PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu agenda pembangunan nasional adalah
menciptakan tata pemerintahan yang bersih, dan berwibawa. Agenda tersebut
merupakan upaya untuk mewujudkan manajemen pemerintahan yang baik dan efektif,
antara lain: keterbukaan, akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi, menjunjung
tinggi supremasi hukum, dan membuka partisipasi masyarakat yang dapat menjamin
kelancaran, keserasian dan keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan. Untuk itu diperlukan langkah-langkah kebijakan
yang terarah pada perubahan kelembagaan dan sistem ketatalaksanaan; kualitas
sumber daya manusia aparatur; dan sistem pengawasan dan pemeriksaan yang
efektif.
Dari sisi internal, faktor demokratisasi dan
desentralisasi telah membawa dampak pada proses pengambilan keputusan kebijakan
publik. Dampak tersebut terkait dengan, makin meningkatnya tuntutan akan
partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik; meningkatnya tuntutan penerapan
prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik antara lain transparansi,
akuntabilitas dan kualitas kinerja publik serta taat pada hukum; meningkatnya
tuntutan dalam pelimpahan tanggung jawab, kewenangan dan pengambilan keputusan.
Manajemen pemerintah daerah di Indonesia memasuki era
baru seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah. Otonomi daerah adalah suatu
pemberian hak dan kewajiban kepada daerah dalam rangka menyelenggarakan roda
pemerintahan. Kewenangan tersebut diberikan secara profesional yang diwujudkan
dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, daerah diberi kewenangan
yang luas untuk mengurus rumah tangganya sendiri dengan sedikit mungkin campur
tangan pemerintah pusat. Pemerintah daerah mempunyai hak dan kewenangan yang
luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang dimilikinya sesuai dengan
kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang berkembang di daerah. peraturan,
pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta
pembagian-pembagian keuangan pusat dan daerah sesuai dengan ketetapan MPR RI.
Kebijakan otonomi daerah sejak diberlakukannya
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004,
diharapkan mampu menyelaraskan salah satu tujuan dari semangat otonomi daerah
yakni lebih mendekatkan pemerintah sebagai penyedia layanan kepada masyarakat.
Hal ini karena pada dasarnya, misi dari otonomi daerah adalah: 1) Meningkatkan
kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat; 2)
Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah dan; 3)
Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk
berpartisipasi dalam proses pembangunan.
Sebagai turunannya, pemerintah melakukan
langkah-langkah perbaikan pelayanan publik melalui peningkatan kualitas
aparatur pemerintah dan di regulasi kebijakan di bidang pelayanan umum. Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dalam keputusan No. 6 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pelayanan Publik, menyatakan bahwa “Hakikat pelayanan publik
adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban
aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat”. Pernyataan tersebut cukup
menegaskan bahwa pemerintah berperan sebagai instansi yang memberikan pelayanan
yang prima kepada masyarakat. Karena pada dasarnya masyarakat adalah warga
negara yang harus dipenuhi hak-haknya oleh pemerintah. Sebagai instansi yang
wajib memberikan pelayanan publik pemerintah harus dapat memberikan pelayanan
yang sebaik-baiknya sesuai dengan peraturan-perundangan yang berlaku.
Berdasarkan kondisi faktual yang ditemukan di
masyarakat, adanya kebijakan nasional untuk memperbaiki pelayanan publik,
ternyata belum dapat menjamin penyelenggaraan pelayanan publik yang lebih berkualitas.
Buktinya, masih banyak ditemukan ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan masyarakat, penyelenggaraan pendidikan, pelayanan administrasi
kependudukan, ketenagakerjaan, dan lain-lain.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian singkat dari latar belakang di atas,
maka penulis merumuskan permasalahan pada:
1. Bagaimana pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah ditinjau dari
konteks manajemen sektor publik?
2. Apa yang dimaksud dengan keluhan masyarakat terhadap pelayanan
publik?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan uraian dari rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah ditinjau dari konteks manajemen sektor publik.
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan keluhan masyarakat terhadap pelayanan publik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Pelayanan Publik
1. Pengertian Pelayanan Publik
Istilah pelayanan dalam bahasa Inggris adalah “service” A.S. Moenir (2002:26-27)
mendefinisikan “pelayanan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang dengan landasan tertentu dimana tingkat pemuasannya hanya
dapat dirasakan oleh orang yang melayani atau dilayani, tergantung kepada
kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pengguna”.
Pelayanan pada hakikatnya adalah serangkaian kegiatan,
karena itu proses pelayanan berlangsung secara rutin dan berkesinambungan, meliputi
seluruh kehidupan organisasi dalam masyarakat. Proses yang dimaksudkan
dilakukan sehubungan dengan saling memenuhi kebutuhan antara penerima dan
pemberi pelayanan. Pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan dalam
suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak
terikat pada suatu produk secara fisik (Kotler dalam Lukman, 2000:8). Definisi
pelayanan menurut Kotler jelas bahwa pelayanan adalah suatu kumpulan atau
kesatuan yang melakukan kegiatan menguntungkan dan menawarkan suatu kepuasan
meskipun hasilnya secara fisik tidak terikat kepada produk.
Lebih Pelayanan berasal dari kata layanan yang artinya
kegiatan yang memberikan manfaat kepada orang lain, Simamora dalam bukunya
berjudul Memenangkan Pasar Dengan Pemasaran Efektif dan Profesional
mendefinisikan layanan sebagai berikut: “Layanan adalah setiap kegiatan atau
manfaat yang ditawarkan suatu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya tidak
berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun”. (Simamora, 2001:172). Pendapat
tersebut, mengemukakan bahwa layanan merupakan kegiatan yang ditawarkan oleh
aparatur pemerintah kepada masyarakat yang tidak berwujud dan tidak
mengakibatkan kepemilikan apapun yang hasilnya akan bermanfaat bagi masyarakat
dan bagi aparatur itu sendiri.
Menurut Hurriyati (2005:28), menjelaskan bahwa pelayanan
adalah seluruh aktivitas ekonomi dengan output selain produk dalam pengertian
fisik, dikonsumsi dan diproduksi pada saat bersamaan, memberikan nilai tambah
dan secara prinsip tidak berwujud (intangible)
bagi pembeli pertamanya. Berdasarkan dari definisi tersebut, dapat dikemukakan
bahwa pada dasarnya pelayanan adalah sesuatu yang tidak berwujud tetapi dapat
memenuhi kebutuhan pelanggan atau masyarakat. Pelayanan tidak dapat
mengakibatkan peralihan hak atau kepemilikan dan terdapat interaksi antara
penyedia jasa dengan pengguna jasa.
Pengertian pelayanan umum atau pelayanan publik tidak
terlepas dari masalah kepentingan umum. Kepentingan umum dengan pelayanan umum
saling berkaitan. Pelayanan publik dalam perkembangan lebih lanjut dapat juga
timbul karena adanya kewajiban sebagai suatu proses penyelenggaraan kegiatan
organisasi. Menurut Dwiyanto (2005:141-145), bahwa pelayanan publik serangkaian
aktivitas yang dilakukan oleh birokrasi publik untuk memenuhi kebutuhan warga
pengguna. Pengguna atau pelanggan yang dimaksud menurutnya di sini adalah warga
negara yang membutuhkan pelayanan publik, seperti dalam pembuatan Kartu Tanda
Penduduk (KTP), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), dan sebagainya.
Pelayanan publik merupakan serangkaian aktifitas yang
diberikan oleh suatu organisasi atau birokrasi publik untuk memenuhi kebutuhan
yang dibutuhkan masyarakat. Pelayanan publik dimaknai sebagai usaha pemenuhan
hak-hak dasar masyarakat dan merupakan kewajiban pemerintah untuk melakukan
pemenuhan hak-hak dasar tersebut. (Kurniawan dan Najib, 2008:56). Pelayanan
publik sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi
pemerintah di pusat, di daerah dalam bentuk barang dan jasa baik dalam rangka
pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan
perundang-undangan.
Lebih lanjut menurut Nurcholis, (2005:175-176), pelayanan
publik adalah pelayanan yang diberikan oleh negara dan perusahaan milik negara
kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka menciptakan
kesejahteraan masyarakat. Sedangkan menurut Mahmudi (2005:213), pelayanan
publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara
pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan publik dan pelaksana
ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelayanan publik merupakan pelayanan
yang diberikan untuk masyarakat banyak. Pelayanan publik diberikan oleh negara
melalui organisasi atau perusahaan maupun instansi pemerintah demi menciptakan
kesejahteraan masyarakat.
Pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah yang
efektif dapat memperkuat demokrasi dan hak asasi manusia, mempromosikan
kemakmuran ekonomi, kohesi sosial, mengurangi kemiskinan, meningkatkan
perlindungan lingkungan, bijak dalam pemanfaatan sumberdaya alam, memperdalam
kepercayaan pada pemerintahan dan administrasi publik. Pelayanan publik adalah
pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara pemerintah
serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh birokrasi publik untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat, Negara didirikan oleh publik (masyarakat) tentu saja
dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. (Sinambela,
2006:5).
Berdasarkan penjelasan dari definisi di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa pelayanan publik adalah segala bentuk jasa pelayanan baik
dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi
tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi pemerintah di Pusat, di daerah,
dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam
rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang- undangan.
a. Faktor pendukung pelayanan publik
Pelayanan publik pada dasarnya memuaskan kebutuhan
masyarakat yang diberikan oleh pemerintah, oleh karena itu Moenir berpendapat
bahwa pemerintah dalam memberikan pelayanan publik terbaik kepada publik, dapat
dilakukan dengan cara:
1) Kemudahan dalam pengurusan kepentingan;
2) Mendapatkan pelayanan secara wajar;
3) Mendapatkan perlakuan yang sama tanpa pilih-kasih;
4) Mendapatkan perlakuan yang jujur dan terus terang. (Moenir,
2006:47).
Pelayanan yang baik dan memuaskan yang dilakukan oleh
institusi pemerintah ataupun organisasi publik lainnya terhadap masyarakatnya,
bahwa pelayanan yang terbaik harus dilakukan dengan cara-cara seperti yang
dikutip oleh Moenir di atas yaitu dengan cara: pertama, harus memberikan kemudahan dalam pengurusan berbagai
urusan agar pelayanan yang dilakukan bisa berjalan dengan cepat. Kedua, harus memberikan pelayanan yang
wajar dan tidak berlebihan sesuai dengan keperluannya masing-masing.
Pelayanan yang diperoleh secara wajar tanpa gerutu,
sindiran atau untaian kata lain semacam itu yang nadanya mengarah pada
permintaan sesuatu, baik alasan untuk institusi pemerintah ataupun organisasi
publik atau alasan untuk kesejahteraan. Misalnya apabila ingin mendapatkan pelayanan
yang cepat maka unit kerja diberikan sesuatu sebagai imbalannya agar
mendapatkan pelayanan yang sewajarnya, hal demikian sebenarnya ikut membantu
penyimpangan secara tidak langsung.
Ketiga, harus
memberikan perlakuan yang sama tanpa pilih kasih dan tidak membeda-bedakan
masyarakat dari segi ekonomi maupun dari segi apapun, sehingga masyarakat
mendapatkan perlakuan yang adil dalam mengurus berbagai urusan tanpa membedakan
status apapun. Mendapatkan perlakuan yang sama dalam pelayanan terhadap kepentingan
yang sama, tertib dan tidak pandang status, artinya apabila memang untuk
mendapatkan pelayanan diharuskan antre secara tertib, hendaknya semuanya
diwajibkan antre sebagaimana yang lain.
Keempat,
masyarakat harus mendapatkan perlakuan yang jujur dan terus terang tanpa
membohongi masyarakat yang akan mengurus urusannya. Pelayanan yang jujur dan
terus terang, artinya apabila ada hambatan karena suatu masalah yang tidak
dapat dielakkan hendaknya diberitahukan.
b. Asas-asas pelayanan publik
Pada dasarnya pelayanan publik dilaksanakan dalam suatu
rangkaian kegiatan terpadu yang bersifat sederhana, terbuka, lancar, tepat,
lengkap, wajar, dan terjangkau. Oleh sebab itu setidaknya mengandung asas-asas
antara lain:
1. Hak dan kewajiban, baik bagi pemberi dan penerima pelayanan public
tersebut, harus jelas dan diketahui dengan baik oleh masing-masing pihak,
sehingga tidak ada keragu-raguan dalam pelaksanaannya;
2. Pengaturan setiap bentuk pelayanan umum harus disesuaikan dengan
kondisi kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk membayar, berdasarkan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dengan tetap berpegang pada
efisiensi dan efektifitasnya;
3. Mutu proses keluaran dan hasil pelayanan publik tersebut harus
diupayakan agar dapat memberikan keamanan, kenyamanan, kelancaran dan kepastian
hukum yang dapat dipertanggungjawabkan;
4. Apabila pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Instansi atau
Lembaga Pemerintah atau Pemerintahan “terpaksa harus mahal”, maka Instansi atau
Lembaga Pemerintah atau Pemerintahan yang bersangkutan berkewajiban “memberi
peluang” kepada masyarakat untuk ikut menyelenggarakannya, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Ibrahim, 2008:19-20).
Pelayanan publik akan berkualitas apabila memenuhi
asas-asas diantaranya hak dan kewajiban; pengaturan setiap bentuk pelayanan
umum harus disesuaikan dengan kondisi kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk
membayar, berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; mutu proses
keluaran dan hasil pelayanan publik tersebut harus dapat memberikan keamanan,
kenyamanan, kelancaran dan kepastian hukum; dan apabila pelayanan publik yang
diselenggarakan. oleh Instansi atau Lembaga Pemerintah atau Pemerintahan
“terpaksa harus mahal”, maka Instansi atau Lembaga Pemerintah atau Pemerintahan
yang bersangkutan berkewajiban “memberikan peluang” kepada masyarakat untuk
ikut menyelenggarakannya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
c. Indikator pelayanan publik
Komitmen pelayanan jasa yang baik dalam upaya mempertahankan
dan untuk meningkatkan mutu pelayanan yang berkualitas, maka suatu institusi
pemerintah atau organisasi publik harus melakukan pengukuran terhadap kualitas
pelayanan yang telah disajikannya. Tujuan pelayanan publik pada dasarnya adalah
memuaskan masyarakat, untuk mencapai kepuasan itu dituntut kualitas pelayanan
publik yang tercermin dari:
1. Transparansi
Transparansi adalah pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan
dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai
serta mudah dimengerti. Transparansi meliputi keterbukaan proses
penyelenggaraan pelayanan publik, peraturan dan prosedur pelayanan yang dapat
dipahami, dan kemudahan untuk memperoleh informasi mengenai berbagai aspek
penyelenggaraan pelayanan publik.
2. Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah pelayanan yang dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Akuntabilitas
dapat dilihat dari kinerja pelayanan publik, biaya pelayanan publik dan produk
pelayanan publik.
3. Kondisional
Kondisional adalah pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan
kemampuan pemberi dan penerima pelayanan. Kemampuan pemerintah dalam melayani
masyarakat yang sesuai kondisi pemberi dan penerima pelayanan. Kemampuan
pemerintah dalam menghadapi kendala-kendala yang terjadi dalam pelayanan yang
diberikan kepada masyarakat. Kondisional meliputi efisien dan efektif.
4. Partisipatif
Partisipatif adalah pelayanan yang dapat mendorong peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan
aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat. Partisipatif dapat dilihat dari
identifikasi peran masyarakat, identifikasi metode yang dapat digunakan untuk
meningkatkan partisipasi, mencocokan instrumen partisipasi yang sesuai dengan
peran masyarakat dalam proses penyelenggaraan layanan publik, memilih instrumen
partisipasi yang akan digunakan, dan mengimplementasikan sebuah strategi yang
dipilih.
5. Kesamaan hak
Kesamaan hak adalah pelayanan yang tidak melakukan
diskriminasi dilihat dari aspek apa pun khususnya suku, ras, agama, golongan,
status sosial, dan lain-lain. Pelayanan yang diberikan pemerintah kepada
masyarakat dengan tidak membeda-bedakan status sosial dan lainnya. Kesamaan hak
dapat dilihat dari keteguhan dan ketegasan.
6. Keseimbangan hak dan kewajiban
Keseimbangan hak dan kewajiban adalah pelayanan yang
mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan publik.
Pelayanan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat dapat menciptakan
keseimbangan hak dan kewajiban aparatur dan penerima pelayanan. Keseimbangan
hak dan kewajiban meliputi keadilan dan kejujuran. (Sinambela, 2006:6).
2. Pengaduan Masyarakat Dalam Pelayanan Publik
Permasalahan utama pelayanan publik pada dasarnya
adalah berkaitan dengan peningkatan kualitas pelayanan itu sendiri. Pelayanan
yang berkualitas sangat tergantung pada berbagai aspek, yaitu bagaimana pola
penyelenggaraannya (tata laksana), dukungan sumber daya manusia, dan
kelembagaan. Dilihat dari sisi pola penyelenggaraannya, pelayanan publik masih
memiliki berbagai kelemahan antara lain:
a) Kurang responsif
Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur
pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan penanggungjawab instansi.
Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat
seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali.
b) Kurang informatif
Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada
masyarakat, lambat atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat.
c) Kurang accessible
Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari jangkauan masyarakat, sehingga menyulitkan
bagi mereka yang memerlukan pelayanan tersebut.
d) Kurang koordinasi
Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya
sangat kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun
pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan
lain yang terkait.
e) Birokratis
Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya
dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga
menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama. Dalam kaitan dengan
penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan (front line staff) untuk dapat
menyelesaikan masalah sangat kecil, dan dilain pihak kemungkinan masyarakat
untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah
yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai
masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan.
f) Kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat
Pada umumnya aparat pelayanan kurang memiliki kemauan untuk
mendengar keluhan/saran/ aspirasi dari masyarakat. Akibatnya, pelayanan
dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu.
g) Inefisien
Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam
pelayanan perijinan) seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan. (Raha,
2014).
a. Pengertian pengaduan masyarakat (complaints)
Pelayanan publik dengan kualitas yang baik adalah hak
bagi setiap orang. Pemerintah wajib melindungi setiap warga negaranya untuk
memastikan bahwa mereka telah mendapat pelayanan publik dengan layak. Karena
itu, pemerintah perlu mengatur hubungan antara warga negara, sebagai konsumen
pelayanan publik, dengan penyelenggara pelayanan publik. Pemerintah mempunyai
kewajiban melindungi konsumen pelayanan publik dalam memperoleh hak-haknya.
Salah satu bentuk dari perlindungan tersebut adalah
dengan memberi ruang dan perhatian pada konsumen untuk menyampaikan keluhannya,
khususnya untuk konsumen miskin. Keluhan atau komplain dari konsumen merupakan
bentuk respon dari konsumen atas pelayanan yang diterimanya. Respon tersebut
sebenarnya dapat menggambarkan bagaimana pemenuhan hak masyarakat atas
pelayanan publik terjadi. Pemberian ruang dan perhatian yang memadai kepada
keluhan dari konsumen merupakan bentuk perlindungan hak konsumen atas pelayanan
publik oleh pemerintah.
Menurut Bell dan Luddington (dalam Asri, 2007) keluhan
pelanggan (customer complaints)
adalah umpan balik (feedback) dari
pelanggan yang ditujukan kepada perusahaan yang cenderung bersifat negatif.
Umpan balik ini dapat dilakukan secara tertulis atau lisan. Keluhan (complaints) terjadi apabila pelanggan
tidak merasa senang dengan standar pelayanan yang dilakukan oleh perusahaan.
Hal ini akan mempengaruhi keluarga dan teman dari pelanggan dan membutuhkan
tanggung jawab dari perusahaan.
Lebih lanjut menurut Bell et all (dalam Asri, 2007),
keluhan dari pelanggan adalah sebuah pengalaman berupa umpan balik yang
bersifat negatif dari pelanggan yang dapat memberikan efek berbahaya bagi
karyawan bagian frontline dan sikap
mereka dari aturan yang berlaku. Sedangkan menurut Simon dan James (2006)
keluhan/komplain adalah salah satu bagian dari ekspresi negatif yang dihasilkan
karena ketidaksesuaian kenyataan dengan keinginan seseorang. Komplain adalah
sebuah aksi yang dilakukan oleh seseorang, yang di dalamnya termasuk
mengkomunikasikan sesuatu yang negatif terhadap produk atau pelayanan yang
dibuat atau dipasarkan.
Menurut Audy (2014), komplain atau keluhan itu
sebenarnya merupakan bagian dari bentuk “Komunikasi“. Sebuah informasi tentang
ketidaksesuaian yang dirasakan pihak kedua yang menerima sebuah jasa atau
produk. Oleh karena itu, Komplain atau keluhan itu sebenarnya dibutuhkan,
karena komplain akan menghasilkan sebuah informasi. Baik informasi positif atau
informasi negatif. Bahkan komplain itu merupakan sebuah komunikasi aktif yang
bisa menjurus ke dalam sebuah “interaksi“. Sedangkan menurut Insan Dinami
Indonesia (2013) menjelaskan bahwa keluhan/komplain pelayanan adalah merupakan
ekspresi perasaan ketidakpuasan atas standar pelayanan, tindakan atau tiadanya
tindakan aparat pelayanan yang berpengaruh kepada para pelanggan.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi apakah seorang
pelanggan yang tidak puas akan melakukan komplain atau tidak, yaitu:
a) Derajat kepentingan konsumsi yang dilakukan;
b) Tingkat ketidakpuasan pelanggan;
c) Manfaat yang diperoleh;
d) Pengetahuan dan pengalaman;
e) Sikap pelanggan terhadap keluhan;
f) Tingkat kesulitan dalam mendapatkan ganti rugi;
g) Peluang keberhasilan dalam melakukan komplain. (Insan Dinami
Indonesia, 2013).
Berdasarkan pengertian dari beberapa pendapat di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa keluhan/komplain adalah bentuk ketidakpuasan para
konsumen terhadap sebuah pelayanan yang diberikan oleh sebuah organisasi publik
atau swasta terhadap suatu pemberian produk jasa atau dengan kata lain Keluhan
merupakan ungkapan publik yang bisa timbul karena adanya ketidakpuasan publik
atas suatu produk atau pelayanan.
b. Bentuk Penyampaian Komplain
Menurut Asri (2007), apabila pelanggan merasa tidak
puas dan ingin menyampaikan keluhannya, maka biasanya pelanggan menggunakan
beberapa bentuk diantaranya:
1). Surat
Surat biasanya digunakan dalam penyampaian keluhan, pelanggan
menyampaikan keluhannya dalam surat ketika mereka merasa sangat tidak puas
dengan produk atau pelayanan dari perusahaan. Bentuk ini memiliki keuntungan
untuk perusahaan, karena perusahaan memiliki waktu yang lebih untuk memahami
masalah yang dihadapi, mencari solusi masalah tersebut kemudian baru setelah
itu memberikan surat balasan kepada pelanggan.
2) Berbicara Langsung Kepada Karyawan
Bentuk yang paling umum digunakan terutama dalam bisnis retail adalah menyampaikan keluhan
langsung kepada karyawan, yang biasanya adalah front line staff atau karyawan dibagian pelayanan pelanggan (costumer service). Keluhan biasanya
dalam kata-kata yang tidak formal bahkan kadang-kadang cenderung keras dan
kasar. Namun bentuk ini juga memberikan manfaat bagi perusahaan dalam hal
penyediaan informasi yang akurat tentang bagaimana pengalaman pelanggan dengan
produk dan pelayanan perusahaan, serta peluang bagi karyawan untuk menyelesaikan
masalah ini bagi pelanggan dan untuk pengembangan perusahaan di masa depan.
3) Telepon
Bentuk ini juga umum digunakan, biasanya dipakai bila
pelanggan enggan untuk menuliskan keluhannya, tidak terlalu ingin menggunakan
bahasa yang formal dan sedang mengalami ketidakpuasan yang cukup tinggi atas
suatu hal. Frekuensi penerimaan keluhan sangat tergantung pada seberapa sering
perusahaan menggunakan telepon dalam bentuk call
centre atau basic office line.
Namun call centre lebih mampu
menampung banyak keluhan pelanggan daripada basic
office line. Konsekuensi dari bentuk ini adalah waktu yang dimiliki
karyawan relative singkat dalam menyelesaikan masalah yang dikeluhkan pelanggan
dibandingkan surat atau email.
4) Email
Bentuk ini hampir sama dengan surat, biasanya pelanggan
cenderung untuk menggambarkan masalah yang lebih kecil dengan harapan dapat
diselesaikan dalam waktu yang lebih singkat. Email yang diterima perusahaan akan sangat tergantung kepada
seberapa sering perusahaan menggunakan email
atau apakah perusahaan menyediakan email
yang difungsikan untuk menampung keluhan dari pelanggan.
Sedangkan menurut Cendikia, dkk (2007:14), konsumen
yang secara ekonomi cukup mampu ketika menerima pelayanan publik yang tidak
memuaskan, dapat menyampaikan respon pada penyelenggara dengan cara:
1) Exit Mechanism
Yaitu dengan meninggalkan penyedia pelayanan publik tersebut
dan menggantinya dengan layanan lain yang kualitasnya lebih baik meski dengan
biaya yang lebih mahal. Tetapi exit
mechanism ini tidak dapat diterapkan untuk sektor-sektor yang telah
dimonopoli oleh penyedia pelayanan publik tertentu (baik monopoli dari instansi
pemerintah maupun swasta). Penyediaan listrik, jasa telepon, air minum dan
masih banyak lagi adalah contoh dari sektor pelayanan publik di mana konsumen
tidak dapat melakukan exit mechanism.
Konsumen miskin umumnya juga tidak dapat menggunakan pilihan mekanisme,
meskipun pada sektor pelayanan publik yang memiliki banyak pilihan.
2) Voice Mechanism
Di Indonesia, pengajuan keluhan tersebut sering manifest dalam
bentuk-bentuk protes-protes sporadis, misalnya dalam bentuk demonstrasi
menggugat institusi pelayanan publik, surat pembaca di media massa,
protes-protes publik dalam berbagai event. Pengajuan keluhan dengan cara
seperti itu kadang-kadang mampu memperkuat posisi konsumen dalam negosiasi
dengan institusi penyedia pelayanan publik. Kadang-kadang berhasil dicapai
kesepakatan-kesepakatan positif untuk perbaikan sistem pelayanan publik.
Sedangkan menurut Hirschman (1970:39), mengungkapkan
tiga bentuk respon yang dapat dilakukan masyarakat atas pelayanan yang
mengecewakan, yaitu:
1) Exit, dilakukan ketika masyarakat tidak
puas pada pelayanan dengan mencari alternatif pelayanan dari organisasi lain
2) Voice, dilakukan melalui keluhan pada
birokrasi pelayanan
3) Loyalty, merupakan bentuk kesetiaan terhadap birokrasi yang
melakukan pelayanan, meskipun mempunyai pilihan untuk exit, namun lebih memilih voice
untuk mengungkapkan kekecewaan kemudian tetap loyal pada organisasi meskipun
mempunyai rasa kecewa.
Keluhan sering di pandang sebagai hal buruk bagi
kehidupan organisasi, sehingga banyak pihak berusaha menutupi atau
mengabaikannya. Padahal keluhan menjadi peringatan bermanfaat untuk
meningkatkan kualitas organisasi. Bahkan dengan kemampuan mengelola dan
merespon keluhan dapat menjadi kunci keberhasilan organisasi dalam mencapai
tujuan, yaitu meningkatkan kepuasan dan loyalitas pelanggan, bahkan dapat
meningkatkan keuntungan (Prawirosentono, 2008:51). Bahkan mungkin pula terdapat
organisasi yang malah menganggap komplain atau keluhan sebagai upaya
menjelekkan organisasi sehingga mereka cenderung melakukan penolakan terhadap
komplain yang dilakukan oleh pelanggan.
c. Jenis Komplain
Menurut Kotler (2003:59) ada beberapa macam keluhan,
yaitu:
1) Keluhan yang disampaikan secara lisan melalui telepon dan
komunikasi secara langsung;
2) Keluhan yang disampaikan secara tertulis melalui guest complain form.
Menurut Sugirto (1999:31), keluhan pelanggan dapat di kategorikan
atau di kelompokkan menjadi empat, yaitu:
1) Mechanical Complaint
(Keluhan mekanikal)
Mechanical Complaint
adalah suatu keluhan yang disampaikan oleh pelanggan sehubungan dengan tidak
berfungsinya peralatan yang dibeli atau disampaikan kepada pelanggan tersebut.
Atau dengan kata lain, produk atau output dari pelayanan yang diberikan tidak
sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini dapat terjadi karena kerusakan atau
kualitas tidak maksimal.
2) Attitudinal Complaint
(Keluhan akibat sikap petugas pelayanan)
Attitudinal Complaint adalah keluhan pelanggan yang timbul
karena sikap negatif petugas pelayanan pada saat melayani pelanggan. Hal ini
dapat dirasakan oleh pelanggan melalui sikap tidak peduli dari petugas
pelayanan terhadap pelanggan.
3) Service Related Complaint (Keluhan
yang berhubungan dengan pelayanan)
Service Related
Complaint adalah suatu keluhan pelanggan karena hal-hal yang berhubungan
dengan pelayanan itu sendiri. Misalnya seseorang mendaftar untuk ikut serta
suatu pertandingan, ternyata formulir pendaftaran belum siap dan oleh petugas
diminta untuk menunggu.
4) Unusual Complaint
(Keluhan yang aneh)
Unusual Complaint
adalah keluhan pelanggan yang bagi petugas merupakan keanehan (tidak
wajar/tidak umum). Pelanggan yang mengeluh seperti ini biasanya secara
psikologis adalah orang-orang yang hidupnya tidak bahagia atau kesepian.
d. Penanganan Pengaduan di Indonesia
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Telaah
dan Informasi Regional (PATTIRO) dalam Cendikia, dkk (2007:15) di beberapa
propinsi pada tahun 2005 angka pengaduan konsumen di berbagai instansi
pelayanan publik cukup rendah. Tetapi rendahnya angka pengaduan ini sebenarnya
tidak menggambarkan kepuasan konsumen atas pelayanan publik. Sebagian orang
yang pesimis untuk melakukan pengaduan, sebagian lagi tidak memperoleh akses
untuk melakukan pengaduan, bahkan ada cukup banyak orang yang takut untuk
melakukan pengaduan.
Banyaknya masyarakat yang menjadi pesimis karena merasa
tidak yakin dengan hasil yang akan dicapai jika ia menyampaikan pengaduan.
Kenyataan sering membuktikan bahwa banyak pengaduan tidak ditanggapi secara
serius oleh pihak penyedia pelayanan publik. Ketiadaan mekanisme untuk memantau
proses penanganan pengaduan, yang membuat orang tidak tahu nasib pengaduan yang
disampaikannya, juga berkontribusi menyebabkan sikap pesimis tersebut. Banyak
juga konsumen, khususnya konsumen miskin, yang merasa sulit memperoleh akses
untuk mengadukan ketidakpuasannya atas pelayanan publik yang diterimanya. Para
konsumen tersebut mengalami kesulitan untuk mengetahui sistem pengaduan yang
sebenarnya berlaku, untuk menyampaikan pengaduan kepada pihak yang memiliki
wewenang penyelesaiaan masalah, dan untuk memantau pengaduan yang mereka
lakukan. Alasan ketakutan juga sering muncul pada konsumen dalam menyampaikan
komplain. Alasan ini sering muncul khususnya pada konsumen dari keluarga
miskin. Menurut Cendikia, dkk (2007:15), faktor hambatan budaya memang menjadi
salah satu penyebab munculnya ketakutan atau keengganan untuk mengadu tersebut.
Tetapi ketiadaan jaminan bahwa pengadu tidak akan mendapat resiko apapun dari
pengaduan yang dilakukannya juga berkontribusi terhadap munculnya alasan
tersebut.
Permasalahan mekanisme komplain tidak hanya disebabkan
oleh kelemahan di sisi masyarakat, tetapi juga di sisi pemerintah. Menurut hasil
penelitian yang dilakukan oleh Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO)
dalam Cendikia, dkk (2007:15), rendahnya respon instansi penyedia pelayanan
terhadap keluhan atau pengaduan dari masyarakat adalah yang mengakibatkan
munculnya sikap skeptis dari masyarakat. Warga masyarakat jera untuk mengadukan
keluhannya. Karena itu angka pengaduan di beberapa instansi pelayanan publik
relatif rendah. Kotak saran dan pengaduan yang dipasang di kantor-kantor instansi
pemerintah daerah lebih banyak kosong. Rendahnya angka pengaduan ini sebenarnya
tidak menggambarkan kepuasan masyarakat atas pelayanan publik. Tetapi hal itu
terjadi justru karena banyak warga masyarakat merasa tidak yakin dengan hasil
yang akan diperoleh dengan melakukan pengaduan. Selain itu, warga masyarakat
dari kalangan yang tidak mampu dan kurang berpendidikan juga tidak tahu cara
mengadukan keluhannya.
Rendahnya respon terhadap keluhan ini sebelumhya dikemukakan
oleh Eliassen dan Kooiman dalam Rahayu (1997:6) yang menyatakan bahwa di dalam
negara demokratis sekalipun, dimana masyarakat dapat menuntut pelayanan publik
yang dirasakan tidak memuaskan, tetapi hukum lebih bersifat mengatur daripada
menanyakan apakah warga masyarakat puas atau tidak dengan pelayanan tersebut.
Kondisi dan lingkungan demikian membuat organisasi publik tidak merasa
“bergantung” pada klien atau masyarakat pengguna barang dan jasa.
Hal berbeda terjadi di sektor swasta. Tingginya
kompetisi mengakibatkan perusahaan swasta harus memberikan pelayanan yang
optimal termasuk menanggapi keluhan/pengaduan konsumen atas pelayanan yang
diterimanya. Karena itu, perusahaan swasta biasanya responsif atas
keluhan/pengaduan konsumen, bahkan memiliki mekanisme untuk menangani pengaduan
dari konsumen tersebut. Menurut Supranto (1997:9) di sektor swasta, pelanggan
harus dipuaskan, sebab kalau tidak pelanggan akan meninggalkan dan menjadi
pelanggan pesaingnya. Ini pada gilirannya akan menimbulkan kerugian ke
perusahaan.
Padahal menurut Ratminto (2005:75) pelayanan publik
yang berkualitas mensyaratkan keseimbangan posisi tawar antara instansi
penyedia pelayanan publik dengan masyarakat penerima pelayanan. Keseimbangan
posisi tawar itu dapat dicapai salah satunya dengan menerapkan konsep customer complaint system (sistem
penanganan pengaduan). Idenya adalah menciptakan suatu sistem penanganan
keluhan yang efektif dan responsif, sehingga masyarakat (pelanggan) tidak
merasa segan untuk menyampaikan keluhannya atau pengaduannya karena tahu pasti
bahwa pengaduan itu pasti akan ditindaklanjuti. Pengaduan atau keluhan ini
merupakan salah satu partisipasi masyarakat.
Mekanisme komplain yang saat ini tersedia umumnya masih
belum mampu mendukung terjadinya pengajuan komplain yang efektif, mudah dan
murah dari konsumen pelayanan publik. Menurut Cendikia, dkk (2007:17-18),
beberapa persoalan yang sering ditemukan adalah sebagai berikut:
1) Konsumen hanya dapat bertemu dengan personil di bagian pengaduan.
Tidak ada media yang secara mudah memungkinkan bertemunya konsumen dengan pihak
pengambil keputusan dalam institusi pelayanan publik.
2) Kewenangan bagian pengaduan hanya menerima pengaduan dari konsumen
semata. Bagian ini menjadi sub-ordinat dari manajemen di institusi pelayanan
publik. Artinya bagian pengaduan bukan merupakan bagian yang memiliki
kewenangan pembuatan keputusan.
3) Jenis pengaduan yang diperkenankan hanya umumnya hanya keluhan
teknis. Konsumen tidak dapat mengadukan masalah yang lebih substansial, seperti
pengaduan dugaan korupsi dalam pengadaan fasilitas pelayanan publik atau
keluhan terhadap standar pelayanan yang ditetapkan.
4) Lemahnya mekanisme di internal institusi publik untuk mencegah
adanya pungutan dalam pengaduan konsumen. Berkembangnya pungutan biaya tak
resmi tersebut akan sangat membebani konsumen dengan taraf ekonomi lemah untuk
memanfaatkan bagian pengaduan tersebut.
5) Institusi pelayanan publik biasanya tidak bersikap pro-aktif dalam
mendorong atau memberdayakan konsumen untuk memberi respon. Institusi pelayanan
publik umumnya belum menganggap penting respon publik atas pelayanannya.
6) Jika konsumen tidak puas terhadap penyedia pelayanan publik atas
penanganan keluhan yang dilakukannya, konsumen tersebut tidak dapat melakukan
apa-apa. Ketidak-puasan tersebut sebenarnya dapat ditndaklanjuti konsumen
dengan pengajuan gugatan melalui pengadilan, misalnya dengan class action.
Tetapi cara tersebut tidak mudah dan murah bagi konsumen kebanyakan.
7) Transparansi dalam mekanisme pengelolaan keluhan yang tersedia
masih sangat terbatas. Tidak cukup tersedia informasi mengenai prosedur
pengaduan, pihak yang bertanggung-jawab atas permasalahan yang dihadapi
konsumen, dan proses pengelolaan keluhan. Ketiadaan transparansi tersebut
meliputi tiadanya budaya transparansi dari aparat pelayanan publik dan tidak
tersedia sistem yang transparan.
8) Institusi pelayanan publik belum banyak yang mengakui hak
partisipasi dari masyarakat (konsumen). Masyarakat belum dapat terlibat dalam
proses pengawasan dan pengusulan pelayanan publik. Karena itu, institusi
penyedia pelayanan publik sering tidak memperhatikan perlunya mekanisme
pengelolaan keluhan.
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan pemaparan yang telah diuraikan dari bab
sebelumnya terkait manajemen sektor publik dan keluhan masyarakat terhadap
pelayanan publik, maka penulis menyimpulkan sebagai berikut:
1. Pelayanan publik merupakan segala bentuk jasa pelayanan baik
dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi
tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi pemerintah di Pusat, di daerah,
dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam
rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang- undangan.
2. Keluhan/komplain merupakan bentuk ketidakpuasan para konsumen
terhadap sebuah pelayanan yang diberikan oleh sebuah organisasi publik atau
swasta terhadap suatu pemberian produk jasa atau dengan kata lain Keluhan
merupakan ungkapan publik yang bisa timbul karena adanya ketidakpuasan publik
atas suatu produk atau pelayanan.
Daftar
Pustaka
Cendikia, Ilham, dkk.
2007. Implementasi Mekanisme Komplain
Terhadap Pelayanan Publik Berbasis Partisipasi Masyarakat. PATTIRO dan
ACCESS: Jakarta Selatan.
Dwiyanto, Agus. 2005.
Mewujudkan Good Governance Melalui
Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hirschman, Albert O.
1970. Strategi Pembangunan Ekonomi:
terjemahan Sitohang, Paul. PT. Dia Rakjat, Yayasan Dana Buku Indonesia:
Jakarta.
Hurriyati, Ratih.
2005. Bauran Pemasaran dan Loyalitas
Konsumen. CV. Alfabeta: Bandung.
Ibrahim, Amin. 2008. Teori dan Konsep Pelayanan Publik Serta
Implementasinya. Bandung : Mandar Maju.
Kotler, Philip. 2003.
Manajemen Pemasaran; edisi kesebelas. Indeks kelompok
Gramedia: Jakarta
Kurniawan, J Luthfi
dan Mokhammad Najib. 2008. Paradigma
Kebijakan Pelayanan Publik.
Malang : In Trans.
Lukman, Sampara. 2000.
Manajemen Kualitas Pelayanan. Jakarta
: STIA LAN.
Mahmudi. 2005.
Manajemen Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
Moenir, A.S. 2002. Manajemen Pelayanan Umum Indonesia.Bumi
Aksara. Jakarta.
Moenir, A.S. 2002. Manajemen Pelayanan Umum Indonesia : Edisi Revisi. Bumi Aksara. Jakarta.
Nurcholis, Hanif.
2005. Pemerintahan dan Otonomi Daerah.
Jakarta : Grasindo.
Prawirosentono,
Suryadi. 2008. Kebijakan Kinerja Karyawan.
Yogyakarta : BPFE.
Rahayu, Amy Y.S.
1997. Fenomena Sektor Publik dan Era
Service Quality, dalam Bisnis dan Birokrasi. PT Gramedia Widiasarana
Indonesia: Jakarta.
Ratminto, dan Atik
Septi W. 2005. Manajemen Pelayanan.
Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Simamora, Henry.
2001. Manajemen Sumber Daya Manusia.
STIE YKPN. Yogyakarta.
Sinambela, P. Lijan.
2006. Reformasi Pelayanan Publik.
Jakarta : Bumi Aksara.
Sugiarto, Endar
.1999. Psikologi Pelayanan dalam Industri
Jasa. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Supranto. 1997. Pengukuran tingkat kepuasan pelanggan untuk
menaikkan pangsa pasar. Rineka Cipta: Jakarta.
Halaman Website:
Asri, Nur Sri Ubaya.
2007. Analisis Pengaruh Tindakan di dalam
Perilaku Komplain Konsumen. Sumber: http://lontar.ui.ac.id. Diakses pada
tanggal 11 Desember 2014 pada pukul 19.30 Wita.
Audy. 2014. Pengertian Komplain. Sumber: http://audygunadarma.blogspot.com/. Diakses pada
tanggal 11 Desember 2014 pada pukul 21.00 Wita.
Insan
Dinami Indonesia. 2013. Manajemen Keluhan.
Sumber: http://insandinami.blogspot.com/. Diakses pada
tanggal 11 Desember 2014 pada pukul 23.00 Wita.
Raha, Septian. 2015. Makalah Pelayanan Publik. Sumber:
https://www.academia.edu/. Diakses pada tanggal 13 Januari 2015 pada pukul
21.42 Wita.
Peraturan-peraturan
Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.
Keputusan
Menteri Pemberdayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 6 Tahun
2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
bang kalo boleh tau ini tulisan abang? abang kuliah atau kerja dimana? ini tugas kuliah, skripsi atau tesis?
BalasHapus