemerintahan) untuk
menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat (social
welfare). Negara dituntut terlibat dalam memproduksi barang dan jasa yang
diperlukan oleh rakyatnya (public goods
and services) baik secara langsung maupun tidak. Bahkan dalam keadaan
tertentu negara yang memutuskan apa yang terbaik bagi rakyatnya. Untuk itu
negara mernbangun sistem administrasi yang bertujuan untuk melayani kepentingan
rakyatnya yang disebut dengan istilah birokrasi.
Permasalahan dalam birokrasi pemerintahan pada saat ini
antara lain bahwa: birokrasi pemerintah belum efisien, kebijakan belum stabil,
dan masih ada praktek penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang. Bidang
peraturan perundang-undangan di bidang aparatur negara masih tumpang tindih,
inkonsisten, tidak jelas, multi tafsir, pertentangan antara peraturan
perundang-undangan yang satu dengan yang lain dan pelayanan publik belum dapat
mengakomodasi kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Dalam Grand Design dan Road Map Reformasi Birokrasi Birokrasi tahun 2010-2025, salah satu
program yang menjadi prioritas nasional adalah program Reformasi Birokrasi.
Banyak tantangan yang harus dihadapi dan dicari solusinya. Tantangan dimaksud
yaitu bahwa: Reformasi Birokrasi belum mencapai sasaran pembenahan kelembagaan,
tatalaksana, manajemen SDM aparatur, akuntabilitas, pengawasan, pelayanan
publik, reward and punishment, dan
perubahan mind-set dan culture set; belum dikembangkannya
sistem monitoring dan evaluasi pelaksanaan Reformasi Birokrasi secara nasional;
Reformasi Birokrasi juga belum memiliki grand
design dan road map serta di keluarkannya
arahan Presiden dan Wakil Presiden untuk melaksanakan Reformasi Birokrasi yang
menyeluruh, mendalam, nyata serta menyentuh sendi kehidupan masyarakat.
Tujuan Reformasi Birokrasi adalah membentuk birokrasi
profesional, dengan karakteristik: adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi,
bebas dan bersih KKN, mampu melayani publik, netral, berdedikasi, dan memegang
teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara dan sasaran Reformasi
Birokrasi yaitu membangun birokrasi yang berorientasi pada hasil (outcomes) melalui perubahan secara
terencana, bertahap, dan terintegrasi dari berbagai aspek strategis birokrasi.
Birokrasi bagi sebagian orang dimaknai sebagai prosedur
yang berbelit-belit, menyulitkan dan menjengkelkan. Namun bagi sebagian yang
lain birokrasi dipahami dari perspektif yang positif yakni sebagai upaya untuk
mengatur dan mengendalikan perilaku masyarakat agar lebih tertib. Ketertiban
yang dimaksud adalah ketertiban dalam hal mengelola berbagai sumber daya yang
mendistribusikan sumber daya tersebut kepada setiap anggota masyarakat secara
berkeadilan. Pendapat yang berbeda tersebut, dapat dipahami dari perspektifnya
masing-masing. Bagi yang berpandangan posisif terhadap birokrasi maka baginya
birokrasi adalah sebuah keniscayaan. Akan tetapi, bagi mereka yang berpandangan
negatif maka birokrasi justru menjadi salah satu penghalang tercapainya tujuan
sehingga keberadaan birokrasi harus dihilangkan.
Birokrasi yang terjadi di Indonesia pada dasarnya
dirancang sebagai birokrasi yang rasional dengan pendekatan
struktural-hirarkikal (tradisi weberian).
Pendekatan Weberian dalam penataan kelembagaan yang berlangsung dalam
pendayagunaan aparatur negara hingga dewasa ini, secara klasikal menegaskan
pentingnya rasionalisasi birokrasi yang menciptakan efisiensi, efektivitas, dan
produktivitas melalui pembagian kerja hirarkikal dan horizontal yang seimbang,
diukur dengan rasio antara volume atau beban tugas dengan jumlah sumber daya,
disertai tata kerja yang formalistik dan pengawasan yang ketat.
Organisasi birokratik adalah salah satu bentuk organisasi
yang digunakan oleh pemerintah untuk melaksanakan pelayanan publik. Mengapa
demikian?. Bermula ketika Weber mengenalkan pengamatannya tentang bureaucrationally, yang melihat sosok
birokrasi sebagai alat yang bermanfaat bagi pelaksanaan rasionalitas terhadap
tugas-tugas administrasi sehingga bisa mencapai efisiensi, sungguhpun Weber
tidak pernah mendefinisikan birokrasi yang dimaksud secara jelas akan tetapi,
hasil pengamatan Weber tersebut kemudian dikukuhkan Hegel yang memandang
birokrasi tersebut dapat dijadikan sebagai alat penghubung antara negara dan
masyarakat. Sehingga sampai dengan dewasa ini birokrasi pemerintah menjadi alat
yang sangat utama dan paling dominan peranannya dalam pelaksanaan tugas-tugas
negara.
Pada era reformasi, birokrasi dituntut untuk berubah
sikap dan perilaku agar dapat melayani masyarakat dengan baik. Perubahan
-perubahan sosial yang terjadi baik yang berlangsung cepat (revolusi) maupun
yang berlangsung dengan lambat (evolusi) menuntut pada organisasi birokrasi
untuk dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut, sebab
perubahan selalu mengandung unsur perbedaan. Namun, di dalam mengamati kondisi
lingkungan masyarakat di mana organisasi birokrasi itu berada, bukanlah sesuatu
yang mudah untuk dilakukan, sebab kondisi lingkungan masyarakat memiliki
ciri-ciri spesifik yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Birokrasi
sebagai organisasi jenis seperti ini memiliki keterbatasan dalam memberikan
pelayanannya pada masyarakat. Berangkat dari keterbatasan inilah biasanya
organisasi pelayanan membentuk pola pelayanan yang bagi sebagian masyarakat
dianggap tidak masuk akal, persyaratan prosedur yang berbelit dari mekanisme
yang ditentukan birokrasi pemerintah dalam mendapatkan pelayannya, dan
sebagainya, serta tambah tidak masuk akal lagi kalau kita berharap bahwa
birokrasi akan dapat menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi masyarakat.
Pupusnya harapan masyarakat bahwa birokrasi akan dapat
memberikan pelayanan untuk dapat menyelesaikan persoalannya, menyebabkan
masyarakat enggan berurusan dengan birokrasi pemerintah terbukti dengan adanya
“jalan belakang”, “uang pelicin”, “jalan tol” dan sebagainya yang mereka sebut
“birokrasi amplop”, pada intinya memotong prosedur untuk mendapatkan pelayanan
atas prosedur yang panjang dari birokrasi pemerintahan itu.
Buruknya kinerja birokrasi pemerintahan dalam memberikan
pelayanan pada masyarakat ini, menggambarkan bahwa betapa kompleks persoalan organisasi
birokratik yang begitu mekanistik dihadapkan pada persoalan masyarakat yang
begitu heterogen, kondisi demikian menyebabkan organisasi birokrasi membentuk
sejumlah pola yang digunakan untuk memberikan pelayanan pada masyarakatnya,
seperti: Pertama, adalah pola
pelayanan yang sama bagi semua, dalam pola ini terbatas daya serapnya, karena
kemampuan pelayanan pemerintah terbatas sehingga tidak bisa digunakan secara
sama oleh semua warga negara. Hal ini menyebabkan tipe pelayanan pada pola ini
yang pada mulanya untuk semua. Oleh karena keterbatasan yang ada justru
merancang pola yang hanya untuk memenuhi kebutuhan sekelompok masyarakat
tertentu saja; Kedua, pola pelayanan
yang sama secara proporsional bagi semua, dalam pola ini menyarankan suatu
distribusi pelayanan yang didasarkan atas suatu ciri tertentu yang berhubungan
dengan kebutuhan. Kondisi ini tampak lebih pragmatis sebab pola pelayanan ini menyediakan
dasar yang kongkrit dan lebih obyektif untuk dibagikan pada masyarakat. Di sisi
lain pola pelayanan ini memungkinkan dapat disediakannya pelayanan yang lebih
sesuai dengan kebutuhan masyarakat; Ketiga,
adalah pola pelayanan yang tidak sama bagi individu-individu bersesuaian dengan
perbedaan yang relevan, dalam pola pelayanan ini perbedaan pelayanan berdasarkan
pada cirri-ciri yang dimiliki oleh para penerima pelayanan.
Menyimak pola pelayanan tersebut di atas, maka akan
tampak dua dimensi dalam melihat masalah keadilan distribusi pelayanan
organisasi birokrasi pemerintahan pada masyarakatnya. Pertama, memberikan pelayanan di antara orang-orang yang beraneka
ragam itu harus ditentukan lebih dahulu kriteria dalam membagikan
pelayanan-pelayanan di antara kelompok masyarakat yang berbeda. Kedua, pemberian pelayanan itu harus
dilakukan dengan memberikan perlakuan yang sama pada pihak-pihak yang sama.
Meskipun demikian, pada realitanya tidak semudah apa yang ditampilkan sebab
pola pelayanan tersebut di atas menuntut sejumlah besar informasi dan cara
organisasi birokrasi itu menangani informasi tersebut dalam menerapkan
distribusi pada pola pelayanannya.
Pada sisi lain, organisasi birokratik yang begitu
mekanistik memiliki keterbatasan kemampuan dalam menyerap informasi dari
lingkungan masyarakat yang begitu kompleks. Kondisi seperti inilah yang
menyebabkan seringnya terjadi kesalahan dalam kinerja birokrasi itu. Pertama, kurangnya informasi mengenai faktor
lingkungan yang bertalian dengan situasi khusus pengambilan keputusan organisasi
tersebut. Kedua, ketidakmampuan
organisasi itu untuk secara tepat menetapkan kemungkinan mengenai faktor-faktor
di lingkungan masyarakat tersebut mampu mempengaruhi keberhasilan atau
kegagalan sebuah unit penentu dalam melaksanakan fungsinya. Ketiga, kurangnya informasi mengenai
kerugian yang harus dipikul akibat keputusan atau langkah yang keliru.
Kekaburan data dan informasi seperti ini justru akan
lebih memburukkan kinerja organisasi birokrasi pemerintah tersebut dalam
memberikan pelayanannya dan tanpa disadari kelompok tersebut bahwa dirinya
telah menjebak organisasi birokrasi itu pada posisi yang sangat dilematis
dengan mengaburkan informasi di satu sisi sambil menyalahkan kinerja organisasi
birokrasi itu di sisi yang lain. Kondisi ini menunjukkan lingkungan masyarakat
di satu sisi menyediakan sumber daya yang sangat diperlukan oleh organisasi
birokrasi itu, dan di sisi lain lingkungan masyarakat menawarkan batas dan
hambatan bagi aktivitas organisasi birokrasi tersebut. Kondisi tersebut juga
menyebabkan organisasi birokratik mengalami kekaburan peran dan fungsinya dalam
melakukan tugasnya sebab di posisikan pada posisi yang sangat sulit.
Masalahnya terletak pada bagaimana masyarakat mampu
memposisikan organisasi birokrasi tersebut menjadi pelayan yang baik dengan
segala keterbatasan yang ada, bukankah setiap bentuk layanan apapun yang kita
terima di dalamnya selalu mengisyaratkan batasan-batasan tertentu di satu sisi
sedangkan di sisi lain bagaimana organisasi birokrasi mampu memuaskan semua
pihak, bukankah setiap individu dalam masyarakat mempunyai hak untuk
mendapatkan pelayanan yang terbaik, pada posisi seperti ini akan tampak dua
kutub yang berseberangan yaitu tuntutan masyarakat akan mendapatkan pelayanan
yang terbaik dengan keterbatasan kemampuan organisasi birokrasi sebagai
penyedia jasa pelayanan tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian singkat dari latar belakang di atas,
maka penulis merumuskan permasalahan pada:
1. Apa yang dimaksud dengan birokrasi
pemerintah?
2. Bagaimana menggagas kinerja birokrasi
pemerintah dalam pelayanan publik?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka tujuan
dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui konsep birokrasi pemerintah
2. Untuk mengetahui gagasan kinerja birokrasi
pemerintah dalam pelayanan publik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Birokrasi Pemerintah
1. Pengertian Birokrasi
Birokrasi yang dalam bahasa Inggris disebut bureaucracy berasal dari dua kata yaitu “bureau” yang artinya meja dan “ cratein” berarti kekuasaan. Jadi, maksudnya
kekuasaan yang berada pada orang-orang yang ada di belakang meja (Raha, 2014).
Menurut Rourke (1978) dalam Azhari (2011:59), mengungkapkan bahwa birokrasi
adalah sistem administrasi dan pelaksanaan tugas keseharian yang terstruktur,
dalam sistem hierarki yang jelas, dilakukan dengan aturan tertulis, dan
dijalankan oleh bagian tertentu yang terpisah dengan bagian lainnya, oleh
orang-orang yang dipilih berdasarkan kemampuan dan keahlian di bidangnya.
Sedangkan menurut Setiyono (2012:15), birokrasi dapat dipahami secara simpel
sebagai aparatur negara, secara praktis, pengertian ini masih sering
menimbulkan kontroversi. Pada konsepsi yang paling luas, birokrasi sering
disebut sebagai badan/sektor pemerintah, atau dalam konsepsi bahasa Inggris disebut
public sector, atau juga public service atau public administration. Konsepsi itu mencakup institusi atau orang
yang penghasilannya berasal secara langsung dari uang Negara atau rakyat yang
biasanya tercantum dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) atau
APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah).
Lebih lanjut Kristiadi dalam Pasolong (2011:67),
mengatakan bahwa birokrasi adalah merupakan struktur organisasi di sektor
pemerintah, yang memiliki ruang lingkup tugas-tugas yang sangat luas serta
memerlukan organisasi besar dengan sumber daya manusia yang besar pula
jumlahnya. Birokrasi yang dimaksudkan untuk penyelenggaraan bernegara,
penyelenggaraan pemerintahan termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan
umum dan pembangunan, seringkali oleh masyarakat diartikan dalam konotasi yang
berbeda. Birokrasi seolah-olah memberi kesan adanya suatu proses panjang yang
berbelit-belit apabila masyarakat akan menyelesaikan suatu urusan dengan aparat
pemerintah. Sedangkan menurut Thoha (2011:16), birokrasi pemerintah sering kali
diartikan sebagai “of-ficialdom” atau
kerajaan pejabat. Suatu kerajaan yang raja-rajanya adalah para pejabat dari
suatu bentuk organisasi yang digolongkan modern.
Weber dalam Ali (2012:148), mengatakan bahwa birokrasi
itu pada hakikatnya mengandung makna pengorganisasian yang tertib, tertata dan
teratur dalam hubungan kerja yang berjenjang serta mempunyai prosedur dalam
suatu tatanan organisasi. Birokrasi merupakan lembaga yang memiliki kemampuan besar
dalam menggerakkan organisasi karena birokrasi ditata secara formal untuk melahirkan
tindakan rasional dalam sebuah organisasi. Birokrasi sebagai suatu bentuk
organisasi yang ditandai oleh hierarki, spesialisasi peranan, dan tingkat
kompetensi yang tinggi ditunjukkan oleh para pejabat yang terlatih untuk
mengisi peran-peran tersebut. Sedangkan Blau dan Meyer dalam Martini (2012:9), birokrasi
adalah tipe organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif
dengan cara mengkoordinasi secara sistematis teratur pekerjaan dari banyak
anggota organisasi. Birokrasi merupakan sistem kerja yang berlaku dalam suatu
organisasi (baik publik maupun swasta) yang mengatur secara ke dalam maupun ke luar.
Mengatur ke dalam berarti berhubungan dengan hal-hal yang menyangkut hubungan atau
interaksi antara manusia dalam organisasi juga antara manusia dengan sumber
daya organisasi lainnya. Sedangkan mengatur ke luar berarti berhubungan dengan
interaksi antara organisasi dengan pihak lain baik dengan lembaga lain maupun
dengan individu-individu. Birokrasi sesungguhnya dimaksudkan sebagai sarana
bagi pemerintah yang berkuasa untuk melaksanakan pelayanan publik sesuai dengan
aspirasi masyarakat. Birokrasi adalah tipe dari suatu organisasi yang
dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengoordinasi
secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang (Kumorotomo, 2009:74).
Kenyataan empirik menunjukkan bahwa konsep birokrasi yang
dipergunakan di Indonesia mengalami kendala-kendala yang terdapat pada
birokrasi administrasi publik, pelaksanaan pembangunan berlangsung demikian
lamban atau mengalami banyak kegagalan, karena para birokrat dan lembaga usaha
swasta ataupun masyarakat sendiri dapat
dikatakan masih terjangkiti penyakit inefisiensi, yang seharusnya mereka
masing-masing memperoleh kebebasan untuk menyembuhkan penyakit tersebut dengan
menyesuaikan diri dengan tata nilai baru administrasi publik yaitu pelayanan
yang efisien kepada pelanggan.
Berdasarkan uraian dari definisi di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa birokrasi merupakan sistem administratif dan pelaksanaan
tugas keseharian yang terstruktur, dalam sistem hierarki yang jelas, dilakukan dengan
aturan tertulis, dilakukan oleh bagian tertentu yang terpisah dengan bagian
lainnya, oleh orang yang dipilih karena kemampuan dan keahlian di bidangnya.
Dalam bidang publik konsep birokrasi dimaknai sebagai proses dan sistem yang
diciptakan secara rasional untuk menjamin mekanisme dan sistem kerja yang
teratur, pasti, dan mudah dikendalikan.
2. Makna dan Kategori Birokrasi
Meskipun secara umum sudah ada penjelasan atau definisi tentang
birokrasi, tetapi dalam khasanah ilmu pengetahuan perbedaan pendapat dan
pandangan sangat dihargai. Demikian juga dengan perbedaan pandangan tentang
birokrasi. Ada beberapa tokoh atau ahli yang memandang birokrasi secara
positif, ada juga yang secara negatif, tetapi ada juga yang melihatnya secara
netral (value free).
a. Makna Positif
Birokrasi yang bermakna positif diartikan sebagai birokrasi legal-rasional
yang bekerja secara efisien dan efektif. Birokrasi tercipta karena kebutuhan
akan adanya penghubung antara negara dan masyarakat, untuk mengejawantahkan
kebijakan-kebijakan negara. Artinya, birokrasi dibutuhkan baik oleh negara maupun
oleh rakyat. Tokoh pendukungnya adalah : Max Weber dan Hegel.
b. Makna Negatif
Birokrasi yang bermakna negatif diartikan sebagai birokrasi yang
penuh dengan patologi (penyakit), organisasi tambun, boros, tidak efisien dan
tidak efektif, korupsi, dan lain-lain. Birokrasi adalah alat penindas
(penghisap) bagi kaum yang lemah (miskin) dan hanya membela kepentingan orang
kaya. Artinya, briokrasi hanya menguntungkan kelompok orang kaya saja. Tokoh
pendukungnya adalah : Karl Max dan Harold Laski.
c. Makna Netral (value free)
Sedangkan birokrasi yang bermakna netral diartikan sebagai keseluruhan
pejabat negara pada cabang eksekutif atau bisa juga diartikan sebagai setiap
organisasi yang berskala besar. (Martini, 2012:11-12).
Berdasarkan perbedaan tugas pokok atau misi yang
mendasari suatu organisasi birokrasi menurut Syukur Abdullah dalam Kumorotomo (2009:79)
menguraikannya dalam tiga kategori birokrasi sebagai berikut:
a. Birokrasi
pemerintahan umum yaitu rangkaian organisasi pemerintahan yang menjalankan
tugas-tugas pemerintahan umum termasuk memelihara ketertiban dan keamanan dari
tingkat pusat sampai daerah (propinsi), kabupaten, kecamatan dan
kelurahan/desa. Tugas-tugas tersebut bersifat mengatur.
b. Birokrasi
pembangunan yaitu organisasi pemerintahan yang menjalankan salah satu
bidang atau sektor yang khusus guna mencapai tujuan pembangunan, seperti
pertanian, kesehatan, pendidikan, dan indusri. Fungsi pokoknya adalah development function atau adaptive function.
c. Birokrasi
pelayanan yaitu unit organisasi yang pada hakikatnya merupakan bagian yang
langsung berhubungan dengan masyarakat. Yang termasuk dalam kategori ini antara
lain : rumah sakit, sekolah, koperasi, bank rakyat desa, transmigrasi, dan
berbagai unit organisasi lainnya yang memberikan pelayanan langsung kepada
masyarakat atas nama pemerintah, fungsi utamanya adalah service.
3. Birokrasi dan Politik
Menurut (Setiyono, 2012:65), birokrasi merupakan organ
utama dalam sistem dan kegiatan pemerintahan yang dapat berbuat atas nama
negara. Karenanya birokrasi sangat kuat secara politis dan cenderung menjadi “the single authoritarian institution”.
Di banyak negara, peranan birokrasi bahkan dipandang memiliki tingkat yang tak
terkalahkan dari kelompok-kelompok masyarakat lain. Lebih lanjut Setiyono
(2012:66), mengatakan bahwa setidaknya ada 3 (tiga) alas an untuk menilai
mengapa birokrasi sangat kuat secara politik, yakni:
a. Kepemilikan asset sumber kekuasaan;
b. Peranan birokrasi yang istimewa di tengah
masyarakat; serta
c. Posisi birokrasi yang strategis dalam
hubungan penguasa dan rakyat.
Birokrasi pemerintah tidak bisa dilepaskan dari proses dan
kegiatan politik. Pada setiap gugusan masyarakat yang membentuk suatu tata
kepemerintahan tidak bisa dilepaskan dari aspek politik ini (Thoha, 2011:26). Politik
sebagaimana diketahui bersama terdiri dari orang-orang yang berperilaku dan
bertindak politik (consists of people
acting politically), yang diorganisasikan secara politik oleh
kelompok-kelompok kepentingan dan berusaha mencoba mempengaruhi pemerintah
untuk mengambil dan melaksanakan suatu kebijakan dan tindakan yang bisa
mengangkat kepentingannya dan mengesampingkan kepentingan kelompok lainnya.
Birokrasi pemerintah langsung ataupun tidak langsung akan selalu berhubungan
dengan kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat.
Beetham dalam Azhari (2011:86), mengasumsikan bahwa
birokrasi merupakan entitas yang tidak mungkin netral dari ranah politik.
Adanya berbagai perbedaan pemikiran-pemikiran dari berbagai ahli terkait
hubungan birokrasi dan politik melahirkan pemikiran-pemikiran baru dalam
dinamika hubungan birokrasi dan politik. Perbedaan tersebut tidak hanya
berlangsung dalam konteks akademik, tetapi juga berlangsung dalam praktik
penyelenggaraan pemerintahan khususnya dalam menempatkan posisi birokrasi.
4. Intervensi
Politik Terhadap Netralitas Birokrasi
Menurut Azhari
(2011:93), intervensi diartikan sebagai upaya yang dilakukan oleh pejabat
politik dalam mempengaruhi proses rekrutmen dan promosi birokrat pada
jabatan-jabatan birokrasi. Sementara netralitas birokrasi merupakan kondisi
terlepasnya birokrasi spoil sistem yang berarti birokrasi bekerja berdasarkan
profesionalisme dan kemampuan teknis yang dibutuhkan. Hal demikian seperti yang
dikemukakan oleh Setiyono (2012:76), bahwa birokrasi adalah institusi publik
yang dibentuk dan dibiayai oleh masyarakat (melalui pajak, rertribusi dan
lain-lain pungutan) untuk melayani seluruh lapisan masyarakat, maka birokrasi
harus terlepas dari ikatan partai politik maupun golongan. Sedangkan Carino
(Dalam Thoha, 2012:48) menjelaskan bahwa hubungan antara pejabat politik (political leadership) dan birokrasi
merupakan suatu hubungan yang konstan
(ajeg) antara fungsi kontrol dan dominasi.
Menurut Setiyono (2012:76), persoalan birokrasi dalam
kaitannya dengan politik ini meliputi 2 (dua) hal:
a. Adanya intervensi partai politik dalam
proses rekrutmen dan mutasi jabatan-jabatan birokrasi.
b. Penggunaan personil, aset-aset dan
infrastruktur birokrasi untuk kepentingan politik oleh pihak eksternal
birokrasi maupun oleh birokrasi itu sendiri. Sulistiyani dan Rosidah (2009:173),
mengungkapkan bahwa kepentingan politik oleh pihak eksternal birokrasi sangat
kuat mempengaruhi proses rekrutmen dan mutasi, terutama untuk posisi-posisi
yang strategis dalam pemerintahan.
Intervensi partai politik dalam institusi birokrasi akan
mengacaukan tata kerja birokrasi yang harusnya berdasar pada prinsip-prinsip
manajemen pemerintahan (public sector
management) yang sehat, rasional, dan berdasarkan hukum. Thoha (2010:8),
menjelaskan bahwa masalah netralitas birokrasi pemerintah terhadap pengaruh dan
intervensi partai politik tampaknya tidak bisa dianggap ringan sekarang ini. Apabila
intervensi dilakukan, maka sistem pembinaan pegawai akan rusak, karena
pengangkatan pejabat hanya didasari oleh prinsip suka atau tidak suka (like or dislike) disebabkan dalam
konteks kepentingan politik, tidak didasari atas pertimbangan kemampuan,
kapasitas, dan pengalaman kerja. Sedangkan apabila kita mengacu pada konsep
netralitas birokrasi maka sesungguhnya seorang pegawai dalam sebuah instansi
diangkat berdasarkan pada profesionalitas kerja dan prestasinya.
Hal demikian seperti yang dikemukakan oleh Thoha
(2010:168), bahwa netralitas birokrasi pada hakikatnya adalah suatu sistem
dimana birokrasi tidak akan berubah dalam memberikan pelayanan kepada masternya
(dari parpol yang memerintah), biarpun masternya berganti dengan master
(parpol) yang lain. Pemberian pelayanan tidak bergeser sedikit pun walaupun
masternya berubah. Birokrasi dalam memberikan pelayanan berdasarkan
profesionalisme bukan karena kepentingan politik. Sedangkan apabila ditinjau
dari dimensi aktor, terjadinya Nondecision
Making diakibatkan dari pertentangan internal, disebabkan oleh menguatnya
kepentingan individu yang sejalan dengan kepentingan partai politik (Madani,
2012:149).
Menurut Soekanto (2011:235), penguasa dan pemerintah
berusaha untuk membuat peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat.
Caranya adalah dengan meyakinkan atau memaksa masyarakat untuk menaati
peraturan-peraturan yang telah dibuat oleh badan-badan yang berwenang dan sah.
Lebih lanjut Soekanto (2012:237), menjelaskan bahwa cara-cara yang dilakukan
juga dapat berupa menghilangkan segenap peraturan-peraturan lama terutama dalam
bidang politik, yang merugikan kedudukan penguasa dimana peraturan-peraturan
tersebut akan digantikan dengan peraturan-peraturan baru yang menguntungkan
penguasa.
5. Pejabat Politik dan Birokrasi
Kuatnya konflik kepentingan politik dalam sistem kerja
birokrasi menjadi salah satu penyebab lemahnya kompetensi birokrasi di
Indonesia. Sehingga optimalisasi pola kepemimpinan yang berkarakter kuat,
tegas, serta bertanggung jawab merupakan variabel yang menentukan dalam upaya
pengembalian fungsi birokrasi sebagai public
servant. Perkawinan antara birokrasi dan partai politik telah melahirkan
sistem yang saling melemahkan. Adanya penyakit kronis yang mengakar di
birokrasi, yaitu kooptasi partai politik. Dimana di dalam pemilihan umum
ataupun pemilihan kepala daerah sarat dengan politik uang. Karena itu, siapapun
yang terpilih kelak akan disibukkan untuk “mengembalikan bayaran” kepada
pihak-pihak yang telah membantunya ke jabatan tersebut.
Dana pengembalian itu paling mungkin diambil dari
anggaran yang tersedia. Akibatnya terasa betul tensi politik meninggi dalam
setiap pilkada karena birokrasi merasa sangat terancam apabila mereka tidak
taat atau tidak loyal kepada partai politik dan kandidat terpilih. Selain hal
tersebut, perbedaan latar belakang kebutuhan dan kepentingan antara birokrasi
dan partai politik juga merupakan suatu masalah. Menurut Tjokrowinoto, dkk (2011:121-122)
birokrasi dilatarbelakangi oleh pengalaman profesionalisme dan keahlian di
bidangnya masing-masing melalui cara-cara meritokrasi yang merujuk kepada
cita-cita untuk menguatkan eksistensi masyarakat melalui penghargaan terhadap
beraneka ragam kebutuhan dan kepentingan masyarakat, tanpa melihat
simbol-simbol politik di belakangnya. Sedangkan partai politik,
dilatarbelakangi oleh pengalaman profesi perjuangan untuk mempengaruhi dan
merebut kekuasaan agar bisa memerintah (to
govern) serta bahkan berlaku otoriter yang justru melanggar prinsip-prinsip
bekerjanya birokrasi.
Kenyataan lainnya adalah banyaknya birokrasi yang
terjebak untuk mendukung salah satu satu calon dengan harapan untuk mendapatkan
jabatan. Akhirnya para pejabat politik yang terpilih harus mendudukkan
orang-orang yang mendukungnya. Sehingga proses mutasi dan rekrutmen pejabat
tidak lagi objektif yang kemudian memperburuk kinerja birokrasi. Hal demikian
seperti yang dikemukakan oleh Hardiyansyah (2012:158-159), yang menyatakan
bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang akan menjadi anggota dan/atau pengurus
partai politik wajib mengundurkan diri sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang
diajukan secara tertulis kepada Pejabat Pembina Kepegawaian dan tembusannya
disampaikan kepada atasan langsung Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan,
serendah-rendahnya pejabat struktural eselon IV, pejabat yang bertanggungjawab
di bidang kepegawaian instansi yang bersangkutan, dan pejabat yang bertanggung
jawab di bidang keuangan yang bersangkutan.
6. Reformasi Birokrasi
Secara riil kinerja birokrasi Indonesia memang masih
banyak mengecewakan. Dalam survey yang dilakukan oleh Dwiyanto, dkk dalam
Setiyono (2012:118), terlihat bahwa nilai capaian kinerja birokrasi dalam hal
produktivitas, kualitas layanan, responsivitas, responsibilitas, dan
akuntabilitas birokrasi kita masih sangat rendah. Bahkan, sebagaimana dikutip
oleh Dwiyanto, dkk dalam Setiyono (2012:118) dari The World Competitiveness Yearbook tahun 1999, tingkat indeks Competitiveness birokrasi kita berada
pada urutan terendah dari segi kualitas pelayanan publik dibandingkan dengan
100 negara lain di dunia. Hal ini terbukti dari hasil penelitian Dwiyanto, dkk
dalam Setiyono (2012:118) bahwa dari segi orientasi pelayanan, birokrasi kita
masih cenderung tidak sepenuhnya mencurahkan waktu dan tenaganya untuk
menjalankan tugasnya melayani rakyat. Hampir 40% birokrat yang menjadi
responden dalam penelitian Dwiyanto, menyatakan bahwa mereka memiliki pekerjaan
lain di luar pekerjaannya sebagai aparatur negara. Kondisi ini otomatis
mengurangi konsentrasi mereka dalam bekerja.
Reformasi birokrasi pemerintah tidak mungkin bisa
dilakukan tanpa didahului oleh upaya pemerintah melakukan evaluasi atau
penelitian terhadap lembaga pemerintahannya. Dari hasil evaluasi ini akan
dihasilkan rekomendasi lembaga organisasi mana yang masih efektif dan manapula
yang harus di hemat, atau dilakukan penyusunan lembaga yang efektif. Menurut
Thoha (2012:85), ada tiga prakondisi yang harus diperhatikan jika nanti menyusun
organisasi birokrasi pemerintah yang efektif sesuai dengan tuntutan jaman. Tiga
hal itu ialah, pertama semangat
desentralisasi dan otonomi sebagai sebuah perwujudan dari sistem pemerintahan
yang demokratis. Kedua, perubahan
sistem politik yang jauh berbeda dengan keadaan sistem politik di jaman
pemerintahan orde baru. Ketiga,
krisis ekonomi yang mengakibatkan defisit anggaran, terpuruknya mata uang kita,
pengangguran, dan ketergantungan pemerintah pada negara lain.
Desentralisasi dan otonomi berarti pemerintah lebih
banyak memberikan kepercayaan dan pemberdayaan kepada daerah agar mampu
berperintahan dan berotonomi mengatasi persoalan-persoalan daerahnya. Campur
tangan dan intervensi pemerintah pusat seharusnya tidak segencar di zaman
pemerintahan orde baru. Evaluasi peraturan daerah (Perda) tidak hanya
mempertimbangkan keinginan pemerintah pusat saja. Akan tetapi, juga
mengutamakan aspirasi rakyat daerah.
Sistem politik yang berubah dari zaman pemerintahan orde
baru menyadarkan kita bahwa semakin banyaknya partai politik, maka semakin
banyak keinginan partai politik memerintah birokrasi pemerintah. Orang-orang
parpol akan menjadi pimpinan lembaga birokrasi pemerintah. Oleh karena itu,
perlu diatur sistem hubungan kerja antara jabatan politik, jabatan negara, dan
jabatan birokrasi karier pemerintah. Sampai sekarang ini hubungan dari ketiga
jabatan tersebut belum ada tanda-tanda diatur. Adapun yang sekarang berlaku
adalah cara-cara pemerintahan Pak Harto yang diteruskan oleh pemerintahan yang
sekarang ini. Krisis anggaran membuat pemerintah harus berhemat, salah satunya
ialah mengevaluasi organisasi pemerintah, mengevaluasi program dan sistem
kerja, dan jumlah pegawai yang ada. Besarnya organisasi akan berdampak
memperbesar jumlah anggaran belanja pemerintah. Sementara itu program kerja,
perjalanan dinas ke luar negeri perlu juga dievaluasi manfaatnya. Kita
senantiasa disajikan berita tentang defisit anggaran dari tahun ke tahun akan
tetapi pejabatnya kelihatannya tidak menyadarinya bahkan program kerja semakin
tidak hemat, kepergian ke luar negeri semakin banyak dilakukan.
Menurut Ali (2012:174), reformasi birokrasi dilakukan
ketika ada persoalan serius yang harus dipecahkan dengan cara yang lebih
menyeluruh. Makna reformasi di sini, mestinya tidak dipahami secara parsial
sebagaimana selama dilakukan dalam mereformat birokrasi pemerintahan. Dengan
kata lain, reformasi birokrasi sebagai bagian tak terpisahkan dari perwujudan
administrasi negara yang lebih baik, salah satu diantaranya gerakan reformasi dilakukan
untuk mengatasi persoalan korupsi yang melanda birokrasi di dalam sistem
administrasi publik. Sedangkan menurut Utomo (2012:206), dalam melakukan
reformasi birokrasi di Indonesia perlu adanya planned change, dan yang utama harus difokuskan dalam 3 (tiga) hal:
pertama, komitmen dan dukungan dari
pimpinan atau atasan (Gubernur, Sekda, assekda, pendek kata eselon I, II); kedua, bahwa bawahan (Eselon III, Staff
ke bawah) merasa perlunya reformasi tersebut. Dan yang ketiga, bahwa para pimpinan seharusnya merupakan aktor utama
sebagai pe-reform, sebelum dirinya sendiri merupakan bagian yang harus
di-reform.
7. Landasan Reformasi Birokrasi di Indonesia
Pelaksanaan reformasi birokrasi telah mendapatkan
landasan yang kuat melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010
tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. Selanjutnya, dalam
implementasinya telah ditetapkan landasan operasional dalam bentuk Peraturan
Menteri Pemberdayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 20 tahun
2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014. Kemajuan yang cukup
berarti, dalam tahun 2010, sebanyak 9 kementerian/lembaga telah melaksanakan
reformasi birokrasi instansi (RBI). Dengan demikian, saat ini sudah terdapat 13
kementrian/lembaga yang melaksanakan RBI. Dalam rangka meningkatkan koordinasi,
menajamkan dan mengawal pelaksanaan reformasi birokrasi, telah ditempuh langkah-langkah
kebijakan, antara lain:
a. Penerbitan Keppres 14 Tahun 2010 tentang
Pembentukan Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dan Tim Reformasi
Birokrasi Nasional, yang disempurnakan menjadi Keppres Nomor 23 Tahun 2010;
b. Keputusan Menpan dan RB Nomor 355 Tahun 2010
tentang Pembentukan Tim Independen, dan Keputusan Menteri Pemberdayaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 356 Tahun 2010 tentang Pembentukan Tim
Penjamin Kualitas (Quality Assurance).
c. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang
RPJPN 2005-2025 mengamanatkan bahwa pembangunan aparatur negara dilakukan
melalui reformasi birokrasi untuk mendukung keberhasilan pembangunan
bidang-bidang lain.
B. Konsep Kinerja
1. Pengertian Kinerja
Kinerja pada dasarnya merupakan hasil kerja secara
kualitas dan kuantitas yang dicapai seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya
sesuai tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Dalam hal ini, pegawai bisa
belajar seberapa besar kinerja mereka melalui sarana informasi seperti komentar
baik dari mitra kerja. Namun demikian penilaian kinerja yang mengacu kepada
suatu sistem formal dan terstruktur yang mengukur, menilai dan mempengaruhi
sifat-sifat yang berkaitan dengan pekerjaan perilaku dan hasil termasuk tingkat
ketidakhadiran. Kinerja dalam organisasi merupakan jawaban dari berhasil atau tidaknya
tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Para pegawai negri sipil sering tidak
memperhatikan kecuali sudah amat buruk atau segala sesuatu jadi serba salah.
Terlalu sering para pegawai tidak mengetahui betapa buruknya kinerja telah
merosot sehingga organisasi dalam suatu instansi pemerintahan menghadapi krisis
yang serius.
Menurut Murphy dan Clevelend (dalam Pasolong, 2011:175),
mengatakan bahwa kinerja adalah kualitas perilaku yang berorientasi pada tugas
atau pekerjaan. Sedangkan menurut Parmenter (2010:5), kinerja adalah melakukan
suatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggungjawabnya dengan
hasil seperti yang diharapkan. Setiap organisasi didirikan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan tidaklah bisa dicapai hanya oleh pimpinan
atau pendiri organisasi saja akan tetapi pasti membutuhkan dukungan dan
partisipasi orang lain atau pegawai. Ketika pegawai direkrut sudah tentu
diberikan tanggung jawab pekerjaan yang harus diselesaikan. Apakah tanggung jawab
pekerjaan pegawai Saudara telah tercapai? Jawaban pertanyaan ini terkadang
terabaikan oleh para pengelola organisasi yang cenderung hanya disibukkan
melakukan kegiatan rutinitas dalam menggerakkan roda organisasinya, dan tidak
memiliki waktu yang khusus untuk menjawab pertanyaan tersebut. Seberapa
besarkah pencapaian kinerja organisasi dalam satu satuan waktu tertentu mungkin
juga tidak terjawab dengan pasti karena tidak dilakukan pengukuran dan
penilaian kinerja. (Sinambela, 2012:23).
Suatu kinerja merupakan suatu istilah yang secara umum
digunakan untuk sebagian atau seluruh tindakan dari suatu organisasi pada suatu
periode dengan referensi pada sejumlah standar seperti biaya masa lalu atau
yang diproyeksikan dengan dasar efisiensi, pertanggungjawaban atau
akuntabilitas suatu manajemen. Kinerja sendiri mengacu pada kadar pencapaian
tugas yang membentuk sebuah pekerjaan karyawan. Kinerja merefleksikan seberapa
karyawan memenuhi persyaratan sebuah pekerjaan. Akan tetapi, sering
disalahtafsirkan sebagai upaya yang menceminkan energi yang dikeluarkan, dimana
kinerja diukur dari segi hasil. (Waluyo, 2013).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
kinerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai sekelompok orang dalam organisasi
dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka mencapai tujuan
atau sekumpulan orang dan individu yaitu pegawai negeri yang berada pada badan
atau lembaga pemerintah yang menjalankan fungsi atau tugas pemerintahan.
2. Indikator Kinerja
Menurut Dwiyanto (2010:50-51), menjelaskan beberapa indikator
yang digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik, yaitu:
a. Produktivitas
Karakteristik-karakteristik kepribadian individu yang muncul
dalam bentuk sikap mental dan mengandung makna keinginan dan upaya individu
yang selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas kehidupannya.
b. Kualitas layanan
Banyak pandangan negatif yang terbentuk mengenai organisasi publik,
muncul karena ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas layanaan yang diterima
dari organisasi publik. Dengan demikian, kepuasan dari masyarakat bisa mejadi
parameter untuk menilai kinerja organisasi publik.
c. Responsivitas
Kemampuan organisasi untuk mengenali dan memenuhi kebutuhan masyarakat.
Responsivitas perlu dimasukkan ke dalam indikator kinerja karena menggambarkan
secara langsung kemampuan organisasi pemerintah dalam menjalankan misi dan
tujuannya.
d. Responsibilitas
Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi
publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau
sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit.
e. Akuntabilitas
Akuntabilitas publik menunjukkan pada berapa besar kebijakan
dan kegiatan organisasi publik tunduk pada pejabat politik yang dipilih oleh
rakyat. Dalam konteks ini, konsep akuntabilitas publik dapat digunakan untuk
melihat berapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik itu konsisten
dengan kehendak masyarakat banyak.
Sedangkan menurut Kumorotomo (1996) dalam Pasolong
(2011:180), menggunakan beberapa indikator kinerja untuk dijadikan pedoman
dalam menilai kinerja birokrasi publik, antara lain:
a. Efisiensi, yaitu menyangkut pertimbangan
tentang keberhasilan organisasi pelayanan publik mendapatkan laba, memanfaatkan
faktor-faktor produksi serta pertimbangan yang berasal dari rasionalitas
ekonomis.
b. Efektifitas, apakah tujuan yang didirikannya
organisasi pelayanan publik tersebut tercapai? hal tersebut erat kaitannya
dengan rasionalitas teknis, nilai, misi, tujuan organisasi serta fungsi agen
pembangunan.
c. Keadilan, yaitu mempertanyakan distribusi
dan alokasi layanan yang diselenggarakan oleh organisasi pelayanan publik.
Kriteria ini erat kaitannya dengan konsep ketercukupan atau kepantasan. Kedua
mempersoalkan apakah tingkat efektifitas tertentu, kebutuhan dan nilai-nilai
dalam masyarakat dapat terpenuhi. Isu-isu yang menyangkut pemerataan
pembangunan, layanan kepada kelompok pinggiran dan sebagainya, akan mampu
dijawab melalui kriteria ini.
d. Daya Tanggap, yaitu berlainan dengan bisnis
yang dilaksanakan oleh perusahaan swasta, organisasi pelayanan publik merupakan
bagian dari daya tanggap negara atau pemerintah akan kebutuhan masyarakat yang
mendesak. Karena itu, kriteria organisasi tersebut secara keseluruhan harus
dapat dipertanggungjawabkan secara transparan demi memenuhi kriteria daya
tanggap ini.
3. Pengukuran Kinerja
Pengukuran kinerja pada dasarnya digunakan untuk
penilaian atas keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan kegiatan, program,
dan/atau kebijakan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam
rangka mewujudkan misi dan visi instansi pemerintah. Pengukuran kinerja
mencakup penetapan indikator kinerja dan penetapan pencapaian indikator
kinerja. Penilaian kinerja merupakan evaluasi keberhasilan atau kegagalan
seseorang dalam menjalankan tugasnya. Jika penilaian kinerja terhadap
birokrasi, berarti evaluasi keberhasilan atau kegagalan birokrasi dalam
menjalankan tugasnya sebagai pelayan masyarakat. Dessler dalam Pasolong
(2011:182), menyatakan bahwa penilaian kinerja adalah merupakan upaya
sistematis untuk membandingkan apa yang dicapai seseorang dibandingkan dengan
standar yang ada. Tujuannya yaitu untuk mendorong kinerja seseorang agar bisa
berada di atas rata-rata. Schuler dkk dalam Rivai dan Basri (2010:197),
mengatakan bahwa sistem penilaian kinerja diartikan sebagai suatu proses penilaian
kinerja. Dalam pandangan beliau bahwa proses penilaian kinerja dapat digunakan:
(1) Pendekatan komparatif; (2) Standar-standar absolute; (3) Pendekatan tujuan;
(4) Indeks yang bersifat langsung atau objektif.
Menurut Pasolong (2011:183), unsur-unsur yang dinilai
dalam penilaian pelaksanaan pekerjaan yaitu:
a. Kesetiaan, yaitu tekad dan kesanggupan untuk
mentaati, melaksanakan dan mengamalkan sesuatu yang ditaati dengan penuh
kesabaran dan tanggung jawab. Sikap ini dapat dilihat dari perilaku sehari-hari
serta perbuatan pegawai dalam melaksanakan tugas.
b. Prestasi kerja, yaitu hasil kerja yang
dicapai oleh pegawai dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. Pada
umumnya prestasi kerja dipengaruhi oleh kecakapan, pengalaman dan kesungguhan
PNS yang bersangkutan. Sedangkan menurut Cooper dalam Samsudin (2009:159),
prestasi kerja adalah tingkat pelaksanaan tugas yang dapat dicapai oleh
seseorang, unit, atau divisi dengan menggunakan kemampuan yang ada dan
batasan-batasan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan
organisasi/perusahaan.
c. Tanggung jawab, yaitu kesanggupan pegawai
dalam menyelesaikan pekerjaan tugas yang diserahkan kepadanya dengan
sebaik-baiknya dan tepat pada waktunya serta berani menanggung resiko atas
keputusan yang telah diambil atau tindakan yang dilakukannya.
d. Ketaatan, yaitu kesanggupan pegawai untuk
menaati segala peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang
berlaku, mentaati perintah kedinasan yang diberikan oleh atasan yang berwenang
serta kesanggupan untuk tidak melanggar aturan yang telah ditentukan.
e. Kejujuran, yaitu ketulusan hati pegawai
dalam melaksanakan dan kemampuan untuk tidak menyalahgunakan wewenang yang
diembannya.
f. Kerjasama, yaitu kemampuan pegawai untuk
kerjasama dengan orang lain untuk menyelesaikan tugas yang ditentukan sehingga
mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya.
g. Prakarsa, yaitu kemampuan pegawai untuk
mengambil keputusan langkah-langkah atau melaksanakan semua tindakan yang
diperlukan dalam melaksanakan tugas pokok tanpa menunggu perintah dari
pimpinan.
h. Kepemimpinan, yaitu kemampuan untuk
mempengaruhi orang lain sehingga dapat diarahkan secara maksimal untuk
melaksanakan tugas.
4. Menggagas Kinerja Birokrasi Pemerintah
Inti dari reformasi birokasi, harus mengarah pada
perbaikan kinerja (hasil). Berikut 7 (tujuh) gagasan kinerja birokrasi dalam
reformasi birokrasi khususnya untuk pemerintah daerah, yaitu:
a. Membangun sistem usulan dan pemantauan hasil
pembangunan antara masyarakat dan struktur pemerintahan
Karena tujuan reformasi birokrasi adalah perbaikan kinerja,
sedangkan kinerja dituntut oleh “pemilik” maka yang harus pertama diperbaiki
adalah hubungan antara masyarakat sebagai “pemilik” dan struktur pemerintahan
sebagai “operator”. Fokusnya adalah hubungan terkait dengan mekanisme
aspirasi/usulan kinerja dan mekanisme monitoring kinerja. Yang harus dihasilkan
pada gagasan pertama ini adalah satu mekanisme hubungan yang efektif antara
masyarakat termasuk kelompok masyarakat sipil, DPRD dan pemerintah dalam
mengelola aspirasi masyarakat ke dalam bentuk “mandat” dan memonitor pencapaian
dari mandat tersebut. Mandat harus dirumuskan dalam bentuk hasil atau kinerja. Untuk
itu ada beberapa hal yang harus dilakukan: (1) Memperbaiki tata tertib DPRD
agar lebih transparan; (2) Memperbaiki
hubungan DPRD dengan “konstituennya” sehingga lingkup konstituen menjadi ke wilayahan
bukan pada “kelompok yang memilih saya”. (3) Penguatan kompetensi DPRD dalam
menjalankan peran perencanaan dan monitoring kinerja yang partisipatif; (4) Penguatan
kelompok masyarakat sipil dan kelompok kepentingan lainnya agar dapat mandiri
dan juga menjalankan peran fasiltiasi perencanaan dan monitoring kinerja secara
partisipatif; (5) Membangun transparansi yang proaktif di pemerintahan; (6) Memperbaiki hubungan antara unit-unit
pelayanan publik dan para pelanggannya terutama agar aspirasi dan keluhan
pelanggan diperiksa setiap waktu dan dijadikan masukan untuk perbaikan
pengelolaan unit pelayanan publik secara terus menerus.
b. Mendefinisikan hasil dan anggaran untuk
mencapai hasil dalam RPJMD/Renstra
Sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman
Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 8
Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian Dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, perencanaan daerah bersifat perencanaan
kegiatan/program. Hal ini membuat sistem birokrasi sibuk dengan kegiatan dan
program tetapi tidak diketahui apa yang dicapai. Pendekatan ini bukan hanya
berpotensi membelanjakan dana publik untuk hal yang tidak perlu, tetapi juga
membuat struktur birokasi tidak tahu persis apa yang harus dilakukan.
Setelah Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang
Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah
Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian Dan
Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah pemerintahan daerah harus
berpikir kepada hasil. Merencanakan hasil, menganggarkan untuk hasil, memonitor
hasil dan melaporkan hasil. Pemilik (rakyat) tidak terlalu pusing dengan apa
yang dilakukan oleh birokrat, para pembayar pajak lebih mementingkan pencapaian
hasil. Mereka ingin agar pasar tidak kumuh lagi, jalanan tidak macet lagi,
semua anak bersekolah, semua orang yang sakit dapat perawatan, mudah dapat
modal usaha dan lain-lain.
Rumusan hasil harus datang dari warga masyarakat lewat satu
mekansime tertentu yang menjamin keterwakilan dan transparansi. Anggaran harus
dirancang untuk mencapai hasil, bukan hanya untuk melaksanakan kegiatan. Pada
akhirnya setiap hasil harus didelegasikan kepada jabatan-jabatan yang ada di
Pemda dalam bentuk kontrak kinerja.
c. Membangun tata organisasi, tata laksana dan
deskripsi jabatan yang mendukung pencapaian hasil-hasil
Atas dasar RPJMD/Renstra, Biro/Bagian Organisasi bersama
dengan setiap SKPD menyusun: (1) struktur organisasi; (2) tata laksana atau standard operating procedure (SOP); (3)
uraian jabatan yang mencakup standar kompetensi dan target kinerja (hasil).
SOP harus memberikan kepastian tercapainya hasil-hasil yang
telah dimandatkan oleh masyarakat. SOP juga menjelaskan tugas dan capaian dari
setiap jabatan yang ada di SKPD berdasarkan RPJMD/Renstra. Uraian jabatan,
terutama standar kompetensi, mendefinisikan dengan jelas indikator-indikator
kompetensi yang harus dimiliki oleh orang yang akan menempati jabatan. Selain
itu, uraian jabatan juga secara tegas menetapkan hasil-hasil yang harus didapat
oleh setiap pemegang jabatan. Pada akhirnya, Biro/Bagian Organisasi siap
menyampaikan paket deskripsi jabatan berikut kontrak kinerja untuk setiap
jabatan kepada BKD. Untuk selanjutnya BKD mencari orang yang tepat untuk
menduduki jabatan tersebut.
d. Memastikan setiap pegawai menempati posisi
yang tepat untuk mencapai hasil-hasil
Selanjutnya BKD mencari orang yang tepat untuk menduduki
jabatan sesuai uraian jabatan yang dibuat oleh Biro/Bagian Organisasi.
Berdasarkan deskripsi jabatan juga, BKD dapat menyusun pola karier pegawai agar
sistem promosi dan mutasi pegawai dikelola secara profesional sesuai dengan
potensi yang dimiliki setiap pegawai.
Rekrutmen pegawai baru dilakukan lewat analisis kebutuhan
pegawai yang profesional dengan mempertimbangkan hasil ananlisis jabatan tadi.
Sebagai hasilnya, pegawai yang direkrut adalah orang-orang yang benar-benar
atau paling paling mendekati standar kompetensi yang diharapkan.
Promosi jabatan juga dilakukan secara profesional.
Pertimbangan politik sangat minim. Lewat informasi pola karir dan sistem
informasi kepegawaian dan sistem promosi yang terbuka, pemda akan mendapatkan
pegawai yang paling tepat menduduki jabatan struktural atau fungsional yang
kosong.
e. Memastikan setiap pegawai memiliki
kompetensi memadai untuk mencapai hasil-hasil
BKD juga melakukan pengkajian kompetensi pegawai secara
reguler. Hasilnya berupa kebutuhan pengembangan kompetensi dibahas bersama
dengan Badan Diklat. Seluruh kebutuhan diklat dikerjakan oleh Badan Diklat
sesuai dengan analisis kebutuhan diklat sebagai tindak lanjut dari analisis kompetensi
yang dilakukan BKD.
Badan Diklat tidak melakukan kegiatan diklat kecuali yang
memang dibutuhkan oleh para pegawai untuk memenuhi target kinerjanya sesuai
dengan kontrak kinerja yang sejalan dengan Renstra/RPJMD dan tuntutan warga
masyarakat. Upaya-upaya pengembangan kompetensi lainnya selain pelatihan
(misalnya: magang, studi banding, bimtek, dll) dilakukan bersama dengan BKD dan
SKPD-SKPD terkait.
f. Melengkapi fasilitas dan peralatan kerja
pegawai sesuai kebutuhan untuk mencapai hasil-hasil
Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan dan Aset (DP2KA) membuat
analisis kebutuhan peralatan dan fasilitas kerja, dan bersama dengan dinas
komunikasi dan informasi juga mengkaji kebutuhan teknologi informasi. Seluruh
belanja barang yang terkait dengan fasilitas dan peralatan kerja dilakukan oleh
DP2KA atas konsultasi dengan SKPD terkati dengan didasarkan atas analisis
kebutuhan yang profesional. Proses pengadaan dilakukan lewat prosedur standar
seperti diatur dalam aturan pengadaan. Dengan demikian, tidak ada satu pun
pegawai yang tidak memiliki peralatan dan fasilitas kerja minimal. Tetapi, juga
tidak ada pegawai yang memiliki fasilitas yang berlebihan dan tidak diperlukan
untuk menjalankan tugasnya.
g. Membangun sistem pemeliharaan motivasi
pegawai: prosperity follow performance
Salah satu hal yang sangat mempengaruhi motivasi adalah
struktur dan besaran remunerasi. Di sini struktur dan besaran, bukan hanya
besaran. Ada banyak contoh kasus dimana remunerasi besar tidak bisa mendorong
motivasi jika tidak diatur oleh struktur yang cocok. (Armada, 2013).
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan uraian singkat dari bab sebelumnya terkait
menggagas kinerja birokrasi pemerintah dalam pelayanan publik, maka penulis
menyimpulkan:
1. Birokrasi merupakan sistem administratif dan
pelaksanaan tugas keseharian yang terstruktur, dalam sistem hierarki yang
jelas, dilakukan dengan aturan tertulis, dilakukan oleh bagian tertentu yang
terpisah dengan bagian lainnya, oleh orang yang dipilih karena kemampuan dan keahlian
di bidangnya. Dalam bidang publik konsep birokrasi dimaknai sebagai proses dan
sistem yang diciptakan secara rasional untuk menjamin mekanisme dan sistem
kerja yang teratur, pasti, dan mudah dikendalikan.
2. Terdapat 7 (tujuh) gagasan kinerja birokrasi
dalam reformasi birokrasi khususnya untuk pemerintah daerah, yaitu: (a) Membangun
sistem usulan dan pemantauan hasil pembangunan antara masyarakat dan struktur
pemerintahan; (b) Mendefinisikan hasil dan anggaran untuk
mencapai hasil dalam RPJMD/Renstra; (c) Membangun tata organisasi, tata laksana
dan deskripsi jabatan yang mendukung pencapaian hasil-hasil; (d) Memastikan
setiap pegawai menempati posisi yang tepat untuk mencapai hasil-hasil; (e) Memastikan
setiap pegawai memiliki kompetensi memadai untuk mencapai hasil-hasil; (f)
Melengkapi fasilitas dan peralatan kerja pegawai sesuai kebutuhan untuk
mencapai hasil-hasil; (g) Membangun sistem pemeliharaan motivasi pegawai: prosperity follow performance.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Eko
Maulana. 2012. Kepemimpinan
Transformasional dalam Birokrasi Pemerintah. Cetakan I. Jakarta: PT.
Multicerdas Publishing.
Azhari. 2011. Mereformasi Birokrasi Publik Indonesia.
Cetakan I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dwiyanto, Agus.
2010. Manajemen Pelayanan Publik :
Peduli, Inklusif, dan Kolaboratif. Yogyakarta: UGM Press.
Hardiyansyah.
2012. Sistem Administrasi dan Manajemen :
Sumber Daya Manusia dalam Perspektif Otonomi Daerah. Cetakan I. Yogyakarta:
Gava Media.
Kumorotomo,
Wahyudi. 2009. Governance Reform di Indonesia
: Mencari Arah Kelembagaan Politik yang Demokratis dan Birokrasi yang
Profesional. Yogyakarta: Gava Media.
Madani, Muhlis.
2011. Dimensi Interaksi Aktor dalam
Proses Perumusan Kebijakan Publik. Edisi I, Cetakan I. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Martini, Rina.
2012. Birokrasi dan Politik. Cetakan
I. Semarang: UPT UNDIP Press.
Parmenter, David.
2010. Key Performance Indicators : Pengembangan, Implementasi dan Penggunaan
KPI Terpilih. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Pasolong,
Harbani. 2011. Teori Administrasi Publik.
Cetakan III. Bandung: Alfabeta.
Rivai, Veithzal
dan Basri. 2010. Performance Appraisal:
Sistem yang Tepat untuk Menilai Kinerja Karyawan dan Meningkatkan Daya Saing
Perusahaan. , Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Samsudin,
Sadili. 2009. Manajemen Sumber Daya
Manusia. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Setiyono, Budi.
2012. Birokrasi dalam Perspektif Politik
dan Administrasi. Cetakan I. Bandung: NUANSA.
Sinambela, Lijan
Poltak. 2012. Kinerja Pegawai : Teori
Pengukuran dan Implikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Soekanto,
Soerjono. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar.
Edisi I, Cetakan ke-44. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Sulistiyani,
Ambar Teguh dan Rosidah. 2009. Manajemen
Sumber Daya Manusia : Konsep, Teori dan Pengembangan dalam Organisasi Publik.
Edisi II, Cetakan I. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Thoha, Miftah.
2010. Birokrasi dan Politik di Indonesia.
Edisi I, Cetakan ke-7. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Thoha, Miftah.
2011. Birokrasi Pemerintah Indonesia di
Era Reformasi. Edisi I Cetakan ke-3. Jakarta: Kencana.
Thoha, Miftah.
2012. Birokrasi Pemerintah dan Kekuasaan
di Indonesia. Cetakan I. Yogyakarta: Thafa Media.
Tjokrowinoto,
Moeljarto dkk. 2011. Birokrasi dalam
Polemik. Cetakan III. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Utomo, Warsito.
2012. Administrasi Publik Baru Indonesia
: Perubahan Paradigma dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik.
Cetakan IV. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Halaman Website:
Armada,
Zulfikri. 2013. Menggagas Budaya Inovasi
dan Reformasi Birokrasi Indonesia. Sumber:
http://catatanpamong.blogspot.com/2013/06/makalah-menggagas-budaya-inovasi-dan.html,
di akses pada tanggal 19 Januari pada pukul 23:40 Wita.
Raha, Septian.
2013. Makalah Birokrasi. Sumber: http://www.academia.edu/5160506/MAKALAH_BIROKRASI,
di akses pada tanggal 19 Januari pada pukul 23:37 Wita.
Waluyo, Cipto.
2013. Makalah Kinerja Pegawai.
Sumber: http://jantifornia.blogspot.com/2013/03/makalah-kinerja-pegawai.html,
di akses pada tanggal 19 Januari 2015 pada pukul 23:23 Wita.
Peraturan-Peraturan:
Peraturan
Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025.
Peraturan
Menteri Pemberdayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 20 tahun
2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014.
Keppres 14 Tahun
2010 tentang Pembentukan Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dan Tim
Reformasi Birokrasi Nasional, yang disempurnakan menjadi Keppres Nomor 23 Tahun
2010.
Keputusan Menteri
Pemberdayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 355 Tahun 2010
tentang Pembentukan Tim Independen.
Keputusan Menteri Pemberdayaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 356 Tahun 2010 tentang Pembentukan Tim
Penjamin Kualitas (Quality Assurance).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar