Sabtu, 24 Januari 2015

MANAJEMEN SEKTOR PUBLIK DAN KELUHAN MASYARAKAT TERHADAP PELAYANAN PUBLIK


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
              Salah satu agenda pembangunan nasional adalah menciptakan tata pemerintahan yang bersih, dan berwibawa. Agenda tersebut merupakan upaya untuk mewujudkan manajemen pemerintahan yang baik dan efektif, antara lain: keterbukaan, akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi, menjunjung tinggi supremasi hukum, dan membuka partisipasi masyarakat yang dapat menjamin kelancaran, keserasian dan keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Untuk itu diperlukan langkah-langkah kebijakan yang terarah pada perubahan kelembagaan dan sistem ketatalaksanaan; kualitas sumber daya manusia aparatur; dan sistem pengawasan dan pemeriksaan yang efektif.
              Dari sisi internal, faktor demokratisasi dan desentralisasi telah membawa dampak pada proses pengambilan keputusan kebijakan publik. Dampak tersebut terkait dengan, makin meningkatnya tuntutan akan partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik; meningkatnya tuntutan penerapan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik antara lain transparansi, akuntabilitas dan kualitas kinerja publik serta taat pada hukum; meningkatnya tuntutan dalam pelimpahan tanggung jawab, kewenangan dan pengambilan keputusan.
              Manajemen pemerintah daerah di Indonesia memasuki era baru seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah dalam rangka menyelenggarakan roda pemerintahan. Kewenangan tersebut diberikan secara profesional yang diwujudkan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, daerah diberi kewenangan yang luas untuk mengurus rumah tangganya sendiri dengan sedikit mungkin campur tangan pemerintah pusat. Pemerintah daerah mempunyai hak dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang dimilikinya sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang berkembang di daerah. peraturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta pembagian-pembagian keuangan pusat dan daerah sesuai dengan ketetapan MPR RI.
              Kebijakan otonomi daerah sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, diharapkan mampu menyelaraskan salah satu tujuan dari semangat otonomi daerah yakni lebih mendekatkan pemerintah sebagai penyedia layanan kepada masyarakat. Hal ini karena pada dasarnya, misi dari otonomi daerah adalah: 1) Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat; 2) Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah dan; 3) Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.
              Sebagai turunannya, pemerintah melakukan langkah-langkah perbaikan pelayanan publik melalui peningkatan kualitas aparatur pemerintah dan di regulasi kebijakan di bidang pelayanan umum. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dalam keputusan No. 6 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, menyatakan bahwa “Hakikat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat”. Pernyataan tersebut cukup menegaskan bahwa pemerintah berperan sebagai instansi yang memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat. Karena pada dasarnya masyarakat adalah warga negara yang harus dipenuhi hak-haknya oleh pemerintah. Sebagai instansi yang wajib memberikan pelayanan publik pemerintah harus dapat memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya sesuai dengan peraturan-perundangan yang berlaku.
              Berdasarkan kondisi faktual yang ditemukan di masyarakat, adanya kebijakan nasional untuk memperbaiki pelayanan publik, ternyata belum dapat menjamin penyelenggaraan pelayanan publik yang lebih berkualitas. Buktinya, masih banyak ditemukan ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan masyarakat, penyelenggaraan pendidikan, pelayanan administrasi kependudukan, ketenagakerjaan, dan lain-lain.

B.   Rumusan Masalah
              Berdasarkan uraian singkat dari latar belakang di atas, maka penulis merumuskan permasalahan pada:
1.  Bagaimana pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah ditinjau dari konteks manajemen      sektor publik?
2.  Apa yang dimaksud dengan keluhan masyarakat terhadap pelayanan publik?
C.   Tujuan Penulisan
              Berdasarkan uraian dari rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.  Untuk mengetahui pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah ditinjau dari konteks manajemen sektor publik.
2.    Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan keluhan masyarakat terhadap pelayanan publik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.   Konsep Pelayanan Publik
1.    Pengertian Pelayanan Publik
              Istilah pelayanan dalam bahasa Inggris adalah “service” A.S. Moenir (2002:26-27) mendefinisikan “pelayanan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan landasan tertentu dimana tingkat pemuasannya hanya dapat dirasakan oleh orang yang melayani atau dilayani, tergantung kepada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pengguna”.
              Pelayanan pada hakikatnya adalah serangkaian kegiatan, karena itu proses pelayanan berlangsung secara rutin dan berkesinambungan, meliputi seluruh kehidupan organisasi dalam masyarakat. Proses yang dimaksudkan dilakukan sehubungan dengan saling memenuhi kebutuhan antara penerima dan pemberi pelayanan. Pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik (Kotler dalam Lukman, 2000:8). Definisi pelayanan menurut Kotler jelas bahwa pelayanan adalah suatu kumpulan atau kesatuan yang melakukan kegiatan menguntungkan dan menawarkan suatu kepuasan meskipun hasilnya secara fisik tidak terikat kepada produk.
              Lebih Pelayanan berasal dari kata layanan yang artinya kegiatan yang memberikan manfaat kepada orang lain, Simamora dalam bukunya berjudul Memenangkan Pasar Dengan Pemasaran Efektif dan Profesional mendefinisikan layanan sebagai berikut: “Layanan adalah setiap kegiatan atau manfaat yang ditawarkan suatu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun”. (Simamora, 2001:172). Pendapat tersebut, mengemukakan bahwa layanan merupakan kegiatan yang ditawarkan oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat yang tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun yang hasilnya akan bermanfaat bagi masyarakat dan bagi aparatur itu sendiri.
              Menurut Hurriyati (2005:28), menjelaskan bahwa pelayanan adalah seluruh aktivitas ekonomi dengan output selain produk dalam pengertian fisik, dikonsumsi dan diproduksi pada saat bersamaan, memberikan nilai tambah dan secara prinsip tidak berwujud (intangible) bagi pembeli pertamanya. Berdasarkan dari definisi tersebut, dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya pelayanan adalah sesuatu yang tidak berwujud tetapi dapat memenuhi kebutuhan pelanggan atau masyarakat. Pelayanan tidak dapat mengakibatkan peralihan hak atau kepemilikan dan terdapat interaksi antara penyedia jasa dengan pengguna jasa.
              Pengertian pelayanan umum atau pelayanan publik tidak terlepas dari masalah kepentingan umum. Kepentingan umum dengan pelayanan umum saling berkaitan. Pelayanan publik dalam perkembangan lebih lanjut dapat juga timbul karena adanya kewajiban sebagai suatu proses penyelenggaraan kegiatan organisasi. Menurut Dwiyanto (2005:141-145), bahwa pelayanan publik serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh birokrasi publik untuk memenuhi kebutuhan warga pengguna. Pengguna atau pelanggan yang dimaksud menurutnya di sini adalah warga negara yang membutuhkan pelayanan publik, seperti dalam pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), dan sebagainya.
              Pelayanan publik merupakan serangkaian aktifitas yang diberikan oleh suatu organisasi atau birokrasi publik untuk memenuhi kebutuhan yang dibutuhkan masyarakat. Pelayanan publik dimaknai sebagai usaha pemenuhan hak-hak dasar masyarakat dan merupakan kewajiban pemerintah untuk melakukan pemenuhan hak-hak dasar tersebut. (Kurniawan dan Najib, 2008:56). Pelayanan publik sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah dalam bentuk barang dan jasa baik dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan perundang-undangan.
              Lebih lanjut menurut Nurcholis, (2005:175-176), pelayanan publik adalah pelayanan yang diberikan oleh negara dan perusahaan milik negara kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan menurut Mahmudi (2005:213), pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan publik dan pelaksana ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelayanan publik merupakan pelayanan yang diberikan untuk masyarakat banyak. Pelayanan publik diberikan oleh negara melalui organisasi atau perusahaan maupun instansi pemerintah demi menciptakan kesejahteraan masyarakat.
              Pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah yang efektif dapat memperkuat demokrasi dan hak asasi manusia, mempromosikan kemakmuran ekonomi, kohesi sosial, mengurangi kemiskinan, meningkatkan perlindungan lingkungan, bijak dalam pemanfaatan sumberdaya alam, memperdalam kepercayaan pada pemerintahan dan administrasi publik. Pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara pemerintah serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh birokrasi publik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, Negara didirikan oleh publik (masyarakat) tentu saja dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. (Sinambela, 2006:5).
              Berdasarkan penjelasan dari definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pelayanan publik adalah segala bentuk jasa pelayanan baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi pemerintah di Pusat, di daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang- undangan.

a.    Faktor pendukung pelayanan publik
              Pelayanan publik pada dasarnya memuaskan kebutuhan masyarakat yang diberikan oleh pemerintah, oleh karena itu Moenir berpendapat bahwa pemerintah dalam memberikan pelayanan publik terbaik kepada publik, dapat dilakukan dengan cara:
1)    Kemudahan dalam pengurusan kepentingan;
2)    Mendapatkan pelayanan secara wajar;
3)    Mendapatkan perlakuan yang sama tanpa pilih-kasih;
4)    Mendapatkan perlakuan yang jujur dan terus terang. (Moenir, 2006:47).
              Pelayanan yang baik dan memuaskan yang dilakukan oleh institusi pemerintah ataupun organisasi publik lainnya terhadap masyarakatnya, bahwa pelayanan yang terbaik harus dilakukan dengan cara-cara seperti yang dikutip oleh Moenir di atas yaitu dengan cara: pertama, harus memberikan kemudahan dalam pengurusan berbagai urusan agar pelayanan yang dilakukan bisa berjalan dengan cepat. Kedua, harus memberikan pelayanan yang wajar dan tidak berlebihan sesuai dengan keperluannya masing-masing.
              Pelayanan yang diperoleh secara wajar tanpa gerutu, sindiran atau untaian kata lain semacam itu yang nadanya mengarah pada permintaan sesuatu, baik alasan untuk institusi pemerintah ataupun organisasi publik atau alasan untuk kesejahteraan. Misalnya apabila ingin mendapatkan pelayanan yang cepat maka unit kerja diberikan sesuatu sebagai imbalannya agar mendapatkan pelayanan yang sewajarnya, hal demikian sebenarnya ikut membantu penyimpangan secara tidak langsung.
              Ketiga, harus memberikan perlakuan yang sama tanpa pilih kasih dan tidak membeda-bedakan masyarakat dari segi ekonomi maupun dari segi apapun, sehingga masyarakat mendapatkan perlakuan yang adil dalam mengurus berbagai urusan tanpa membedakan status apapun. Mendapatkan perlakuan yang sama dalam pelayanan terhadap kepentingan yang sama, tertib dan tidak pandang status, artinya apabila memang untuk mendapatkan pelayanan diharuskan antre secara tertib, hendaknya semuanya diwajibkan antre sebagaimana yang lain.
              Keempat, masyarakat harus mendapatkan perlakuan yang jujur dan terus terang tanpa membohongi masyarakat yang akan mengurus urusannya. Pelayanan yang jujur dan terus terang, artinya apabila ada hambatan karena suatu masalah yang tidak dapat dielakkan hendaknya diberitahukan.
b.    Asas-asas pelayanan publik
              Pada dasarnya pelayanan publik dilaksanakan dalam suatu rangkaian kegiatan terpadu yang bersifat sederhana, terbuka, lancar, tepat, lengkap, wajar, dan terjangkau. Oleh sebab itu setidaknya mengandung asas-asas antara lain:
1.    Hak dan kewajiban, baik bagi pemberi dan penerima pelayanan public tersebut, harus jelas dan diketahui dengan baik oleh masing-masing pihak, sehingga tidak ada keragu-raguan dalam pelaksanaannya;
2.    Pengaturan setiap bentuk pelayanan umum harus disesuaikan dengan kondisi kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk membayar, berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dengan tetap berpegang pada efisiensi dan efektifitasnya;
3.    Mutu proses keluaran dan hasil pelayanan publik tersebut harus diupayakan agar dapat memberikan keamanan, kenyamanan, kelancaran dan kepastian hukum yang dapat dipertanggungjawabkan;
4.    Apabila pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Instansi atau Lembaga Pemerintah atau Pemerintahan “terpaksa harus mahal”, maka Instansi atau Lembaga Pemerintah atau Pemerintahan yang bersangkutan berkewajiban “memberi peluang” kepada masyarakat untuk ikut menyelenggarakannya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Ibrahim, 2008:19-20).
              Pelayanan publik akan berkualitas apabila memenuhi asas-asas diantaranya hak dan kewajiban; pengaturan setiap bentuk pelayanan umum harus disesuaikan dengan kondisi kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk membayar, berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; mutu proses keluaran dan hasil pelayanan publik tersebut harus dapat memberikan keamanan, kenyamanan, kelancaran dan kepastian hukum; dan apabila pelayanan publik yang diselenggarakan. oleh Instansi atau Lembaga Pemerintah atau Pemerintahan “terpaksa harus mahal”, maka Instansi atau Lembaga Pemerintah atau Pemerintahan yang bersangkutan berkewajiban “memberikan peluang” kepada masyarakat untuk ikut menyelenggarakannya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c.    Indikator pelayanan publik
              Komitmen pelayanan jasa yang baik dalam upaya mempertahankan dan untuk meningkatkan mutu pelayanan yang berkualitas, maka suatu institusi pemerintah atau organisasi publik harus melakukan pengukuran terhadap kualitas pelayanan yang telah disajikannya. Tujuan pelayanan publik pada dasarnya adalah memuaskan masyarakat, untuk mencapai kepuasan itu dituntut kualitas pelayanan publik yang tercermin dari:
1.    Transparansi
       Transparansi adalah pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti. Transparansi meliputi keterbukaan proses penyelenggaraan pelayanan publik, peraturan dan prosedur pelayanan yang dapat dipahami, dan kemudahan untuk memperoleh informasi mengenai berbagai aspek penyelenggaraan pelayanan publik.

2.    Akuntabilitas
       Akuntabilitas adalah pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Akuntabilitas dapat dilihat dari kinerja pelayanan publik, biaya pelayanan publik dan produk pelayanan publik.
3.    Kondisional
       Kondisional adalah pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan. Kemampuan pemerintah dalam melayani masyarakat yang sesuai kondisi pemberi dan penerima pelayanan. Kemampuan pemerintah dalam menghadapi kendala-kendala yang terjadi dalam pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Kondisional meliputi efisien dan efektif.
4.    Partisipatif
       Partisipatif adalah pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat. Partisipatif dapat dilihat dari identifikasi peran masyarakat, identifikasi metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan partisipasi, mencocokan instrumen partisipasi yang sesuai dengan peran masyarakat dalam proses penyelenggaraan layanan publik, memilih instrumen partisipasi yang akan digunakan, dan mengimplementasikan sebuah strategi yang dipilih.

5.    Kesamaan hak
       Kesamaan hak adalah pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apa pun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial, dan lain-lain. Pelayanan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat dengan tidak membeda-bedakan status sosial dan lainnya. Kesamaan hak dapat dilihat dari keteguhan dan ketegasan.
6.    Keseimbangan hak dan kewajiban
       Keseimbangan hak dan kewajiban adalah pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan publik. Pelayanan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat dapat menciptakan keseimbangan hak dan kewajiban aparatur dan penerima pelayanan. Keseimbangan hak dan kewajiban meliputi keadilan dan kejujuran. (Sinambela, 2006:6).
2.    Pengaduan Masyarakat Dalam Pelayanan Publik
              Permasalahan utama pelayanan publik pada dasarnya adalah berkaitan dengan peningkatan kualitas pelayanan itu sendiri. Pelayanan yang berkualitas sangat tergantung pada berbagai aspek, yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya (tata laksana), dukungan sumber daya manusia, dan kelembagaan. Dilihat dari sisi pola penyelenggaraannya, pelayanan publik masih memiliki berbagai kelemahan antara lain:

a)    Kurang responsif
       Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan penanggungjawab instansi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali.
b)    Kurang informatif
       Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat, lambat atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat.
c)    Kurang accessible
       Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari  jangkauan masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan tersebut.
d)    Kurang koordinasi
       Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya sangat kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait.
e)    Birokratis
       Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama. Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan (front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan dilain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan.
f)     Kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat
       Pada umumnya aparat pelayanan kurang memiliki kemauan untuk mendengar keluhan/saran/ aspirasi dari masyarakat. Akibatnya, pelayanan dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu.
g)    Inefisien
       Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan perijinan) seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan. (Raha, 2014).
a.    Pengertian pengaduan masyarakat (complaints)
              Pelayanan publik dengan kualitas yang baik adalah hak bagi setiap orang. Pemerintah wajib melindungi setiap warga negaranya untuk memastikan bahwa mereka telah mendapat pelayanan publik dengan layak. Karena itu, pemerintah perlu mengatur hubungan antara warga negara, sebagai konsumen pelayanan publik, dengan penyelenggara pelayanan publik. Pemerintah mempunyai kewajiban melindungi konsumen pelayanan publik dalam memperoleh hak-haknya.
              Salah satu bentuk dari perlindungan tersebut adalah dengan memberi ruang dan perhatian pada konsumen untuk menyampaikan keluhannya, khususnya untuk konsumen miskin. Keluhan atau komplain dari konsumen merupakan bentuk respon dari konsumen atas pelayanan yang diterimanya. Respon tersebut sebenarnya dapat menggambarkan bagaimana pemenuhan hak masyarakat atas pelayanan publik terjadi. Pemberian ruang dan perhatian yang memadai kepada keluhan dari konsumen merupakan bentuk perlindungan hak konsumen atas pelayanan publik oleh pemerintah.
              Menurut Bell dan Luddington (dalam Asri, 2007) keluhan pelanggan (customer complaints) adalah umpan balik (feedback) dari pelanggan yang ditujukan kepada perusahaan yang cenderung bersifat negatif. Umpan balik ini dapat dilakukan secara tertulis atau lisan. Keluhan (complaints) terjadi apabila pelanggan tidak merasa senang dengan standar pelayanan yang dilakukan oleh perusahaan. Hal ini akan mempengaruhi keluarga dan teman dari pelanggan dan membutuhkan tanggung jawab dari perusahaan.
              Lebih lanjut menurut Bell et all (dalam Asri, 2007), keluhan dari pelanggan adalah sebuah pengalaman berupa umpan balik yang bersifat negatif dari pelanggan yang dapat memberikan efek berbahaya bagi karyawan bagian frontline dan sikap mereka dari aturan yang berlaku. Sedangkan menurut Simon dan James (2006) keluhan/komplain adalah salah satu bagian dari ekspresi negatif yang dihasilkan karena ketidaksesuaian kenyataan dengan keinginan seseorang. Komplain adalah sebuah aksi yang dilakukan oleh seseorang, yang di dalamnya termasuk mengkomunikasikan sesuatu yang negatif terhadap produk atau pelayanan yang dibuat atau dipasarkan.
              Menurut Audy (2014), komplain atau keluhan itu sebenarnya merupakan bagian dari bentuk “Komunikasi“. Sebuah informasi tentang ketidaksesuaian yang dirasakan pihak kedua yang menerima sebuah jasa atau produk. Oleh karena itu, Komplain atau keluhan itu sebenarnya dibutuhkan, karena komplain akan menghasilkan sebuah informasi. Baik informasi positif atau informasi negatif. Bahkan komplain itu merupakan sebuah komunikasi aktif yang bisa menjurus ke dalam sebuah “interaksi“. Sedangkan menurut Insan Dinami Indonesia (2013) menjelaskan bahwa keluhan/komplain pelayanan adalah merupakan ekspresi perasaan ketidakpuasan atas standar pelayanan, tindakan atau tiadanya tindakan aparat pelayanan yang berpengaruh kepada para pelanggan.
              Ada beberapa faktor yang mempengaruhi apakah seorang pelanggan yang tidak puas akan melakukan komplain atau tidak, yaitu:
a)    Derajat kepentingan konsumsi yang dilakukan;
b)    Tingkat ketidakpuasan pelanggan;
c)    Manfaat yang diperoleh;
d)    Pengetahuan dan pengalaman;
e)    Sikap pelanggan terhadap keluhan;
f)     Tingkat kesulitan dalam mendapatkan ganti rugi;
g)    Peluang keberhasilan dalam melakukan komplain. (Insan Dinami Indonesia, 2013).
              Berdasarkan pengertian dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keluhan/komplain adalah bentuk ketidakpuasan para konsumen terhadap sebuah pelayanan yang diberikan oleh sebuah organisasi publik atau swasta terhadap suatu pemberian produk jasa atau dengan kata lain Keluhan merupakan ungkapan publik yang bisa timbul karena adanya ketidakpuasan publik atas suatu produk atau pelayanan.
b.    Bentuk Penyampaian Komplain
              Menurut Asri (2007), apabila pelanggan merasa tidak puas dan ingin menyampaikan keluhannya, maka biasanya pelanggan menggunakan beberapa bentuk diantaranya:
1).   Surat
       Surat biasanya digunakan dalam penyampaian keluhan, pelanggan menyampaikan keluhannya dalam surat ketika mereka merasa sangat tidak puas dengan produk atau pelayanan dari perusahaan. Bentuk ini memiliki keuntungan untuk perusahaan, karena perusahaan memiliki waktu yang lebih untuk memahami masalah yang dihadapi, mencari solusi masalah tersebut kemudian baru setelah itu memberikan surat balasan kepada pelanggan.
2)    Berbicara Langsung Kepada Karyawan
       Bentuk yang paling umum digunakan terutama dalam bisnis retail adalah menyampaikan keluhan langsung kepada karyawan, yang biasanya adalah front line staff atau karyawan dibagian pelayanan pelanggan (costumer service). Keluhan biasanya dalam kata-kata yang tidak formal bahkan kadang-kadang cenderung keras dan kasar. Namun bentuk ini juga memberikan manfaat bagi perusahaan dalam hal penyediaan informasi yang akurat tentang bagaimana pengalaman pelanggan dengan produk dan pelayanan perusahaan, serta peluang bagi karyawan untuk menyelesaikan masalah ini bagi pelanggan dan untuk pengembangan perusahaan di masa depan.
3)    Telepon
       Bentuk ini juga umum digunakan, biasanya dipakai bila pelanggan enggan untuk menuliskan keluhannya, tidak terlalu ingin menggunakan bahasa yang formal dan sedang mengalami ketidakpuasan yang cukup tinggi atas suatu hal. Frekuensi penerimaan keluhan sangat tergantung pada seberapa sering perusahaan menggunakan telepon dalam bentuk call centre atau basic office line. Namun call centre lebih mampu menampung banyak keluhan pelanggan daripada basic office line. Konsekuensi dari bentuk ini adalah waktu yang dimiliki karyawan relative singkat dalam menyelesaikan masalah yang dikeluhkan pelanggan dibandingkan surat atau email.
4)    Email
       Bentuk ini hampir sama dengan surat, biasanya pelanggan cenderung untuk menggambarkan masalah yang lebih kecil dengan harapan dapat diselesaikan dalam waktu yang lebih singkat. Email yang diterima perusahaan akan sangat tergantung kepada seberapa sering perusahaan menggunakan email atau apakah perusahaan menyediakan email yang difungsikan untuk menampung keluhan dari pelanggan.
              Sedangkan menurut Cendikia, dkk (2007:14), konsumen yang secara ekonomi cukup mampu ketika menerima pelayanan publik yang tidak memuaskan, dapat menyampaikan respon pada penyelenggara dengan cara:
1)    Exit Mechanism
       Yaitu dengan meninggalkan penyedia pelayanan publik tersebut dan menggantinya dengan layanan lain yang kualitasnya lebih baik meski dengan biaya yang lebih mahal. Tetapi exit mechanism ini tidak dapat diterapkan untuk sektor-sektor yang telah dimonopoli oleh penyedia pelayanan publik tertentu (baik monopoli dari instansi pemerintah maupun swasta). Penyediaan listrik, jasa telepon, air minum dan masih banyak lagi adalah contoh dari sektor pelayanan publik di mana konsumen tidak dapat melakukan exit mechanism. Konsumen miskin umumnya juga tidak dapat menggunakan pilihan mekanisme, meskipun pada sektor pelayanan publik yang memiliki banyak pilihan.
2)    Voice Mechanism
       Di Indonesia, pengajuan keluhan tersebut sering manifest dalam bentuk-bentuk protes-protes sporadis, misalnya dalam bentuk demonstrasi menggugat institusi pelayanan publik, surat pembaca di media massa, protes-protes publik dalam berbagai event. Pengajuan keluhan dengan cara seperti itu kadang-kadang mampu memperkuat posisi konsumen dalam negosiasi dengan institusi penyedia pelayanan publik. Kadang-kadang berhasil dicapai kesepakatan-kesepakatan positif untuk perbaikan sistem pelayanan publik.
              Sedangkan menurut Hirschman (1970:39), mengungkapkan tiga bentuk respon yang dapat dilakukan masyarakat atas pelayanan yang mengecewakan, yaitu:
1)    Exit, dilakukan ketika masyarakat tidak puas pada pelayanan dengan mencari alternatif pelayanan dari organisasi lain
2)    Voice, dilakukan melalui keluhan pada birokrasi pelayanan
3) Loyalty, merupakan bentuk kesetiaan terhadap birokrasi yang melakukan pelayanan, meskipun mempunyai pilihan untuk exit, namun lebih memilih voice untuk mengungkapkan kekecewaan kemudian tetap loyal pada organisasi meskipun mempunyai rasa kecewa.
              Keluhan sering di pandang sebagai hal buruk bagi kehidupan organisasi, sehingga banyak pihak berusaha menutupi atau mengabaikannya. Padahal keluhan menjadi peringatan bermanfaat untuk meningkatkan kualitas organisasi. Bahkan dengan kemampuan mengelola dan merespon keluhan dapat menjadi kunci keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan, yaitu meningkatkan kepuasan dan loyalitas pelanggan, bahkan dapat meningkatkan keuntungan (Prawirosentono, 2008:51). Bahkan mungkin pula terdapat organisasi yang malah menganggap komplain atau keluhan sebagai upaya menjelekkan organisasi sehingga mereka cenderung melakukan penolakan terhadap komplain yang dilakukan oleh pelanggan.
c.    Jenis Komplain
              Menurut Kotler (2003:59) ada beberapa macam keluhan, yaitu:
1)    Keluhan yang disampaikan secara lisan melalui telepon dan komunikasi secara langsung;
2)    Keluhan yang disampaikan secara tertulis melalui guest complain form.
              Menurut Sugirto (1999:31), keluhan pelanggan dapat di kategorikan atau di kelompokkan menjadi empat, yaitu:
1)    Mechanical Complaint (Keluhan mekanikal)
       Mechanical Complaint adalah suatu keluhan yang disampaikan oleh pelanggan sehubungan dengan tidak berfungsinya peralatan yang dibeli atau disampaikan kepada pelanggan tersebut. Atau dengan kata lain, produk atau output dari pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini dapat terjadi karena kerusakan atau kualitas tidak maksimal.
2)    Attitudinal Complaint (Keluhan akibat sikap petugas pelayanan)
       Attitudinal Complaint adalah keluhan pelanggan yang timbul karena sikap negatif petugas pelayanan pada saat melayani pelanggan. Hal ini dapat dirasakan oleh pelanggan melalui sikap tidak peduli dari petugas pelayanan terhadap pelanggan.
3)    Service Related Complaint (Keluhan yang berhubungan dengan pelayanan)
       Service Related Complaint adalah suatu keluhan pelanggan karena hal-hal yang berhubungan dengan pelayanan itu sendiri. Misalnya seseorang mendaftar untuk ikut serta suatu pertandingan, ternyata formulir pendaftaran belum siap dan oleh petugas diminta untuk menunggu.
4)    Unusual Complaint (Keluhan yang aneh)
       Unusual Complaint adalah keluhan pelanggan yang bagi petugas merupakan keanehan (tidak wajar/tidak umum). Pelanggan yang mengeluh seperti ini biasanya secara psikologis adalah orang-orang yang hidupnya tidak bahagia atau kesepian.
d.    Penanganan Pengaduan di Indonesia
              Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) dalam Cendikia, dkk (2007:15) di beberapa propinsi pada tahun 2005 angka pengaduan konsumen di berbagai instansi pelayanan publik cukup rendah. Tetapi rendahnya angka pengaduan ini sebenarnya tidak menggambarkan kepuasan konsumen atas pelayanan publik. Sebagian orang yang pesimis untuk melakukan pengaduan, sebagian lagi tidak memperoleh akses untuk melakukan pengaduan, bahkan ada cukup banyak orang yang takut untuk melakukan pengaduan.
              Banyaknya masyarakat yang menjadi pesimis karena merasa tidak yakin dengan hasil yang akan dicapai jika ia menyampaikan pengaduan. Kenyataan sering membuktikan bahwa banyak pengaduan tidak ditanggapi secara serius oleh pihak penyedia pelayanan publik. Ketiadaan mekanisme untuk memantau proses penanganan pengaduan, yang membuat orang tidak tahu nasib pengaduan yang disampaikannya, juga berkontribusi menyebabkan sikap pesimis tersebut. Banyak juga konsumen, khususnya konsumen miskin, yang merasa sulit memperoleh akses untuk mengadukan ketidakpuasannya atas pelayanan publik yang diterimanya. Para konsumen tersebut mengalami kesulitan untuk mengetahui sistem pengaduan yang sebenarnya berlaku, untuk menyampaikan pengaduan kepada pihak yang memiliki wewenang penyelesaiaan masalah, dan untuk memantau pengaduan yang mereka lakukan. Alasan ketakutan juga sering muncul pada konsumen dalam menyampaikan komplain. Alasan ini sering muncul khususnya pada konsumen dari keluarga miskin. Menurut Cendikia, dkk (2007:15), faktor hambatan budaya memang menjadi salah satu penyebab munculnya ketakutan atau keengganan untuk mengadu tersebut. Tetapi ketiadaan jaminan bahwa pengadu tidak akan mendapat resiko apapun dari pengaduan yang dilakukannya juga berkontribusi terhadap munculnya alasan tersebut.
              Permasalahan mekanisme komplain tidak hanya disebabkan oleh kelemahan di sisi masyarakat, tetapi juga di sisi pemerintah. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) dalam Cendikia, dkk (2007:15), rendahnya respon instansi penyedia pelayanan terhadap keluhan atau pengaduan dari masyarakat adalah yang mengakibatkan munculnya sikap skeptis dari masyarakat. Warga masyarakat jera untuk mengadukan keluhannya. Karena itu angka pengaduan di beberapa instansi pelayanan publik relatif rendah. Kotak saran dan pengaduan yang dipasang di kantor-kantor instansi pemerintah daerah lebih banyak kosong. Rendahnya angka pengaduan ini sebenarnya tidak menggambarkan kepuasan masyarakat atas pelayanan publik. Tetapi hal itu terjadi justru karena banyak warga masyarakat merasa tidak yakin dengan hasil yang akan diperoleh dengan melakukan pengaduan. Selain itu, warga masyarakat dari kalangan yang tidak mampu dan kurang berpendidikan juga tidak tahu cara mengadukan keluhannya.
              Rendahnya respon terhadap keluhan ini sebelumhya dikemukakan oleh Eliassen dan Kooiman dalam Rahayu (1997:6) yang menyatakan bahwa di dalam negara demokratis sekalipun, dimana masyarakat dapat menuntut pelayanan publik yang dirasakan tidak memuaskan, tetapi hukum lebih bersifat mengatur daripada menanyakan apakah warga masyarakat puas atau tidak dengan pelayanan tersebut. Kondisi dan lingkungan demikian membuat organisasi publik tidak merasa “bergantung” pada klien atau masyarakat pengguna barang dan jasa.
              Hal berbeda terjadi di sektor swasta. Tingginya kompetisi mengakibatkan perusahaan swasta harus memberikan pelayanan yang optimal termasuk menanggapi keluhan/pengaduan konsumen atas pelayanan yang diterimanya. Karena itu, perusahaan swasta biasanya responsif atas keluhan/pengaduan konsumen, bahkan memiliki mekanisme untuk menangani pengaduan dari konsumen tersebut. Menurut Supranto (1997:9) di sektor swasta, pelanggan harus dipuaskan, sebab kalau tidak pelanggan akan meninggalkan dan menjadi pelanggan pesaingnya. Ini pada gilirannya akan menimbulkan kerugian ke perusahaan.
              Padahal menurut Ratminto (2005:75) pelayanan publik yang berkualitas mensyaratkan keseimbangan posisi tawar antara instansi penyedia pelayanan publik dengan masyarakat penerima pelayanan. Keseimbangan posisi tawar itu dapat dicapai salah satunya dengan menerapkan konsep customer complaint system (sistem penanganan pengaduan). Idenya adalah menciptakan suatu sistem penanganan keluhan yang efektif dan responsif, sehingga masyarakat (pelanggan) tidak merasa segan untuk menyampaikan keluhannya atau pengaduannya karena tahu pasti bahwa pengaduan itu pasti akan ditindaklanjuti. Pengaduan atau keluhan ini merupakan salah satu partisipasi masyarakat.
              Mekanisme komplain yang saat ini tersedia umumnya masih belum mampu mendukung terjadinya pengajuan komplain yang efektif, mudah dan murah dari konsumen pelayanan publik. Menurut Cendikia, dkk (2007:17-18), beberapa persoalan yang sering ditemukan adalah sebagai berikut:
1)    Konsumen hanya dapat bertemu dengan personil di bagian pengaduan. Tidak ada media yang secara mudah memungkinkan bertemunya konsumen dengan pihak pengambil keputusan dalam institusi pelayanan publik.
2)    Kewenangan bagian pengaduan hanya menerima pengaduan dari konsumen semata. Bagian ini menjadi sub-ordinat dari manajemen di institusi pelayanan publik. Artinya bagian pengaduan bukan merupakan bagian yang memiliki kewenangan pembuatan keputusan.
3)    Jenis pengaduan yang diperkenankan hanya umumnya hanya keluhan teknis. Konsumen tidak dapat mengadukan masalah yang lebih substansial, seperti pengaduan dugaan korupsi dalam pengadaan fasilitas pelayanan publik atau keluhan terhadap standar pelayanan yang ditetapkan.
4)    Lemahnya mekanisme di internal institusi publik untuk mencegah adanya pungutan dalam pengaduan konsumen. Berkembangnya pungutan biaya tak resmi tersebut akan sangat membebani konsumen dengan taraf ekonomi lemah untuk memanfaatkan bagian pengaduan tersebut.
5)    Institusi pelayanan publik biasanya tidak bersikap pro-aktif dalam mendorong atau memberdayakan konsumen untuk memberi respon. Institusi pelayanan publik umumnya belum menganggap penting respon publik atas pelayanannya.
6)    Jika konsumen tidak puas terhadap penyedia pelayanan publik atas penanganan keluhan yang dilakukannya, konsumen tersebut tidak dapat melakukan apa-apa. Ketidak-puasan tersebut sebenarnya dapat ditndaklanjuti konsumen dengan pengajuan gugatan melalui pengadilan, misalnya dengan class action. Tetapi cara tersebut tidak mudah dan murah bagi konsumen kebanyakan.
7)    Transparansi dalam mekanisme pengelolaan keluhan yang tersedia masih sangat terbatas. Tidak cukup tersedia informasi mengenai prosedur pengaduan, pihak yang bertanggung-jawab atas permasalahan yang dihadapi konsumen, dan proses pengelolaan keluhan. Ketiadaan transparansi tersebut meliputi tiadanya budaya transparansi dari aparat pelayanan publik dan tidak tersedia sistem yang transparan.
8)    Institusi pelayanan publik belum banyak yang mengakui hak partisipasi dari masyarakat (konsumen). Masyarakat belum dapat terlibat dalam proses pengawasan dan pengusulan pelayanan publik. Karena itu, institusi penyedia pelayanan publik sering tidak memperhatikan perlunya mekanisme pengelolaan keluhan.

BAB III
PENUTUP
A.   Simpulan
              Berdasarkan pemaparan yang telah diuraikan dari bab sebelumnya terkait manajemen sektor publik dan keluhan masyarakat terhadap pelayanan publik, maka penulis menyimpulkan sebagai berikut:
1.    Pelayanan publik merupakan segala bentuk jasa pelayanan baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi pemerintah di Pusat, di daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang- undangan.
2.    Keluhan/komplain merupakan bentuk ketidakpuasan para konsumen terhadap sebuah pelayanan yang diberikan oleh sebuah organisasi publik atau swasta terhadap suatu pemberian produk jasa atau dengan kata lain Keluhan merupakan ungkapan publik yang bisa timbul karena adanya ketidakpuasan publik atas suatu produk atau pelayanan.
 Daftar Pustaka
Cendikia, Ilham, dkk. 2007. Implementasi Mekanisme Komplain Terhadap Pelayanan Publik Berbasis Partisipasi Masyarakat. PATTIRO dan ACCESS: Jakarta Selatan.
Dwiyanto, Agus. 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hirschman, Albert O. 1970. Strategi Pembangunan Ekonomi: terjemahan Sitohang, Paul. PT. Dia Rakjat, Yayasan Dana Buku Indonesia: Jakarta.
Hurriyati, Ratih. 2005. Bauran Pemasaran dan Loyalitas Konsumen. CV. Alfabeta: Bandung.
Ibrahim, Amin. 2008. Teori dan Konsep Pelayanan Publik Serta Implementasinya. Bandung : Mandar Maju.
Kotler, Philip. 2003. Manajemen Pemasaran;  edisi kesebelas. Indeks kelompok Gramedia: Jakarta
Kurniawan, J Luthfi dan Mokhammad Najib. 2008. Paradigma Kebijakan Pelayanan Publik. Malang : In Trans.
Lukman, Sampara. 2000. Manajemen Kualitas Pelayanan. Jakarta : STIA LAN.
Mahmudi. 2005. Manajemen Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
Moenir, A.S. 2002. Manajemen Pelayanan Umum Indonesia.Bumi Aksara. Jakarta.
Moenir, A.S. 2002. Manajemen Pelayanan Umum Indonesia : Edisi Revisi. Bumi Aksara. Jakarta.
Nurcholis, Hanif. 2005. Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta : Grasindo.
Prawirosentono, Suryadi. 2008. Kebijakan Kinerja Karyawan. Yogyakarta : BPFE.
Rahayu, Amy Y.S. 1997. Fenomena Sektor Publik dan Era Service Quality, dalam Bisnis dan Birokrasi. PT Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta.
Ratminto, dan Atik Septi W. 2005. Manajemen Pelayanan. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Simamora, Henry. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia. STIE YKPN. Yogyakarta.
Sinambela, P. Lijan. 2006. Reformasi Pelayanan Publik. Jakarta : Bumi Aksara.
Sugiarto, Endar .1999. Psikologi Pelayanan dalam Industri Jasa. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Supranto. 1997. Pengukuran tingkat kepuasan pelanggan untuk menaikkan pangsa pasar. Rineka Cipta: Jakarta.
Halaman Website:
Asri, Nur Sri Ubaya. 2007. Analisis Pengaruh Tindakan di dalam Perilaku Komplain Konsumen. Sumber: http://lontar.ui.ac.id. Diakses pada tanggal 11 Desember 2014 pada pukul 19.30 Wita.
Audy. 2014. Pengertian Komplain. Sumber: http://audygunadarma.blogspot.com/. Diakses pada tanggal 11 Desember 2014 pada pukul 21.00 Wita.
Insan Dinami Indonesia. 2013. Manajemen Keluhan. Sumber: http://insandinami.blogspot.com/. Diakses pada tanggal 11 Desember 2014 pada pukul 23.00 Wita.
Raha, Septian. 2015. Makalah Pelayanan Publik. Sumber: https://www.academia.edu/. Diakses pada tanggal 13 Januari 2015 pada pukul 21.42 Wita.
Peraturan-peraturan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.
Keputusan Menteri Pemberdayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 6 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.







1 komentar:

  1. bang kalo boleh tau ini tulisan abang? abang kuliah atau kerja dimana? ini tugas kuliah, skripsi atau tesis?

    BalasHapus