Minggu, 25 Januari 2015

ADMINISTRATIVE LEADERSHIP AND TRANSPARENCY IMPLICATIONS OF ORGANIZATIONAL INFLUENCE ON ETHICAL BEHAVIOR AN ANALYSIS OF THE PERCEPTIONS OF PUBLIC MANAGERS

BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
              Reformasi birokrasi yang menjadi salah satu tuntutan sejak perubahan politik tahun 1998, masih mengalami berbagai kendala dan belum menampakkan hasil maksimal sesuai harapan masyrakat. Berbagai persoalan pelayanan kepada publik yang tersendat dan berbelit-belit masih mewarnai dalam kehidupan birokrasi pemerintahan. Oleh sebab itu, untuk mendukung keberhasilan reformasi birokrasi diperlukan kepemimpinan yang transparan, agar program-program pemerintah yang berkaitan dengan upaya meningkatkan kesejahteraan dapat diketahui secara transparan.
              Pola kepemimpinan yang transparan dalam institusi pemerintah, memang sudah selayaknya untuk dikembangkan sejalan dengan dinamika reformasi politik yang menekankan perlunya pelayanan kepada publik yang lebih memadai dan beradab. Terlebih lagi, tidak bisa dinafikan, bahwa pola kepemimpinan birokrasi di Indonesia cenderung menutup akses informasi bahkan berupaya untuk merahasiakan setiap pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya. Dengan bermacam dalih yang dihubungkan dengan rahasia jabatan ataupun rahasia negara, maka karakter kepemimpinan di badan publik atau milik pemerintah lebih suka menutup diri dan tidak mau mengeksplorasi informasi yang seharusnya menjadi hak masyarakat untuk mengetahui.
              Perilaku pemimpin yang menutup diri dan tabu untuk membuka informasi tentang kinerja pemerintah, khususnya yang berkaitan pelayanan kepada masyarakat, memang cenderung dilembagakan pada masa pemerintahan Orde Baru. Namun tindakan menutup diri tersebut bukan hal yang menjadi masalah pada masa itu. Sebab kepemimpinan lebih banyak difokuskan untuk mengeksplorasi informasi tentang kekuatan pemerintah untuk menguasai rakyat secara sosial, ekonomi maupun politik. Karena itu, informasi yang dinilai memperlemah posisi pemerintah, seperti halnya kelambanan dalam memberikan pelayanan publik, tidak akan dideseminasikan. Tujuannya jelas agar pemerintah tetap memiliki kekuatan untuk mengendalikan masyartakat. Tetapi di pihak lain, sejumlah informasi yang seharusnya dapat dipakai sebagai rujukan masyarakat untuk menilai perilaku aparat pemerintah tidak dapat diketahui secara transparan.
              Kepemimpinan dalam lembaga pemerintah ataupun kepemimpinan birokrasi yang diasumsikan tidak berpihak kepada rakyat, seringkali dikaitkan dengan kultur feodalisme dalam pemerintahan di Indonesia. Padahal sesungguhnya birokrasi sendiri, adalah model ideal untuk menjalankan organisasi dalam rangka mencapai tujuan yang ditetapkan bersama. Tidak bisa diabaikan, bahwa kapitalisme, terlepas dari asumsi memiliki sejumlah kelemahan, tetapi dengan prinsip kerja keras untuk melaksanakan birokrasi yang ideal, mampu meningkatkan produktivitas kerja dan akumulasi modal yang sangat besar. Jadi birokrasi yang denotatif adalah kerja keras yang terstruktur dengan baik. Bukan penyimpangan birokrasi konotatif yang seringkali dihubungkan dengan istilah “birokratis” dalam berbagai urusan dengan pemerintah yang berbelit-belit dan tidak efisien.
              Memasuki reformasi politik, muncul tuntutan untuk melakukan reformasi birokrasi yang menitikberatkan kepada pelaksanaan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Diberlakukannnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) merupakan upaya penguatan terhadap berbagai aturan lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pemerintahn yang demokratis dan berpihak kepada rakyat. Undang-Undang KIP dimaksudkan agar badan publik membuka diri terhadap kritik masyarakat., atau masyarakat dapat ikut mengawasi jalannya pemerintahan karena dapat mengetahui kinerja pemerintah yang diumumkan khalayak.
              Mencermati kondisi itu, diperlukan kepemimpinan birokrasi yang dapat menjalankan komunikasi publik secara transparan, agar semua kegiatan pemerintah dari perencanaan sampai hasil yang dicapai, prosesnya dapat diketahui oleh rakyat. Memang Undang-Undang KIP mengamanatkan, agar rakyat ikut mengawasi jalannya pemerintah. Namun untuk melakukan gerakan menuju pemerintahan yang bersih sesuai dengan prinsip reformasi birokrasi memerlukan proses yang tidak mudah untuk dilalui. Sebab, kehidupan birokrasi pemerintahan di Indonesia sudah terperangkap oleh jerat paternalistik yang mengunggulkan para pemegang otoritas sebagai kelompok dominan di masyarakat. Akibatnya, birokrasi dalam pemerintahan bukan memposisikan untuk melayani masyarakat, tetapi justru menempatkan rakyat sebagai pihak yang harus memnberikan berbagai keistimewewaan terhadap aparat pemerintah beserta sayap-sayap kekuatan politiknya.
B.   Rumusan Masalah
              Berdasarkan uraian singkat dari latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.    Apa yang dimaksud dengan Kepemimpinan Administrasi dan Transparansi?
2.    Bagaimana pengaruh Implikasi Organisasi pada Perilaku Etis?
C.   Tujuan Penulisan
              Berdasarkan pada rumusan masalah tersebut di atas, maka penulisan ini bertujuan:
1.    Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kepemimpinan administrasi dan transparansi
2.    Untuk mengetahui pengaruh Implikasi Organisasi pada Perilaku Etis
BAB II
PEMBAHASAN
A.   Konsep Kepemimpinan Administrasi dan Transparansi
              Pentingnya kepemimpinan dalam organisasi publik di mana-mana tidak perlu dipertanyakan lagi. Sama halnya dengan tanggung jawab para administrator publik sebagai pemimpin dan agen moral, untuk meningkatkan tingkat wacana publik mengenai pelayanan publik itu sendiri. Wacana publik mengenai pelayanan publik di Amerika sebagian besar negatif, yang dikenal dengan istilah “birokrat”. Kata tersebut sering digunakan untuk merendahkan birokrasi yang cenderung mementingkan diri sendiri dan tidak efektif. Terlebih lagi masyarakat yang kurang memiliki kesadaran terhadap lingkungan yang kompleks dimana fungsi pelayanan publik tersebut berada. Misalnya, privatisasi umumnya disetujui, akan tetapi jarang masyarakat menghargai berbagai masalah yang terkait dengan privatisasi, termasuk biaya dan konsekuensinya, serta isu-isu terkait akuntabilitas dan kinerja para aparat pemerintah.
              Demikian halnya yang terjadi di Indonesia, rendahnya kualitas pelayanan publik merupakan salah satu sorotan yang diarahkan kepada birokrasi pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Perbaikan pelayanan publik di era reformasi merupakan harapan seluruh masyarakat, namun dalam perjalanan reformasi, ternyata tidak mengalami perubahan yang signifikan. Berbagai tanggapan masyarakat justru cenderung menunjukkan bahwa berbagai jenis pelayanan publik mengalami kemunduran yang utamanya ditandai dengan banyaknya penyimpangan dalam layanan publik tersebut. Sistem dan prosedur pelayanan yang berbelit-belit, dan sumber daya manusia yang lamban dalam memberikan pelayanan, mahal, tertutup, dan diskriminatif serta berbudaya bukan melayani melainkan dilayani  juga merupakan aspek layanan publik yang banyak disoroti. Rendahnya kualitas pelayanan publik yang dilaksanakan oleh sebagian aparatur pemerintahan atau administrasi negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Kondisi ini karena di dalam kerangka hukum administrasi positif Indonesia saat ini telah diatur tentang standar minimum kualitas pelayanan, namun kepatuhan terhadap standar minimum pelayanan publik tersebut masih belum termanifestasikan dalam pelaksanaan tugas aparatur pemerintah.
              Menurut Garofalo dan Geuras dalam Raymond (2009:69), bahwa pelayan publik yang paling berpengalaman dan siap untuk meningkatkan tingkat wacana serta pemahaman tentang program tertentu dan fungsi dalam pelayanan publik itu sendiri. Tapi perspektif budaya di tingkat masyarakat, serta penekanan pada kepatuhan terhadap integritas pada organisasi dan tingkat individu, terkadang menjadi penghambat dari pemenuhan tanggung jawab administrasi tersebut. Sedangkan menurut Rasyid (1998:42) pemerintahan pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyaraakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama. Karenanya birokrasi publik berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan layanan baik dan profesional.
 1.    Pengertian Kepemimpinan
              Kepemimpinan secara harfian berasal dari kata pimpin. Kata pimpin mengandung pengertian mengarahkan, membina atau mengatur, menuntun dan juga menunjukkan ataupun mempengaruhi. Pemimpin mempunyai tanggung jawab baik secara fisik maupun spiritual terhadap keberhasilan aktivitas kerja dari yang dipimpin, sehingga menjadi pemimpin itu tidak mudah dan tidak akan setiap orang mempunyai kesamaan di dalam menjalankan ke-pemimpinannya.
              Menurut Wahjosumidjo (2005:17) kepemimpinan diterjemahkan ke dalam istilah sifat-sifat, perilaku pribadi, pengaruh terhadap orang lain, pola- pola, interaksi, hubungan kerja sama antar peran, kedudukan dari satu jabatan administratif, dan persuasif, dan persepsi dari lain-lain tentang legitimasi pengaruh. Sedangkan menurut Thoha (2010:9) kepemimpinan adalah kegiatan untuk memengaruhi perilaku orang lain, atau seni memengaruhi perilaku manusia baik perorangan maupun kelompok.
              Kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam suatu organisai karena sebagian besar keberhasilan dan kegagalan suatu organisasi ditentukan oleh kepemimpinan dalam organisasi tersebut. Menurut Turney (1992) dalam Yamin dan Maisah (2010:74) mandefinisikan kepemimpinan sebagai suatu proses yang dilakukan oleh seseorang dalam mengelola dan menginspirasikan sejumlah pekerjaan untuk mencapai tujuan organisasi melalui aplikasi teknik-teknik manajemen.
              Terry (dalam Thoha, 2010:5) mengartikan bahwa Kepemimpinan adalah aktivitas untuk mempengaruhi orang-orang supaya diarahkan mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya.
              Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan cara seorang pemimpin dalam mempengaruhi bawahan dengan karakteristik tententu sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Faktor keberhasilan seorang pemimpin salah satunya tergantung dengan teknik kepemimpinan yang dilakukan dalam menciptakan situasi sehingga menyebabkan orang yang dipimpinnya timbul kesadarannya untuk melaksanakan apa yang dikehendaki. Dengan kata lain, efektif atau tidaknya seorang pemimpin tergantung dari bagaimana kemampuannya dalam mengelola dan menerapkan pola kepemimpinannya sesuai dengan situasi dan kondisi organisasi tersebut.
2.    Etika Kepemimpinan
              Pada dasarnya setiap individu memiliki kepentingan yang berbeda-beda, oleh karenya diperlukan sebuah aturan-aturan yang mampu meminimalisir gesekan antar kepentingan tersebut. Demikian halnya dalam sebuah organisasi, selain adanya aturan tertulis, diperlukan juga aturan tidak tertulis yang mengatur hubungan antar rekan kerja untuk memastikan tercapainya tujuan organisasi tersebut.
              Etika kepemimpinan merupakan cara-cara yang dianggap benar secara umum oleh sekelompok masyarakat dalam upaya untuk mempengaruhi orang lain untuk mencapai suatu tujuan bersama yang dimiliki oleh suatu organisasi. Nilai yang terpenting dalam etika kepemimpinan adalah nilai-nilai moral dimana seorang pemimpin yang visioner adalah pemimpin yang memiliki beberapa kriteria antara lain:
1.    Memiliki kompetensi untuk mewujudkan visi organisasi secara bersama-sama dengan SDM yang dipimpinnya.
2.    Memiliki kemampuan rethinking future
3.    Mampu menggerakkan seluruh potensi yang dimiliki organisasi
4.    Mempunyai kewibawaan sehingga mampu membangun semangat setiap pribadi untuk mengambil bagian dalam mewujudkan tujuan
              Adapun syarat-syarat pemimpin yang beretika antara lain:
1.    Memiliki hati nurani yang baik
2.    Memiliki komitmen terhadap etika keutamaan
3.    Memiliki etika kewajiban (Yusuf dkk, 2012)
              Lebih lanjut menurut Yusuf dkk (2012) komponen-komponen dari etika kepemimpinan adalah sebagai berikut:
1.    Ethical communication
       Pemimpin yang beretika akan menerapkan standar kejujuran untuk setiap bawahan yang dipimpinnya.
2.    Ethical Quality
       Seorang pemimpin yang beretika paham bahwa ada tiga factor yang menentukan tingkat kompetitifnya suatu organisasi, yaitu produk yang berkualitas, pelayanan pelanggan yang berkualitas dan pengiriman yang berkualitas.
 3.    Ethical Collaboration
       Pemimpin yang beretika membutuhkan banyak penasihat. Ia akan memilih penasihat yang paling unggul di dalam organisasinya dan akan mempekerjakan beberapa orang penasihat dari luar perusahaan.
3.    Agen Moral, Moral Kepemimpinan dan Transparansi Pada Pelayanan Publik
              Tiga konsep yang sangat penting untuk meningkatkan wacana publik dalam pemerintahan adalah agen moral, kompetensi moral, dan transparansi. Menurut Garofalo dan Geuras dalam Raymond (2009:70) administrasi publik adalah hal yang sangat pokok dan bahwa pelayan publik adalah agen moral. Sedangkan menurut Pfiffner dan Presthus dalam dalam Syafiie (1999:24-25), administrasi publik adalah suatu proses yang bersangkutan dengan pelaksanaan kebijakan-kebijakan pemerintah, pengarahan kecakapan teknik-teknik yang tidak terhingga jumlahnya, memberikan arah dan maksud terhadap usaha sejumlah orang.
              Sebagaimana yang diuraikan oleh Garofalo dan Geuras dalam Raymond (2009:70) bahwa dalam konteks ini pelayan publik memiliki beberapa peran kepentinngan dan prioritas yang sangat banyak juga. Pelayan publik memiliki peran sentral, dimana peranan moral merupakan suatu hal yang mendasar untuk legitimasi administrasi publik. Pada akhirnya, administrasi publik menyajikan nilai-nilai sosial, dan menyangkut pembenaran dari tujuan dan sarana dimana nilai-nilai tersebut berlaku. Hal tersebut adalah dasar dari administrasi publik sebagai legitimasi moral dalam pemerintahan.
              Lebih lanjut Garofalo dan Geuras (2005) dalam Raymond (2009:70) berpendapat bahwa legitimasi moral tidak cukup untuk kepemimpinan layanan publik yang efektif. Ini harus disertai dengan kompetensi moral, yang merupakan dimensi kunci dari keterampilan profesional yang diperlukan baik oleh pemerintahan. Gambaran kedua dari  Kenneth Winston (2003) dalam Raymond (2009:70) terkait analisis etika terpadu menjelaskan bahwa individual, karakteristik kelembagaan dan kapasitas, didasarkan pada sifat moral demokrasi. Serta kesetiaan kepada publik, keyakinan pengambilan keputusan, dan pelaksanaan kebijaksanaan yang bertanggung jawab mendukung secara sah moral dan kompeten moral kepemimpinan pelayanan publik. Garofalo dan Geuras 2005, dalam Raymond (2009:70).
              Sesuai dengan gambaran dari Moore (1995) dalam Raymond (2009:70) pelayanan publik, bukan hanya mencari nilai publik, menggunakan inisiatif dan penilaian, akan tetapi juga menjadi responsif terhadap otoritas politik, kita membayangkan kepemimpinan pelayanan publik yang mengartikulasikan nilai-nilai, mengembangkan visi, kejelasan, dan keyakinan termasuk kompetensi moral, (Garofalo dan Geuras dalam Raymond (2009:70). Ini adalah kepemimpinan yang memerlukan kebijaksanaan, pilihan sulit, dan keterbukaan. Pegawai negeri adalah pelaku moral dimana kebijaksanaan dan keputusan menuntut penerapan pertimbangan moral dalam kebijakan dan manajemen, daripada hanya sekedar ketaatan kepada perintah secara hirarkis. Meskipun hal ini tidak mengecualikan kebutuhan hukum, kode, dan sanksi, dan legalistik ini merupakan hal yang penting dalam kepemimpinan moral.
              Konsep terakhir untuk meningkatkan wacana publik dan tata kelola adalah transparansi. Transparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga, dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau. Menurut Raymond (2009:70) Transparansi adalah instrumental dan nilai normatif, baik dimaksudkan untuk meningkatkan informasi kepada warga untuk memfasilitasi pilihan yang lebih efektif dan untuk memastikan akuntabilitas yang lebih besar, dan dirancang untuk berkontribusi terhadap tata kelola yang sah dengan membantu untuk menyelesaikan masalah utama. Sedangkan menurut Menurut Hafiz (2000:40) Transparansi adalah Keterbukaan dan kejujuran kepada masyarakat berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengetahui secara terbuka dan menyeluruh atas pertanggungjawaban pemerintahan dalam sumber daya yang dipercayakan kepadanya dan ketaatannya pada peraturan perundang-undangan.
              Lebih lanjut menurut Andrianto (2007:20) Transparansi adalah Keterbukaan secara sungguh-sungguh, menyeluruh, dan memberi tempat bagi partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam proses pengelolaan sumber daya publik. Namun penerapan transparansi dalam keadaan tertentu sering bertentangan dengan nilai-nilai atau kepentingan lainnya. Sebagai contoh, pengungkapan data dapat membahayakan privasi, keamanan publik, atau hak milik informasi. Oleh karena itu, keterampilan yang dibutuhkan untuk menafsirkan dan menerapkan informasi dan untuk membedakan kegunaan transparansi dalam situasi tertentu merupakan elemen penting dalam pemerintahan. (Fenster et al dalam Raymond, 2009:70). Raymond (2009:70-71) berpendapat bahwa keterampilan pelayan publik merupakan hal pokok yang didasarkan atas kesadaran moral dan kompeten untuk melakukan pekerjaan mereka dan untuk berkontribusi pada peningkatan wacana publik dan kualitas keputusan publik.
4.    Indikator Transparansi Pada Pelayanan Publik
              Prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi mengenai kebijakan, proses pembuatan, pelaksanaan, dan hasil yang dicapai.
              Prinsip ini menekankan kepada 2 (dua) aspek, yaitu:
a.    Komunikasi publik oleh pemerintah.
b.    Hak masyarakat terhadap akses informasi.
              Menurut Krina (2003:17) Indikator-indikator dari Transparansi adalah sebagai berikut:
a.    Penyediaan informasi yang jelas tentang tanggung jawab;
b.    Kemudahan akses informasi;
c.    Menyusun suatu mekanisme pengaduan jika ada peraturan yang dilanggar atau permintaan untuk membayar uang suap; dan
d.    Meningkatkan arus informasi melalui kerjasama dengan media massa dan lembaga non pemerintah.
5.    Membingkai Kepemimpinan Administrasi dan Transparansi
              Sama seperti kolaborasi antara warga dan pegawai negeri sangat penting untuk penciptaan wacana publik dan penilaian masyarakat, demikian juga kolaborasi antara pegawai negeri, akademisi, asosiasi profesi, dan kelompok kepentingan umum penting untuk membingkai hubungan antara kepemimpinan administrasi dan transparansi. Hal yang mendasar untuk proses ini adalah revitalisasi saling percaya, perjanjian antara administrator publik, seperti perserikatan warga dengan kita semua, dan masyarakat umum. Dalam hal ini, Garofalo dan Geuras dalam Raymond (2009:74) mengusulkan konsep yang mirip dengan Benjamin Barber (1998) yang disebut forum sipil nasional dimana pidato umum dan argumen politik yang wajar antara geografis dan penyebaran ekonomi masyarakat menjadi mungkin.
              Hal tersebut menurut Barber dalam Raymond (2009:74) adalah sebuah keuntungan dalam forum tersebut termasuk percakapan horizontal antara warga negara dan bukan percakapan vertikal yang lebih khusus antara warga dan elit. Musyawarah yang berlangsung bukan peristiwa tunggal; dan kemungkinan penggunaan media interaktif untuk memungkinkan dialog sebagai bentuk penentangan, misalnya, dominasi komersial proses pemilu. Hal tersebut bermanfaat untuk pertimbangan serius, sepanjang dengan pertimbangan pelayan publik sebagai agen moral dalam wacana publik. Peran baru yang lebih sentral, kesadaran moral dan kompetensi moral administrator publik akan menjembatani kesenjangan antara warga dan para tenaga ahli dengan mewujudkan kualitas baik dan memberikan kontribusi perhatian secara jelas untuk nilai-nilai serta informasi teknis dan kemampuan yang diperlukan untuk penilaian kebijakan informasi.
              Panggilan untuk pegawai negeri adalah kebutuhan untuk administrator publik untuk bertindak secara etis. Konteks ini adalah pada kapasitas organisasi pemerintah yang mempengaruhi pelaksanaan diskresi kekuasaan pegawai negeri (Bailey et al dalam Raymond, 2009:77). konflik antara nilai-nilai organisasi, misi dan tujuan dari organisasi publik dapat menyebabkan perilaku menyimpang dalam batas-batas organisasi.
              Sebuah pertanyaan kunci: mengapa orang-orang dalam organisasi publik melakukan hal-hal yang mereka tidak akan pernah melakukannya sendiri? Organisasi dimana orang bekerja dan didorong untuk mengaktualisasikan diri melalui motivasi dan sosialisasi dengan individu lainnya. Kepatuhan terhadap otoritas menjelaskan sebagian perilaku yang ditemukan di dalam organisasi publik. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Milgram 1974 dalam Raymond (2009:77) menemukan bahwa sebagian besar penduduk Amerika mungkin cenderung untuk mematuhi otoritas, bahkan ketika melakukan hal itu melibatkan tindakan yang tampaknya berbahaya bagi orang lain. Penelitian tersebut berusaha untuk memberikan daya prediksi apakah kontrol etika bekerja. Penelitian yang dilakukan tersebut mengisi kekosongan dalam literatur dengan membangun hubungan penting antara budaya organisasi publik dan perilaku etis.
              Cohen dalam Raymond (2009:77) menjelaskan bahwa pengaturan etika yang paling kondusif dan prediksi tanggung jawab perilaku moral dalam organisasi administrasi publik membutuhkan perilaku. Menurut Cohen dalam Raymond (2009:77) Perilaku etis secara sengaja melibatkan tindakan tanggung jawab, menghormati implisit dan eksplisit kontrak sosial, dan berusaha untuk mencegah, menghindari atau memperbaiki kerusakan. Khususnya dalam konteks organisasi, perilaku ini juga termasuk memperkenalkan goodwill (kelakuan baik) dalam jangka panjang dan melintasi batas-batas kelompok dan menghormati kebutuhan orang lain baik di dalam maupun di luar perusahaan.
1.    Pengaruh Etika Organisasi
              Waldo (1974) dalam Raymond (2009:78) menjelaskan bahwa tanggung jawab public managers menghadirkan dua prinsip yaitu individu dan organisasi merupakan dilema etika yang dihadapi oleh pelayan publik. Pendekatan organisasi dalam paradigma birokrasi tradisional administrasi publik akan panggilan etika ditegakkan oleh otoritas birokrasi (Fox et al dalam Raymond, 2009:78). Otoritas etika ditegakkan dalam menciptakan birokrasi hierarkis yang tersusun untuk mengarahkan administrator publik dengan aturan dan kontrol koordinasi dengan tenaga ahli menggunakan prinsip-prinsip ilmiah (Gulick et al dalam Raymond, 2009:78).
              Kontras model birokrasi rasional berpendapat pendekatan tanggung jawab merupakan langkah kunci dalam mengukur pengendalian etis. Sedangkan teori Postmodern mendukung desentralisasi lembaga pemerintah dan kekuatan akuntabilitas dan responsibilitas untuk tingkat yang lebih rendah dalam rantai kepemimpinan. dimana akuntabilitas berpusat pada kontrol eksternal, sedangkan responsibilitas berfokus pada pengendalian internal. Pembagian kekuasaan yang lebih membutuhkan kebijaksaaan yang lebih besar dalam alokasi tugas dan panggilan untuk partisipasi eksternal yang lebih besar pada bagian dari masyarakat untuk memegang pemimpin publik yang bertanggung jawab dan untuk menciptakan ketergantungan pada kelompok eksternal (Gortner dalam Raymond, 2009:78).
     Gerakan administrasi publik terhadap akuntabilitas diri menunjukkan perlunya mempertimbangkan kontrol internal organisasi. Cooper dalam Raymond (2009:78) menyatakan bahwa struktur dan budaya organisasi memberikan nilai terhadap keputusan langsung dan tindakan pegawai negeri. Budaya organisasi adalah asumsi dasar dan keyakinan yang dimiliki oleh anggota organisasi (Schein dalam Raymond, 2009:78). Namun iklim organisasi berbeda, dari budaya organisasi (Cullen et al dalam Raymond, 2009:78). Menurut Ott (1989) dalam Raymond (2009:78) perilaku individu terjadi dalam lingkungan psikologis didasarkan pada iklim organisasi. Norma-norma individu mempengaruhi iklim organisasi dan berkembang menjadi institusi sistem yang dikenal oleh anggota organisasi. Iklim etika organisasi adalah kumpulan persepsi bersama tentang apa yang merupakan etika yang benar masalah perilaku dan bagaimana etika harus ditangani (Victor dan Cullen dalam Raymond, 2009:79).
2.    Definisi Organisasi Publik
            Organisasi publik melayani peran dalam memberikan pelayanan publik dan menciptakan serta melaksanakan kebijakan publik. Peran ini melampaui masalah efisiensi dan efektivitas dan termasuk nilai-nilai kesetaraan, keadilan, dan transparansi (Appleby et all dalam Raymond, 2009:79).
           Otoritas politik menyiratkan kepemilikan publik, yang pada gilirannya memberikan perbedaan yang jelas dengan organisasi swasta melalui pendekatan tujuan kontrol organisasi. Apalagi, nilai demokrasi yang melekat dalam organisasi publik dan nilai-nilai berbasis pasar yang melekat dalam organisasi swasta memaksakan tantangan manajemen yang berbeda secara signifikan untuk bidang-bidang seperti pengambilan keputusan dan sistem penghargaan karyawan (Box 1999 dalam Raymond, 2009:79).
        Raymond (2009:79) mendefinisikan organisasi publik sebagai kolektif individu beroperasi dalam batas yang mendefinisikan orang dalam dan orang luar. Pegawai pemerintah beroperasi dalam sistem kegiatan dan koordinat untuk mencapai tujuan kebijakan khusus, merefleksikan nilai-nilai demokrasi, keadilan sosial, dan tanggap terhadap warga. Kegiatan berada di bawah kendali entitas politik yang menciptakan hasil yang diharapkan untuk proses, produk, atau jasa. Ekspektasi perilaku yang ada dalam proses sosialisasi dalam batas-batas yang ditetapkan organisasi.
       Lebih lanjut menurut Siagian, (2006:6), menjelaskan organisasi sebagai “Setiap bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih yang bekerja bersama serta secara formal terikat dalam rangka pencapaian suatu tujuan yang telah ditentukan dalam ikatan yang terdapat seorangatau beberapa orang yang disebut atasan dan seorang atau sekelompok orang yang disebut bawahan”.
              Definisi di atas menunjukkan bahwa orgaisasi dapat ditinjau dari dua segi
pandangan, yaitu ebagai berikut:
a.    Organisasi sebagai wadah di mana kegiatan-kegiatan administrasi dijalankan.
b.    Organisasi sebagai rangkaian hierarki dan interaksi antara orang-orang dalam suatu ikatan formal.
              Menurut Dimock dalam Tangkilisan (2005:132), mendefinisikan organisasi sebagai suatu cara yang sistematis untuk memadukan bagian-bagian yang saling tergantung menjadi suatu kesatuan yang utuh dimana kewenangan, koordinasi, dan pengawasan dilatih untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Sedangkan menurut Waldo dalam Syafie dengan (2004:96), menjelaskan bahwa “Organisasi sebagai suatu struktur dan kewenangankewenangan dan kebiasaan dalam hubungan antar orang-orang pada suatu sistem administrasi”.
              Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan organisasi antara lain adalah sebagai berikut:
a.    Wadah atau tempat terselenggaranya administrasi;
b.    Di dalamnya terjadi hubungan antar individu atau kelompok, baik dalam organisasi itu sendiri maupun keluar organisasi;
c.    Terjadi kerja sama dan pembagian tugas dalam organisasi tersebut;
d.    Berlangsungnya proses aktivitas berdasarkan kinerja masing-masing.
              Lebih lanjut menurut Muhammad, (2004:29) menjelaskan bahwa tiap organisasi disamping mempunyai elemen yang umum juga mempunyai karakteristik organisasi yang umum diantaranya adalah sebagai berikut:
a.    Dinamis, disebabkan karena adanya perubahan ekonomi, kondisi sosial dan teknologi;
b.    Memerlukan informasi, dan melalui proses komunikasi;
c.    Mempunyai maksud dan tujuan tertentu;
d.  Testruktur, organisasi dalam usaha mencapai tujuan biasanya membuat aturan-aturan, undang-undang dan hierarki hubungan dalam organisasi.
3.    Konseptualisasi Budaya dan Iklim Organisasi
              Inti dari budaya organisasi terletak pada pola yang mendasari asumsi, keyakinan, dan nilai-nilai dan tidak dalam perilaku terbuka. Schein (1992) dan Ott (1989) dalam Raymond (2009:79) menjelaskan bahwa fokus definisi budaya organisasi berada disekitar komponen kognitif dari pola asumsi dasar bersama dipelajari oleh anggota organisasi dalam menanggapi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal.
               Menurut Ott dan Schein dalam Raymond (2009:79) Teori organisasi menekankan nilai-nilai, norma-norma, ritual, dan mitos bersama oleh anggota organisasi saat menjelaskan budaya organisasi. Mereka melihat budaya dalam suatu organisasi sebagai variabel mirip dengan strategi atau struktur. Tiga teori organisasi budaya perspektif, integrasi, diferensiasi, dan fragmentasi, membantu menjelaskan perbedaan pendekatan untuk berteori budaya organisasi (Martin, dalam Raymond, 2009:79). Menurut Ott dan Schein dalam Raymond (2009:80) mendefinisikan budaya organisasi sebagai organisasi yang terlihat elemen, nilai-nilai dan asumsi tersembunyi yang menyediakan aturan perilaku untuk anggotanya. Konsensus pada unsur-unsur yang terlihat, nilai-nilai dan asumsi menghubungkan anggota organisasi. Perbedaan pendapat tidak mengecualikan organisasi anggota karena beberapa arti oleh masing-masing anggota.
          Iklim organisasi adalah arena dimana perilaku individu terjadi (Barker dan Ott dalam Raymond, 2009:80). Perilaku ini berevolusi menjadi sistem kelembagaan yang dikenal oleh anggota organisasi dan memberikan sinyal untuk perilaku yang benar (Victor dan Cullen 1987). Berlaku persepsi karyawan organisasi sinyal mengacu pada perjanjian umum di antara anggota perusahaan tentang apa praktik dan prosedur organisasi benar-benar berarti dalam hal yang diharapkan perilaku (Vidaver-Cohen 1988).
              Moran dan Volkwein (1986) dalam Raymond (2009:80) menjelaskan bahwa iklim organisasi beroperasi di tingkat sikap dan perilaku aktual sedangkan budaya beroperasi pada dasar asumsi dan nilai-nilai. Oleh karena itu iklim organisasi, adalah pola perilaku oleh anggota organisasi berdasarkan harapan perilaku.
4.    Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Perilaku Etis Seseorang
              Budaya organisasi menurut Schein dalam Sobirin (2007:132) adalah pola asumsi dasar yang dianut bersama oleh sekelompok orang setelah sebelumnya mereka mempelajari dan meyakini kebenaran pola asumsi tersebut sebagai cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang berkaitan dengan adaptasi eksternal dan integrasi internal, sehingga pola asumsi dasar tersebut perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk berpersepsi, berpikir dan mengungkapkan perasaannya dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan organisasi.
              Budaya organisasi sangatlah penting untuk dipahami karena budaya organisasi dapat mempengaruhi cara orang dalam berprilaku dan harus menjadi patokan dalam setiap program pengembangan organisasi dan kebijakan yang diambil. Hal ini terkait dengan bagaimana budaya itu mempengaruhi organisasi dan bagaimana suatu budaya itu dapat dikelola oleh organisasi.
              Budaya perusahaan pada dasarnya mewakili norma-norma perilaku yang diikuti oleh para anggota organisasi, termasuk mereka yang berada dalam hierarki organisasi. Bagi organisasi yang masih didominasi oleh pendiri, maka budayanya akan menjadi wahana untuk mengkomunikasikan harapan-harapan pendiri kepada para pekerja lainnya. Demikian pula jika perusahaan dikelola oleh seorang manajer senior otokratis yang menerapkan gaya kepemimpinan top down. Disini budaya juga akan berperan untuk mengkomunikasikan harapan-harapan manajer senior itu.
              Isu dan kekuatan suatu budaya memengaruhi suasana etis sebuah organisasi dan perilaku etis para anggotanya. Budaya sebuah organisasi yang punya kemungkinan paling besar untuk membentuk standar dan etika tinggi adalah budaya yang tinggi toleransinya terhadap risiko tinggi, sedang, sampai rendah dalam hal keagresifan, dan fokus pada sarana selain itu juga hasil.
              Manajemen dapat melakukan beberapa hal dalam menciptakan budaya yang lebih etis, yaitu:
a.         Model peran yang visibel
    Karyawan akan melihat sikap dan perilaku manajemen puncak (Top Management) sebagai acuan/landasan standar untuk menentukan perilaku dan tidakan-tindakan yang semestinya diambil.
b.    Komunikasi harapan etis ambiguitas
       Etika dapat diminimalisir dengan menciptakan dan mengkomunikasikan kode etik organisasi.
 c.    Pelatihan etis
     Pelatihan etis digunakan untuk memperkuat standar, tuntunan organisasi, menjelaskan praktik yang diperbolehkan dan yang tidak, dan menangani dilema etika yang mungkin muncul.
 BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
              Berdasarkan pemaparan singkat dari makalah tersebut terkait kepemimpinan administrasi dan transparansi serta pengaruh organisasi terhadap perilaku etis, maka dari itu penulis dapat menyimpulkan yaitu:
1.    Hal yang mendasar untuk membingkai hubungan antara kepemimpinan administrasi dan transparansi adalah revitalisasi saling percaya, perjanjian antara administrator publik dengan masyarakat melalui forum sipil nasional.
2.    Budaya organisasi adalah prediktif perilaku etis, inovasi kepemimpinan, dan untuk tingkat kohesi yang lebih rendah, tampaknya dimensi budaya organisasi merupakan kunci dalam hal mengembangkan etika iklim, dan menciptakan norma-norma organisasi dan memprediksi perilaku etis.
DAFTAR PUSTAKA
Andrianto, Nico, 2007. Transparasi dan Akuntabilitas Publik Melalui e-Government. Malang: Bayumedia Publishing.
Hafiz, Abdul Tanjung, 2000. Akuntansi, Transparansi, dan Akuntabiltas Keuangan Publik (Sebuah Tantangan). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Krina, Loina L, 2003. Indikator Dan Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparasi dan, Partisipasi. Jakarta: BAPENAS 9.
Muhammad, Arni, 2004. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Rasyid, Muhammad Ryaas, 1998. Desentralisasi Dalam Menunjang Pembangunan Daerah dalam Pembangunan Administrasi Di Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES.
Raymond, W Cox III, 2009. Ethics and Integrity in Public Administration; Concepts and Cases. New York: M.E.Sharpe Armonk.
Siagian, Sondang. P, 2006. Sistem Informasi Manajemen. Jakarta :PT. Bumi Aksara.
Sobirin, Achmad, 2007. Budaya Organisasi. Yokyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN.
Syafiie, Inu Kencana, 1999. Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia. Bandung: Refika Aditama.
Tangkilisan, Hessel Nogi S, 2005. Manajemen Publik. Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia.
Thoha, Miftah 2010. Kepemimpinan dan Manajemen, Devisi Buku Perguruan Tinggi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Wahjosumidjo, 2005. Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta: PT Raja Garfindo Persada.
Yamin, Martinis dan Maisah. 2010. Standarisasi Kinerja Guru. Jakarta: Persada Press.
Yusuf, Adian dkk, 2012. Etika Kepemimpinan. Sumber: https://prezi.com/plwximctlmnp/etika-kepemimpinan/ di akses pada tanggal 5 Desember 2014 pada pukul 14.00 Wita.

Sabtu, 24 Januari 2015

MANAJEMEN SEKTOR PUBLIK DAN KELUHAN MASYARAKAT TERHADAP PELAYANAN PUBLIK


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
              Salah satu agenda pembangunan nasional adalah menciptakan tata pemerintahan yang bersih, dan berwibawa. Agenda tersebut merupakan upaya untuk mewujudkan manajemen pemerintahan yang baik dan efektif, antara lain: keterbukaan, akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi, menjunjung tinggi supremasi hukum, dan membuka partisipasi masyarakat yang dapat menjamin kelancaran, keserasian dan keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Untuk itu diperlukan langkah-langkah kebijakan yang terarah pada perubahan kelembagaan dan sistem ketatalaksanaan; kualitas sumber daya manusia aparatur; dan sistem pengawasan dan pemeriksaan yang efektif.
              Dari sisi internal, faktor demokratisasi dan desentralisasi telah membawa dampak pada proses pengambilan keputusan kebijakan publik. Dampak tersebut terkait dengan, makin meningkatnya tuntutan akan partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik; meningkatnya tuntutan penerapan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik antara lain transparansi, akuntabilitas dan kualitas kinerja publik serta taat pada hukum; meningkatnya tuntutan dalam pelimpahan tanggung jawab, kewenangan dan pengambilan keputusan.
              Manajemen pemerintah daerah di Indonesia memasuki era baru seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah dalam rangka menyelenggarakan roda pemerintahan. Kewenangan tersebut diberikan secara profesional yang diwujudkan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, daerah diberi kewenangan yang luas untuk mengurus rumah tangganya sendiri dengan sedikit mungkin campur tangan pemerintah pusat. Pemerintah daerah mempunyai hak dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang dimilikinya sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang berkembang di daerah. peraturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta pembagian-pembagian keuangan pusat dan daerah sesuai dengan ketetapan MPR RI.
              Kebijakan otonomi daerah sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, diharapkan mampu menyelaraskan salah satu tujuan dari semangat otonomi daerah yakni lebih mendekatkan pemerintah sebagai penyedia layanan kepada masyarakat. Hal ini karena pada dasarnya, misi dari otonomi daerah adalah: 1) Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat; 2) Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah dan; 3) Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.
              Sebagai turunannya, pemerintah melakukan langkah-langkah perbaikan pelayanan publik melalui peningkatan kualitas aparatur pemerintah dan di regulasi kebijakan di bidang pelayanan umum. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dalam keputusan No. 6 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, menyatakan bahwa “Hakikat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat”. Pernyataan tersebut cukup menegaskan bahwa pemerintah berperan sebagai instansi yang memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat. Karena pada dasarnya masyarakat adalah warga negara yang harus dipenuhi hak-haknya oleh pemerintah. Sebagai instansi yang wajib memberikan pelayanan publik pemerintah harus dapat memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya sesuai dengan peraturan-perundangan yang berlaku.
              Berdasarkan kondisi faktual yang ditemukan di masyarakat, adanya kebijakan nasional untuk memperbaiki pelayanan publik, ternyata belum dapat menjamin penyelenggaraan pelayanan publik yang lebih berkualitas. Buktinya, masih banyak ditemukan ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan masyarakat, penyelenggaraan pendidikan, pelayanan administrasi kependudukan, ketenagakerjaan, dan lain-lain.

B.   Rumusan Masalah
              Berdasarkan uraian singkat dari latar belakang di atas, maka penulis merumuskan permasalahan pada:
1.  Bagaimana pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah ditinjau dari konteks manajemen      sektor publik?
2.  Apa yang dimaksud dengan keluhan masyarakat terhadap pelayanan publik?
C.   Tujuan Penulisan
              Berdasarkan uraian dari rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.  Untuk mengetahui pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah ditinjau dari konteks manajemen sektor publik.
2.    Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan keluhan masyarakat terhadap pelayanan publik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.   Konsep Pelayanan Publik
1.    Pengertian Pelayanan Publik
              Istilah pelayanan dalam bahasa Inggris adalah “service” A.S. Moenir (2002:26-27) mendefinisikan “pelayanan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan landasan tertentu dimana tingkat pemuasannya hanya dapat dirasakan oleh orang yang melayani atau dilayani, tergantung kepada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pengguna”.
              Pelayanan pada hakikatnya adalah serangkaian kegiatan, karena itu proses pelayanan berlangsung secara rutin dan berkesinambungan, meliputi seluruh kehidupan organisasi dalam masyarakat. Proses yang dimaksudkan dilakukan sehubungan dengan saling memenuhi kebutuhan antara penerima dan pemberi pelayanan. Pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik (Kotler dalam Lukman, 2000:8). Definisi pelayanan menurut Kotler jelas bahwa pelayanan adalah suatu kumpulan atau kesatuan yang melakukan kegiatan menguntungkan dan menawarkan suatu kepuasan meskipun hasilnya secara fisik tidak terikat kepada produk.
              Lebih Pelayanan berasal dari kata layanan yang artinya kegiatan yang memberikan manfaat kepada orang lain, Simamora dalam bukunya berjudul Memenangkan Pasar Dengan Pemasaran Efektif dan Profesional mendefinisikan layanan sebagai berikut: “Layanan adalah setiap kegiatan atau manfaat yang ditawarkan suatu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun”. (Simamora, 2001:172). Pendapat tersebut, mengemukakan bahwa layanan merupakan kegiatan yang ditawarkan oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat yang tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun yang hasilnya akan bermanfaat bagi masyarakat dan bagi aparatur itu sendiri.
              Menurut Hurriyati (2005:28), menjelaskan bahwa pelayanan adalah seluruh aktivitas ekonomi dengan output selain produk dalam pengertian fisik, dikonsumsi dan diproduksi pada saat bersamaan, memberikan nilai tambah dan secara prinsip tidak berwujud (intangible) bagi pembeli pertamanya. Berdasarkan dari definisi tersebut, dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya pelayanan adalah sesuatu yang tidak berwujud tetapi dapat memenuhi kebutuhan pelanggan atau masyarakat. Pelayanan tidak dapat mengakibatkan peralihan hak atau kepemilikan dan terdapat interaksi antara penyedia jasa dengan pengguna jasa.
              Pengertian pelayanan umum atau pelayanan publik tidak terlepas dari masalah kepentingan umum. Kepentingan umum dengan pelayanan umum saling berkaitan. Pelayanan publik dalam perkembangan lebih lanjut dapat juga timbul karena adanya kewajiban sebagai suatu proses penyelenggaraan kegiatan organisasi. Menurut Dwiyanto (2005:141-145), bahwa pelayanan publik serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh birokrasi publik untuk memenuhi kebutuhan warga pengguna. Pengguna atau pelanggan yang dimaksud menurutnya di sini adalah warga negara yang membutuhkan pelayanan publik, seperti dalam pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), dan sebagainya.
              Pelayanan publik merupakan serangkaian aktifitas yang diberikan oleh suatu organisasi atau birokrasi publik untuk memenuhi kebutuhan yang dibutuhkan masyarakat. Pelayanan publik dimaknai sebagai usaha pemenuhan hak-hak dasar masyarakat dan merupakan kewajiban pemerintah untuk melakukan pemenuhan hak-hak dasar tersebut. (Kurniawan dan Najib, 2008:56). Pelayanan publik sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah dalam bentuk barang dan jasa baik dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan perundang-undangan.
              Lebih lanjut menurut Nurcholis, (2005:175-176), pelayanan publik adalah pelayanan yang diberikan oleh negara dan perusahaan milik negara kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan menurut Mahmudi (2005:213), pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan publik dan pelaksana ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelayanan publik merupakan pelayanan yang diberikan untuk masyarakat banyak. Pelayanan publik diberikan oleh negara melalui organisasi atau perusahaan maupun instansi pemerintah demi menciptakan kesejahteraan masyarakat.
              Pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah yang efektif dapat memperkuat demokrasi dan hak asasi manusia, mempromosikan kemakmuran ekonomi, kohesi sosial, mengurangi kemiskinan, meningkatkan perlindungan lingkungan, bijak dalam pemanfaatan sumberdaya alam, memperdalam kepercayaan pada pemerintahan dan administrasi publik. Pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara pemerintah serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh birokrasi publik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, Negara didirikan oleh publik (masyarakat) tentu saja dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. (Sinambela, 2006:5).
              Berdasarkan penjelasan dari definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pelayanan publik adalah segala bentuk jasa pelayanan baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi pemerintah di Pusat, di daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang- undangan.

a.    Faktor pendukung pelayanan publik
              Pelayanan publik pada dasarnya memuaskan kebutuhan masyarakat yang diberikan oleh pemerintah, oleh karena itu Moenir berpendapat bahwa pemerintah dalam memberikan pelayanan publik terbaik kepada publik, dapat dilakukan dengan cara:
1)    Kemudahan dalam pengurusan kepentingan;
2)    Mendapatkan pelayanan secara wajar;
3)    Mendapatkan perlakuan yang sama tanpa pilih-kasih;
4)    Mendapatkan perlakuan yang jujur dan terus terang. (Moenir, 2006:47).
              Pelayanan yang baik dan memuaskan yang dilakukan oleh institusi pemerintah ataupun organisasi publik lainnya terhadap masyarakatnya, bahwa pelayanan yang terbaik harus dilakukan dengan cara-cara seperti yang dikutip oleh Moenir di atas yaitu dengan cara: pertama, harus memberikan kemudahan dalam pengurusan berbagai urusan agar pelayanan yang dilakukan bisa berjalan dengan cepat. Kedua, harus memberikan pelayanan yang wajar dan tidak berlebihan sesuai dengan keperluannya masing-masing.
              Pelayanan yang diperoleh secara wajar tanpa gerutu, sindiran atau untaian kata lain semacam itu yang nadanya mengarah pada permintaan sesuatu, baik alasan untuk institusi pemerintah ataupun organisasi publik atau alasan untuk kesejahteraan. Misalnya apabila ingin mendapatkan pelayanan yang cepat maka unit kerja diberikan sesuatu sebagai imbalannya agar mendapatkan pelayanan yang sewajarnya, hal demikian sebenarnya ikut membantu penyimpangan secara tidak langsung.
              Ketiga, harus memberikan perlakuan yang sama tanpa pilih kasih dan tidak membeda-bedakan masyarakat dari segi ekonomi maupun dari segi apapun, sehingga masyarakat mendapatkan perlakuan yang adil dalam mengurus berbagai urusan tanpa membedakan status apapun. Mendapatkan perlakuan yang sama dalam pelayanan terhadap kepentingan yang sama, tertib dan tidak pandang status, artinya apabila memang untuk mendapatkan pelayanan diharuskan antre secara tertib, hendaknya semuanya diwajibkan antre sebagaimana yang lain.
              Keempat, masyarakat harus mendapatkan perlakuan yang jujur dan terus terang tanpa membohongi masyarakat yang akan mengurus urusannya. Pelayanan yang jujur dan terus terang, artinya apabila ada hambatan karena suatu masalah yang tidak dapat dielakkan hendaknya diberitahukan.
b.    Asas-asas pelayanan publik
              Pada dasarnya pelayanan publik dilaksanakan dalam suatu rangkaian kegiatan terpadu yang bersifat sederhana, terbuka, lancar, tepat, lengkap, wajar, dan terjangkau. Oleh sebab itu setidaknya mengandung asas-asas antara lain:
1.    Hak dan kewajiban, baik bagi pemberi dan penerima pelayanan public tersebut, harus jelas dan diketahui dengan baik oleh masing-masing pihak, sehingga tidak ada keragu-raguan dalam pelaksanaannya;
2.    Pengaturan setiap bentuk pelayanan umum harus disesuaikan dengan kondisi kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk membayar, berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dengan tetap berpegang pada efisiensi dan efektifitasnya;
3.    Mutu proses keluaran dan hasil pelayanan publik tersebut harus diupayakan agar dapat memberikan keamanan, kenyamanan, kelancaran dan kepastian hukum yang dapat dipertanggungjawabkan;
4.    Apabila pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Instansi atau Lembaga Pemerintah atau Pemerintahan “terpaksa harus mahal”, maka Instansi atau Lembaga Pemerintah atau Pemerintahan yang bersangkutan berkewajiban “memberi peluang” kepada masyarakat untuk ikut menyelenggarakannya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Ibrahim, 2008:19-20).
              Pelayanan publik akan berkualitas apabila memenuhi asas-asas diantaranya hak dan kewajiban; pengaturan setiap bentuk pelayanan umum harus disesuaikan dengan kondisi kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk membayar, berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; mutu proses keluaran dan hasil pelayanan publik tersebut harus dapat memberikan keamanan, kenyamanan, kelancaran dan kepastian hukum; dan apabila pelayanan publik yang diselenggarakan. oleh Instansi atau Lembaga Pemerintah atau Pemerintahan “terpaksa harus mahal”, maka Instansi atau Lembaga Pemerintah atau Pemerintahan yang bersangkutan berkewajiban “memberikan peluang” kepada masyarakat untuk ikut menyelenggarakannya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c.    Indikator pelayanan publik
              Komitmen pelayanan jasa yang baik dalam upaya mempertahankan dan untuk meningkatkan mutu pelayanan yang berkualitas, maka suatu institusi pemerintah atau organisasi publik harus melakukan pengukuran terhadap kualitas pelayanan yang telah disajikannya. Tujuan pelayanan publik pada dasarnya adalah memuaskan masyarakat, untuk mencapai kepuasan itu dituntut kualitas pelayanan publik yang tercermin dari:
1.    Transparansi
       Transparansi adalah pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti. Transparansi meliputi keterbukaan proses penyelenggaraan pelayanan publik, peraturan dan prosedur pelayanan yang dapat dipahami, dan kemudahan untuk memperoleh informasi mengenai berbagai aspek penyelenggaraan pelayanan publik.

2.    Akuntabilitas
       Akuntabilitas adalah pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Akuntabilitas dapat dilihat dari kinerja pelayanan publik, biaya pelayanan publik dan produk pelayanan publik.
3.    Kondisional
       Kondisional adalah pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan. Kemampuan pemerintah dalam melayani masyarakat yang sesuai kondisi pemberi dan penerima pelayanan. Kemampuan pemerintah dalam menghadapi kendala-kendala yang terjadi dalam pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Kondisional meliputi efisien dan efektif.
4.    Partisipatif
       Partisipatif adalah pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat. Partisipatif dapat dilihat dari identifikasi peran masyarakat, identifikasi metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan partisipasi, mencocokan instrumen partisipasi yang sesuai dengan peran masyarakat dalam proses penyelenggaraan layanan publik, memilih instrumen partisipasi yang akan digunakan, dan mengimplementasikan sebuah strategi yang dipilih.

5.    Kesamaan hak
       Kesamaan hak adalah pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apa pun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial, dan lain-lain. Pelayanan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat dengan tidak membeda-bedakan status sosial dan lainnya. Kesamaan hak dapat dilihat dari keteguhan dan ketegasan.
6.    Keseimbangan hak dan kewajiban
       Keseimbangan hak dan kewajiban adalah pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan publik. Pelayanan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat dapat menciptakan keseimbangan hak dan kewajiban aparatur dan penerima pelayanan. Keseimbangan hak dan kewajiban meliputi keadilan dan kejujuran. (Sinambela, 2006:6).
2.    Pengaduan Masyarakat Dalam Pelayanan Publik
              Permasalahan utama pelayanan publik pada dasarnya adalah berkaitan dengan peningkatan kualitas pelayanan itu sendiri. Pelayanan yang berkualitas sangat tergantung pada berbagai aspek, yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya (tata laksana), dukungan sumber daya manusia, dan kelembagaan. Dilihat dari sisi pola penyelenggaraannya, pelayanan publik masih memiliki berbagai kelemahan antara lain:

a)    Kurang responsif
       Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan penanggungjawab instansi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali.
b)    Kurang informatif
       Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat, lambat atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat.
c)    Kurang accessible
       Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari  jangkauan masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan tersebut.
d)    Kurang koordinasi
       Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya sangat kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait.
e)    Birokratis
       Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama. Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan (front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan dilain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan.
f)     Kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat
       Pada umumnya aparat pelayanan kurang memiliki kemauan untuk mendengar keluhan/saran/ aspirasi dari masyarakat. Akibatnya, pelayanan dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu.
g)    Inefisien
       Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan perijinan) seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan. (Raha, 2014).
a.    Pengertian pengaduan masyarakat (complaints)
              Pelayanan publik dengan kualitas yang baik adalah hak bagi setiap orang. Pemerintah wajib melindungi setiap warga negaranya untuk memastikan bahwa mereka telah mendapat pelayanan publik dengan layak. Karena itu, pemerintah perlu mengatur hubungan antara warga negara, sebagai konsumen pelayanan publik, dengan penyelenggara pelayanan publik. Pemerintah mempunyai kewajiban melindungi konsumen pelayanan publik dalam memperoleh hak-haknya.
              Salah satu bentuk dari perlindungan tersebut adalah dengan memberi ruang dan perhatian pada konsumen untuk menyampaikan keluhannya, khususnya untuk konsumen miskin. Keluhan atau komplain dari konsumen merupakan bentuk respon dari konsumen atas pelayanan yang diterimanya. Respon tersebut sebenarnya dapat menggambarkan bagaimana pemenuhan hak masyarakat atas pelayanan publik terjadi. Pemberian ruang dan perhatian yang memadai kepada keluhan dari konsumen merupakan bentuk perlindungan hak konsumen atas pelayanan publik oleh pemerintah.
              Menurut Bell dan Luddington (dalam Asri, 2007) keluhan pelanggan (customer complaints) adalah umpan balik (feedback) dari pelanggan yang ditujukan kepada perusahaan yang cenderung bersifat negatif. Umpan balik ini dapat dilakukan secara tertulis atau lisan. Keluhan (complaints) terjadi apabila pelanggan tidak merasa senang dengan standar pelayanan yang dilakukan oleh perusahaan. Hal ini akan mempengaruhi keluarga dan teman dari pelanggan dan membutuhkan tanggung jawab dari perusahaan.
              Lebih lanjut menurut Bell et all (dalam Asri, 2007), keluhan dari pelanggan adalah sebuah pengalaman berupa umpan balik yang bersifat negatif dari pelanggan yang dapat memberikan efek berbahaya bagi karyawan bagian frontline dan sikap mereka dari aturan yang berlaku. Sedangkan menurut Simon dan James (2006) keluhan/komplain adalah salah satu bagian dari ekspresi negatif yang dihasilkan karena ketidaksesuaian kenyataan dengan keinginan seseorang. Komplain adalah sebuah aksi yang dilakukan oleh seseorang, yang di dalamnya termasuk mengkomunikasikan sesuatu yang negatif terhadap produk atau pelayanan yang dibuat atau dipasarkan.
              Menurut Audy (2014), komplain atau keluhan itu sebenarnya merupakan bagian dari bentuk “Komunikasi“. Sebuah informasi tentang ketidaksesuaian yang dirasakan pihak kedua yang menerima sebuah jasa atau produk. Oleh karena itu, Komplain atau keluhan itu sebenarnya dibutuhkan, karena komplain akan menghasilkan sebuah informasi. Baik informasi positif atau informasi negatif. Bahkan komplain itu merupakan sebuah komunikasi aktif yang bisa menjurus ke dalam sebuah “interaksi“. Sedangkan menurut Insan Dinami Indonesia (2013) menjelaskan bahwa keluhan/komplain pelayanan adalah merupakan ekspresi perasaan ketidakpuasan atas standar pelayanan, tindakan atau tiadanya tindakan aparat pelayanan yang berpengaruh kepada para pelanggan.
              Ada beberapa faktor yang mempengaruhi apakah seorang pelanggan yang tidak puas akan melakukan komplain atau tidak, yaitu:
a)    Derajat kepentingan konsumsi yang dilakukan;
b)    Tingkat ketidakpuasan pelanggan;
c)    Manfaat yang diperoleh;
d)    Pengetahuan dan pengalaman;
e)    Sikap pelanggan terhadap keluhan;
f)     Tingkat kesulitan dalam mendapatkan ganti rugi;
g)    Peluang keberhasilan dalam melakukan komplain. (Insan Dinami Indonesia, 2013).
              Berdasarkan pengertian dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keluhan/komplain adalah bentuk ketidakpuasan para konsumen terhadap sebuah pelayanan yang diberikan oleh sebuah organisasi publik atau swasta terhadap suatu pemberian produk jasa atau dengan kata lain Keluhan merupakan ungkapan publik yang bisa timbul karena adanya ketidakpuasan publik atas suatu produk atau pelayanan.
b.    Bentuk Penyampaian Komplain
              Menurut Asri (2007), apabila pelanggan merasa tidak puas dan ingin menyampaikan keluhannya, maka biasanya pelanggan menggunakan beberapa bentuk diantaranya:
1).   Surat
       Surat biasanya digunakan dalam penyampaian keluhan, pelanggan menyampaikan keluhannya dalam surat ketika mereka merasa sangat tidak puas dengan produk atau pelayanan dari perusahaan. Bentuk ini memiliki keuntungan untuk perusahaan, karena perusahaan memiliki waktu yang lebih untuk memahami masalah yang dihadapi, mencari solusi masalah tersebut kemudian baru setelah itu memberikan surat balasan kepada pelanggan.
2)    Berbicara Langsung Kepada Karyawan
       Bentuk yang paling umum digunakan terutama dalam bisnis retail adalah menyampaikan keluhan langsung kepada karyawan, yang biasanya adalah front line staff atau karyawan dibagian pelayanan pelanggan (costumer service). Keluhan biasanya dalam kata-kata yang tidak formal bahkan kadang-kadang cenderung keras dan kasar. Namun bentuk ini juga memberikan manfaat bagi perusahaan dalam hal penyediaan informasi yang akurat tentang bagaimana pengalaman pelanggan dengan produk dan pelayanan perusahaan, serta peluang bagi karyawan untuk menyelesaikan masalah ini bagi pelanggan dan untuk pengembangan perusahaan di masa depan.
3)    Telepon
       Bentuk ini juga umum digunakan, biasanya dipakai bila pelanggan enggan untuk menuliskan keluhannya, tidak terlalu ingin menggunakan bahasa yang formal dan sedang mengalami ketidakpuasan yang cukup tinggi atas suatu hal. Frekuensi penerimaan keluhan sangat tergantung pada seberapa sering perusahaan menggunakan telepon dalam bentuk call centre atau basic office line. Namun call centre lebih mampu menampung banyak keluhan pelanggan daripada basic office line. Konsekuensi dari bentuk ini adalah waktu yang dimiliki karyawan relative singkat dalam menyelesaikan masalah yang dikeluhkan pelanggan dibandingkan surat atau email.
4)    Email
       Bentuk ini hampir sama dengan surat, biasanya pelanggan cenderung untuk menggambarkan masalah yang lebih kecil dengan harapan dapat diselesaikan dalam waktu yang lebih singkat. Email yang diterima perusahaan akan sangat tergantung kepada seberapa sering perusahaan menggunakan email atau apakah perusahaan menyediakan email yang difungsikan untuk menampung keluhan dari pelanggan.
              Sedangkan menurut Cendikia, dkk (2007:14), konsumen yang secara ekonomi cukup mampu ketika menerima pelayanan publik yang tidak memuaskan, dapat menyampaikan respon pada penyelenggara dengan cara:
1)    Exit Mechanism
       Yaitu dengan meninggalkan penyedia pelayanan publik tersebut dan menggantinya dengan layanan lain yang kualitasnya lebih baik meski dengan biaya yang lebih mahal. Tetapi exit mechanism ini tidak dapat diterapkan untuk sektor-sektor yang telah dimonopoli oleh penyedia pelayanan publik tertentu (baik monopoli dari instansi pemerintah maupun swasta). Penyediaan listrik, jasa telepon, air minum dan masih banyak lagi adalah contoh dari sektor pelayanan publik di mana konsumen tidak dapat melakukan exit mechanism. Konsumen miskin umumnya juga tidak dapat menggunakan pilihan mekanisme, meskipun pada sektor pelayanan publik yang memiliki banyak pilihan.
2)    Voice Mechanism
       Di Indonesia, pengajuan keluhan tersebut sering manifest dalam bentuk-bentuk protes-protes sporadis, misalnya dalam bentuk demonstrasi menggugat institusi pelayanan publik, surat pembaca di media massa, protes-protes publik dalam berbagai event. Pengajuan keluhan dengan cara seperti itu kadang-kadang mampu memperkuat posisi konsumen dalam negosiasi dengan institusi penyedia pelayanan publik. Kadang-kadang berhasil dicapai kesepakatan-kesepakatan positif untuk perbaikan sistem pelayanan publik.
              Sedangkan menurut Hirschman (1970:39), mengungkapkan tiga bentuk respon yang dapat dilakukan masyarakat atas pelayanan yang mengecewakan, yaitu:
1)    Exit, dilakukan ketika masyarakat tidak puas pada pelayanan dengan mencari alternatif pelayanan dari organisasi lain
2)    Voice, dilakukan melalui keluhan pada birokrasi pelayanan
3) Loyalty, merupakan bentuk kesetiaan terhadap birokrasi yang melakukan pelayanan, meskipun mempunyai pilihan untuk exit, namun lebih memilih voice untuk mengungkapkan kekecewaan kemudian tetap loyal pada organisasi meskipun mempunyai rasa kecewa.
              Keluhan sering di pandang sebagai hal buruk bagi kehidupan organisasi, sehingga banyak pihak berusaha menutupi atau mengabaikannya. Padahal keluhan menjadi peringatan bermanfaat untuk meningkatkan kualitas organisasi. Bahkan dengan kemampuan mengelola dan merespon keluhan dapat menjadi kunci keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan, yaitu meningkatkan kepuasan dan loyalitas pelanggan, bahkan dapat meningkatkan keuntungan (Prawirosentono, 2008:51). Bahkan mungkin pula terdapat organisasi yang malah menganggap komplain atau keluhan sebagai upaya menjelekkan organisasi sehingga mereka cenderung melakukan penolakan terhadap komplain yang dilakukan oleh pelanggan.
c.    Jenis Komplain
              Menurut Kotler (2003:59) ada beberapa macam keluhan, yaitu:
1)    Keluhan yang disampaikan secara lisan melalui telepon dan komunikasi secara langsung;
2)    Keluhan yang disampaikan secara tertulis melalui guest complain form.
              Menurut Sugirto (1999:31), keluhan pelanggan dapat di kategorikan atau di kelompokkan menjadi empat, yaitu:
1)    Mechanical Complaint (Keluhan mekanikal)
       Mechanical Complaint adalah suatu keluhan yang disampaikan oleh pelanggan sehubungan dengan tidak berfungsinya peralatan yang dibeli atau disampaikan kepada pelanggan tersebut. Atau dengan kata lain, produk atau output dari pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini dapat terjadi karena kerusakan atau kualitas tidak maksimal.
2)    Attitudinal Complaint (Keluhan akibat sikap petugas pelayanan)
       Attitudinal Complaint adalah keluhan pelanggan yang timbul karena sikap negatif petugas pelayanan pada saat melayani pelanggan. Hal ini dapat dirasakan oleh pelanggan melalui sikap tidak peduli dari petugas pelayanan terhadap pelanggan.
3)    Service Related Complaint (Keluhan yang berhubungan dengan pelayanan)
       Service Related Complaint adalah suatu keluhan pelanggan karena hal-hal yang berhubungan dengan pelayanan itu sendiri. Misalnya seseorang mendaftar untuk ikut serta suatu pertandingan, ternyata formulir pendaftaran belum siap dan oleh petugas diminta untuk menunggu.
4)    Unusual Complaint (Keluhan yang aneh)
       Unusual Complaint adalah keluhan pelanggan yang bagi petugas merupakan keanehan (tidak wajar/tidak umum). Pelanggan yang mengeluh seperti ini biasanya secara psikologis adalah orang-orang yang hidupnya tidak bahagia atau kesepian.
d.    Penanganan Pengaduan di Indonesia
              Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) dalam Cendikia, dkk (2007:15) di beberapa propinsi pada tahun 2005 angka pengaduan konsumen di berbagai instansi pelayanan publik cukup rendah. Tetapi rendahnya angka pengaduan ini sebenarnya tidak menggambarkan kepuasan konsumen atas pelayanan publik. Sebagian orang yang pesimis untuk melakukan pengaduan, sebagian lagi tidak memperoleh akses untuk melakukan pengaduan, bahkan ada cukup banyak orang yang takut untuk melakukan pengaduan.
              Banyaknya masyarakat yang menjadi pesimis karena merasa tidak yakin dengan hasil yang akan dicapai jika ia menyampaikan pengaduan. Kenyataan sering membuktikan bahwa banyak pengaduan tidak ditanggapi secara serius oleh pihak penyedia pelayanan publik. Ketiadaan mekanisme untuk memantau proses penanganan pengaduan, yang membuat orang tidak tahu nasib pengaduan yang disampaikannya, juga berkontribusi menyebabkan sikap pesimis tersebut. Banyak juga konsumen, khususnya konsumen miskin, yang merasa sulit memperoleh akses untuk mengadukan ketidakpuasannya atas pelayanan publik yang diterimanya. Para konsumen tersebut mengalami kesulitan untuk mengetahui sistem pengaduan yang sebenarnya berlaku, untuk menyampaikan pengaduan kepada pihak yang memiliki wewenang penyelesaiaan masalah, dan untuk memantau pengaduan yang mereka lakukan. Alasan ketakutan juga sering muncul pada konsumen dalam menyampaikan komplain. Alasan ini sering muncul khususnya pada konsumen dari keluarga miskin. Menurut Cendikia, dkk (2007:15), faktor hambatan budaya memang menjadi salah satu penyebab munculnya ketakutan atau keengganan untuk mengadu tersebut. Tetapi ketiadaan jaminan bahwa pengadu tidak akan mendapat resiko apapun dari pengaduan yang dilakukannya juga berkontribusi terhadap munculnya alasan tersebut.
              Permasalahan mekanisme komplain tidak hanya disebabkan oleh kelemahan di sisi masyarakat, tetapi juga di sisi pemerintah. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) dalam Cendikia, dkk (2007:15), rendahnya respon instansi penyedia pelayanan terhadap keluhan atau pengaduan dari masyarakat adalah yang mengakibatkan munculnya sikap skeptis dari masyarakat. Warga masyarakat jera untuk mengadukan keluhannya. Karena itu angka pengaduan di beberapa instansi pelayanan publik relatif rendah. Kotak saran dan pengaduan yang dipasang di kantor-kantor instansi pemerintah daerah lebih banyak kosong. Rendahnya angka pengaduan ini sebenarnya tidak menggambarkan kepuasan masyarakat atas pelayanan publik. Tetapi hal itu terjadi justru karena banyak warga masyarakat merasa tidak yakin dengan hasil yang akan diperoleh dengan melakukan pengaduan. Selain itu, warga masyarakat dari kalangan yang tidak mampu dan kurang berpendidikan juga tidak tahu cara mengadukan keluhannya.
              Rendahnya respon terhadap keluhan ini sebelumhya dikemukakan oleh Eliassen dan Kooiman dalam Rahayu (1997:6) yang menyatakan bahwa di dalam negara demokratis sekalipun, dimana masyarakat dapat menuntut pelayanan publik yang dirasakan tidak memuaskan, tetapi hukum lebih bersifat mengatur daripada menanyakan apakah warga masyarakat puas atau tidak dengan pelayanan tersebut. Kondisi dan lingkungan demikian membuat organisasi publik tidak merasa “bergantung” pada klien atau masyarakat pengguna barang dan jasa.
              Hal berbeda terjadi di sektor swasta. Tingginya kompetisi mengakibatkan perusahaan swasta harus memberikan pelayanan yang optimal termasuk menanggapi keluhan/pengaduan konsumen atas pelayanan yang diterimanya. Karena itu, perusahaan swasta biasanya responsif atas keluhan/pengaduan konsumen, bahkan memiliki mekanisme untuk menangani pengaduan dari konsumen tersebut. Menurut Supranto (1997:9) di sektor swasta, pelanggan harus dipuaskan, sebab kalau tidak pelanggan akan meninggalkan dan menjadi pelanggan pesaingnya. Ini pada gilirannya akan menimbulkan kerugian ke perusahaan.
              Padahal menurut Ratminto (2005:75) pelayanan publik yang berkualitas mensyaratkan keseimbangan posisi tawar antara instansi penyedia pelayanan publik dengan masyarakat penerima pelayanan. Keseimbangan posisi tawar itu dapat dicapai salah satunya dengan menerapkan konsep customer complaint system (sistem penanganan pengaduan). Idenya adalah menciptakan suatu sistem penanganan keluhan yang efektif dan responsif, sehingga masyarakat (pelanggan) tidak merasa segan untuk menyampaikan keluhannya atau pengaduannya karena tahu pasti bahwa pengaduan itu pasti akan ditindaklanjuti. Pengaduan atau keluhan ini merupakan salah satu partisipasi masyarakat.
              Mekanisme komplain yang saat ini tersedia umumnya masih belum mampu mendukung terjadinya pengajuan komplain yang efektif, mudah dan murah dari konsumen pelayanan publik. Menurut Cendikia, dkk (2007:17-18), beberapa persoalan yang sering ditemukan adalah sebagai berikut:
1)    Konsumen hanya dapat bertemu dengan personil di bagian pengaduan. Tidak ada media yang secara mudah memungkinkan bertemunya konsumen dengan pihak pengambil keputusan dalam institusi pelayanan publik.
2)    Kewenangan bagian pengaduan hanya menerima pengaduan dari konsumen semata. Bagian ini menjadi sub-ordinat dari manajemen di institusi pelayanan publik. Artinya bagian pengaduan bukan merupakan bagian yang memiliki kewenangan pembuatan keputusan.
3)    Jenis pengaduan yang diperkenankan hanya umumnya hanya keluhan teknis. Konsumen tidak dapat mengadukan masalah yang lebih substansial, seperti pengaduan dugaan korupsi dalam pengadaan fasilitas pelayanan publik atau keluhan terhadap standar pelayanan yang ditetapkan.
4)    Lemahnya mekanisme di internal institusi publik untuk mencegah adanya pungutan dalam pengaduan konsumen. Berkembangnya pungutan biaya tak resmi tersebut akan sangat membebani konsumen dengan taraf ekonomi lemah untuk memanfaatkan bagian pengaduan tersebut.
5)    Institusi pelayanan publik biasanya tidak bersikap pro-aktif dalam mendorong atau memberdayakan konsumen untuk memberi respon. Institusi pelayanan publik umumnya belum menganggap penting respon publik atas pelayanannya.
6)    Jika konsumen tidak puas terhadap penyedia pelayanan publik atas penanganan keluhan yang dilakukannya, konsumen tersebut tidak dapat melakukan apa-apa. Ketidak-puasan tersebut sebenarnya dapat ditndaklanjuti konsumen dengan pengajuan gugatan melalui pengadilan, misalnya dengan class action. Tetapi cara tersebut tidak mudah dan murah bagi konsumen kebanyakan.
7)    Transparansi dalam mekanisme pengelolaan keluhan yang tersedia masih sangat terbatas. Tidak cukup tersedia informasi mengenai prosedur pengaduan, pihak yang bertanggung-jawab atas permasalahan yang dihadapi konsumen, dan proses pengelolaan keluhan. Ketiadaan transparansi tersebut meliputi tiadanya budaya transparansi dari aparat pelayanan publik dan tidak tersedia sistem yang transparan.
8)    Institusi pelayanan publik belum banyak yang mengakui hak partisipasi dari masyarakat (konsumen). Masyarakat belum dapat terlibat dalam proses pengawasan dan pengusulan pelayanan publik. Karena itu, institusi penyedia pelayanan publik sering tidak memperhatikan perlunya mekanisme pengelolaan keluhan.

BAB III
PENUTUP
A.   Simpulan
              Berdasarkan pemaparan yang telah diuraikan dari bab sebelumnya terkait manajemen sektor publik dan keluhan masyarakat terhadap pelayanan publik, maka penulis menyimpulkan sebagai berikut:
1.    Pelayanan publik merupakan segala bentuk jasa pelayanan baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi pemerintah di Pusat, di daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang- undangan.
2.    Keluhan/komplain merupakan bentuk ketidakpuasan para konsumen terhadap sebuah pelayanan yang diberikan oleh sebuah organisasi publik atau swasta terhadap suatu pemberian produk jasa atau dengan kata lain Keluhan merupakan ungkapan publik yang bisa timbul karena adanya ketidakpuasan publik atas suatu produk atau pelayanan.
 Daftar Pustaka
Cendikia, Ilham, dkk. 2007. Implementasi Mekanisme Komplain Terhadap Pelayanan Publik Berbasis Partisipasi Masyarakat. PATTIRO dan ACCESS: Jakarta Selatan.
Dwiyanto, Agus. 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hirschman, Albert O. 1970. Strategi Pembangunan Ekonomi: terjemahan Sitohang, Paul. PT. Dia Rakjat, Yayasan Dana Buku Indonesia: Jakarta.
Hurriyati, Ratih. 2005. Bauran Pemasaran dan Loyalitas Konsumen. CV. Alfabeta: Bandung.
Ibrahim, Amin. 2008. Teori dan Konsep Pelayanan Publik Serta Implementasinya. Bandung : Mandar Maju.
Kotler, Philip. 2003. Manajemen Pemasaran;  edisi kesebelas. Indeks kelompok Gramedia: Jakarta
Kurniawan, J Luthfi dan Mokhammad Najib. 2008. Paradigma Kebijakan Pelayanan Publik. Malang : In Trans.
Lukman, Sampara. 2000. Manajemen Kualitas Pelayanan. Jakarta : STIA LAN.
Mahmudi. 2005. Manajemen Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
Moenir, A.S. 2002. Manajemen Pelayanan Umum Indonesia.Bumi Aksara. Jakarta.
Moenir, A.S. 2002. Manajemen Pelayanan Umum Indonesia : Edisi Revisi. Bumi Aksara. Jakarta.
Nurcholis, Hanif. 2005. Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta : Grasindo.
Prawirosentono, Suryadi. 2008. Kebijakan Kinerja Karyawan. Yogyakarta : BPFE.
Rahayu, Amy Y.S. 1997. Fenomena Sektor Publik dan Era Service Quality, dalam Bisnis dan Birokrasi. PT Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta.
Ratminto, dan Atik Septi W. 2005. Manajemen Pelayanan. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Simamora, Henry. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia. STIE YKPN. Yogyakarta.
Sinambela, P. Lijan. 2006. Reformasi Pelayanan Publik. Jakarta : Bumi Aksara.
Sugiarto, Endar .1999. Psikologi Pelayanan dalam Industri Jasa. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Supranto. 1997. Pengukuran tingkat kepuasan pelanggan untuk menaikkan pangsa pasar. Rineka Cipta: Jakarta.
Halaman Website:
Asri, Nur Sri Ubaya. 2007. Analisis Pengaruh Tindakan di dalam Perilaku Komplain Konsumen. Sumber: http://lontar.ui.ac.id. Diakses pada tanggal 11 Desember 2014 pada pukul 19.30 Wita.
Audy. 2014. Pengertian Komplain. Sumber: http://audygunadarma.blogspot.com/. Diakses pada tanggal 11 Desember 2014 pada pukul 21.00 Wita.
Insan Dinami Indonesia. 2013. Manajemen Keluhan. Sumber: http://insandinami.blogspot.com/. Diakses pada tanggal 11 Desember 2014 pada pukul 23.00 Wita.
Raha, Septian. 2015. Makalah Pelayanan Publik. Sumber: https://www.academia.edu/. Diakses pada tanggal 13 Januari 2015 pada pukul 21.42 Wita.
Peraturan-peraturan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.
Keputusan Menteri Pemberdayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 6 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.