Minggu, 25 Januari 2015

ADMINISTRATIVE LEADERSHIP AND TRANSPARENCY IMPLICATIONS OF ORGANIZATIONAL INFLUENCE ON ETHICAL BEHAVIOR AN ANALYSIS OF THE PERCEPTIONS OF PUBLIC MANAGERS

BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
              Reformasi birokrasi yang menjadi salah satu tuntutan sejak perubahan politik tahun 1998, masih mengalami berbagai kendala dan belum menampakkan hasil maksimal sesuai harapan masyrakat. Berbagai persoalan pelayanan kepada publik yang tersendat dan berbelit-belit masih mewarnai dalam kehidupan birokrasi pemerintahan. Oleh sebab itu, untuk mendukung keberhasilan reformasi birokrasi diperlukan kepemimpinan yang transparan, agar program-program pemerintah yang berkaitan dengan upaya meningkatkan kesejahteraan dapat diketahui secara transparan.
              Pola kepemimpinan yang transparan dalam institusi pemerintah, memang sudah selayaknya untuk dikembangkan sejalan dengan dinamika reformasi politik yang menekankan perlunya pelayanan kepada publik yang lebih memadai dan beradab. Terlebih lagi, tidak bisa dinafikan, bahwa pola kepemimpinan birokrasi di Indonesia cenderung menutup akses informasi bahkan berupaya untuk merahasiakan setiap pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya. Dengan bermacam dalih yang dihubungkan dengan rahasia jabatan ataupun rahasia negara, maka karakter kepemimpinan di badan publik atau milik pemerintah lebih suka menutup diri dan tidak mau mengeksplorasi informasi yang seharusnya menjadi hak masyarakat untuk mengetahui.
              Perilaku pemimpin yang menutup diri dan tabu untuk membuka informasi tentang kinerja pemerintah, khususnya yang berkaitan pelayanan kepada masyarakat, memang cenderung dilembagakan pada masa pemerintahan Orde Baru. Namun tindakan menutup diri tersebut bukan hal yang menjadi masalah pada masa itu. Sebab kepemimpinan lebih banyak difokuskan untuk mengeksplorasi informasi tentang kekuatan pemerintah untuk menguasai rakyat secara sosial, ekonomi maupun politik. Karena itu, informasi yang dinilai memperlemah posisi pemerintah, seperti halnya kelambanan dalam memberikan pelayanan publik, tidak akan dideseminasikan. Tujuannya jelas agar pemerintah tetap memiliki kekuatan untuk mengendalikan masyartakat. Tetapi di pihak lain, sejumlah informasi yang seharusnya dapat dipakai sebagai rujukan masyarakat untuk menilai perilaku aparat pemerintah tidak dapat diketahui secara transparan.
              Kepemimpinan dalam lembaga pemerintah ataupun kepemimpinan birokrasi yang diasumsikan tidak berpihak kepada rakyat, seringkali dikaitkan dengan kultur feodalisme dalam pemerintahan di Indonesia. Padahal sesungguhnya birokrasi sendiri, adalah model ideal untuk menjalankan organisasi dalam rangka mencapai tujuan yang ditetapkan bersama. Tidak bisa diabaikan, bahwa kapitalisme, terlepas dari asumsi memiliki sejumlah kelemahan, tetapi dengan prinsip kerja keras untuk melaksanakan birokrasi yang ideal, mampu meningkatkan produktivitas kerja dan akumulasi modal yang sangat besar. Jadi birokrasi yang denotatif adalah kerja keras yang terstruktur dengan baik. Bukan penyimpangan birokrasi konotatif yang seringkali dihubungkan dengan istilah “birokratis” dalam berbagai urusan dengan pemerintah yang berbelit-belit dan tidak efisien.
              Memasuki reformasi politik, muncul tuntutan untuk melakukan reformasi birokrasi yang menitikberatkan kepada pelaksanaan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Diberlakukannnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) merupakan upaya penguatan terhadap berbagai aturan lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pemerintahn yang demokratis dan berpihak kepada rakyat. Undang-Undang KIP dimaksudkan agar badan publik membuka diri terhadap kritik masyarakat., atau masyarakat dapat ikut mengawasi jalannya pemerintahan karena dapat mengetahui kinerja pemerintah yang diumumkan khalayak.
              Mencermati kondisi itu, diperlukan kepemimpinan birokrasi yang dapat menjalankan komunikasi publik secara transparan, agar semua kegiatan pemerintah dari perencanaan sampai hasil yang dicapai, prosesnya dapat diketahui oleh rakyat. Memang Undang-Undang KIP mengamanatkan, agar rakyat ikut mengawasi jalannya pemerintah. Namun untuk melakukan gerakan menuju pemerintahan yang bersih sesuai dengan prinsip reformasi birokrasi memerlukan proses yang tidak mudah untuk dilalui. Sebab, kehidupan birokrasi pemerintahan di Indonesia sudah terperangkap oleh jerat paternalistik yang mengunggulkan para pemegang otoritas sebagai kelompok dominan di masyarakat. Akibatnya, birokrasi dalam pemerintahan bukan memposisikan untuk melayani masyarakat, tetapi justru menempatkan rakyat sebagai pihak yang harus memnberikan berbagai keistimewewaan terhadap aparat pemerintah beserta sayap-sayap kekuatan politiknya.
B.   Rumusan Masalah
              Berdasarkan uraian singkat dari latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.    Apa yang dimaksud dengan Kepemimpinan Administrasi dan Transparansi?
2.    Bagaimana pengaruh Implikasi Organisasi pada Perilaku Etis?
C.   Tujuan Penulisan
              Berdasarkan pada rumusan masalah tersebut di atas, maka penulisan ini bertujuan:
1.    Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kepemimpinan administrasi dan transparansi
2.    Untuk mengetahui pengaruh Implikasi Organisasi pada Perilaku Etis
BAB II
PEMBAHASAN
A.   Konsep Kepemimpinan Administrasi dan Transparansi
              Pentingnya kepemimpinan dalam organisasi publik di mana-mana tidak perlu dipertanyakan lagi. Sama halnya dengan tanggung jawab para administrator publik sebagai pemimpin dan agen moral, untuk meningkatkan tingkat wacana publik mengenai pelayanan publik itu sendiri. Wacana publik mengenai pelayanan publik di Amerika sebagian besar negatif, yang dikenal dengan istilah “birokrat”. Kata tersebut sering digunakan untuk merendahkan birokrasi yang cenderung mementingkan diri sendiri dan tidak efektif. Terlebih lagi masyarakat yang kurang memiliki kesadaran terhadap lingkungan yang kompleks dimana fungsi pelayanan publik tersebut berada. Misalnya, privatisasi umumnya disetujui, akan tetapi jarang masyarakat menghargai berbagai masalah yang terkait dengan privatisasi, termasuk biaya dan konsekuensinya, serta isu-isu terkait akuntabilitas dan kinerja para aparat pemerintah.
              Demikian halnya yang terjadi di Indonesia, rendahnya kualitas pelayanan publik merupakan salah satu sorotan yang diarahkan kepada birokrasi pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Perbaikan pelayanan publik di era reformasi merupakan harapan seluruh masyarakat, namun dalam perjalanan reformasi, ternyata tidak mengalami perubahan yang signifikan. Berbagai tanggapan masyarakat justru cenderung menunjukkan bahwa berbagai jenis pelayanan publik mengalami kemunduran yang utamanya ditandai dengan banyaknya penyimpangan dalam layanan publik tersebut. Sistem dan prosedur pelayanan yang berbelit-belit, dan sumber daya manusia yang lamban dalam memberikan pelayanan, mahal, tertutup, dan diskriminatif serta berbudaya bukan melayani melainkan dilayani  juga merupakan aspek layanan publik yang banyak disoroti. Rendahnya kualitas pelayanan publik yang dilaksanakan oleh sebagian aparatur pemerintahan atau administrasi negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Kondisi ini karena di dalam kerangka hukum administrasi positif Indonesia saat ini telah diatur tentang standar minimum kualitas pelayanan, namun kepatuhan terhadap standar minimum pelayanan publik tersebut masih belum termanifestasikan dalam pelaksanaan tugas aparatur pemerintah.
              Menurut Garofalo dan Geuras dalam Raymond (2009:69), bahwa pelayan publik yang paling berpengalaman dan siap untuk meningkatkan tingkat wacana serta pemahaman tentang program tertentu dan fungsi dalam pelayanan publik itu sendiri. Tapi perspektif budaya di tingkat masyarakat, serta penekanan pada kepatuhan terhadap integritas pada organisasi dan tingkat individu, terkadang menjadi penghambat dari pemenuhan tanggung jawab administrasi tersebut. Sedangkan menurut Rasyid (1998:42) pemerintahan pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyaraakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama. Karenanya birokrasi publik berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan layanan baik dan profesional.
 1.    Pengertian Kepemimpinan
              Kepemimpinan secara harfian berasal dari kata pimpin. Kata pimpin mengandung pengertian mengarahkan, membina atau mengatur, menuntun dan juga menunjukkan ataupun mempengaruhi. Pemimpin mempunyai tanggung jawab baik secara fisik maupun spiritual terhadap keberhasilan aktivitas kerja dari yang dipimpin, sehingga menjadi pemimpin itu tidak mudah dan tidak akan setiap orang mempunyai kesamaan di dalam menjalankan ke-pemimpinannya.
              Menurut Wahjosumidjo (2005:17) kepemimpinan diterjemahkan ke dalam istilah sifat-sifat, perilaku pribadi, pengaruh terhadap orang lain, pola- pola, interaksi, hubungan kerja sama antar peran, kedudukan dari satu jabatan administratif, dan persuasif, dan persepsi dari lain-lain tentang legitimasi pengaruh. Sedangkan menurut Thoha (2010:9) kepemimpinan adalah kegiatan untuk memengaruhi perilaku orang lain, atau seni memengaruhi perilaku manusia baik perorangan maupun kelompok.
              Kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam suatu organisai karena sebagian besar keberhasilan dan kegagalan suatu organisasi ditentukan oleh kepemimpinan dalam organisasi tersebut. Menurut Turney (1992) dalam Yamin dan Maisah (2010:74) mandefinisikan kepemimpinan sebagai suatu proses yang dilakukan oleh seseorang dalam mengelola dan menginspirasikan sejumlah pekerjaan untuk mencapai tujuan organisasi melalui aplikasi teknik-teknik manajemen.
              Terry (dalam Thoha, 2010:5) mengartikan bahwa Kepemimpinan adalah aktivitas untuk mempengaruhi orang-orang supaya diarahkan mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya.
              Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan cara seorang pemimpin dalam mempengaruhi bawahan dengan karakteristik tententu sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Faktor keberhasilan seorang pemimpin salah satunya tergantung dengan teknik kepemimpinan yang dilakukan dalam menciptakan situasi sehingga menyebabkan orang yang dipimpinnya timbul kesadarannya untuk melaksanakan apa yang dikehendaki. Dengan kata lain, efektif atau tidaknya seorang pemimpin tergantung dari bagaimana kemampuannya dalam mengelola dan menerapkan pola kepemimpinannya sesuai dengan situasi dan kondisi organisasi tersebut.
2.    Etika Kepemimpinan
              Pada dasarnya setiap individu memiliki kepentingan yang berbeda-beda, oleh karenya diperlukan sebuah aturan-aturan yang mampu meminimalisir gesekan antar kepentingan tersebut. Demikian halnya dalam sebuah organisasi, selain adanya aturan tertulis, diperlukan juga aturan tidak tertulis yang mengatur hubungan antar rekan kerja untuk memastikan tercapainya tujuan organisasi tersebut.
              Etika kepemimpinan merupakan cara-cara yang dianggap benar secara umum oleh sekelompok masyarakat dalam upaya untuk mempengaruhi orang lain untuk mencapai suatu tujuan bersama yang dimiliki oleh suatu organisasi. Nilai yang terpenting dalam etika kepemimpinan adalah nilai-nilai moral dimana seorang pemimpin yang visioner adalah pemimpin yang memiliki beberapa kriteria antara lain:
1.    Memiliki kompetensi untuk mewujudkan visi organisasi secara bersama-sama dengan SDM yang dipimpinnya.
2.    Memiliki kemampuan rethinking future
3.    Mampu menggerakkan seluruh potensi yang dimiliki organisasi
4.    Mempunyai kewibawaan sehingga mampu membangun semangat setiap pribadi untuk mengambil bagian dalam mewujudkan tujuan
              Adapun syarat-syarat pemimpin yang beretika antara lain:
1.    Memiliki hati nurani yang baik
2.    Memiliki komitmen terhadap etika keutamaan
3.    Memiliki etika kewajiban (Yusuf dkk, 2012)
              Lebih lanjut menurut Yusuf dkk (2012) komponen-komponen dari etika kepemimpinan adalah sebagai berikut:
1.    Ethical communication
       Pemimpin yang beretika akan menerapkan standar kejujuran untuk setiap bawahan yang dipimpinnya.
2.    Ethical Quality
       Seorang pemimpin yang beretika paham bahwa ada tiga factor yang menentukan tingkat kompetitifnya suatu organisasi, yaitu produk yang berkualitas, pelayanan pelanggan yang berkualitas dan pengiriman yang berkualitas.
 3.    Ethical Collaboration
       Pemimpin yang beretika membutuhkan banyak penasihat. Ia akan memilih penasihat yang paling unggul di dalam organisasinya dan akan mempekerjakan beberapa orang penasihat dari luar perusahaan.
3.    Agen Moral, Moral Kepemimpinan dan Transparansi Pada Pelayanan Publik
              Tiga konsep yang sangat penting untuk meningkatkan wacana publik dalam pemerintahan adalah agen moral, kompetensi moral, dan transparansi. Menurut Garofalo dan Geuras dalam Raymond (2009:70) administrasi publik adalah hal yang sangat pokok dan bahwa pelayan publik adalah agen moral. Sedangkan menurut Pfiffner dan Presthus dalam dalam Syafiie (1999:24-25), administrasi publik adalah suatu proses yang bersangkutan dengan pelaksanaan kebijakan-kebijakan pemerintah, pengarahan kecakapan teknik-teknik yang tidak terhingga jumlahnya, memberikan arah dan maksud terhadap usaha sejumlah orang.
              Sebagaimana yang diuraikan oleh Garofalo dan Geuras dalam Raymond (2009:70) bahwa dalam konteks ini pelayan publik memiliki beberapa peran kepentinngan dan prioritas yang sangat banyak juga. Pelayan publik memiliki peran sentral, dimana peranan moral merupakan suatu hal yang mendasar untuk legitimasi administrasi publik. Pada akhirnya, administrasi publik menyajikan nilai-nilai sosial, dan menyangkut pembenaran dari tujuan dan sarana dimana nilai-nilai tersebut berlaku. Hal tersebut adalah dasar dari administrasi publik sebagai legitimasi moral dalam pemerintahan.
              Lebih lanjut Garofalo dan Geuras (2005) dalam Raymond (2009:70) berpendapat bahwa legitimasi moral tidak cukup untuk kepemimpinan layanan publik yang efektif. Ini harus disertai dengan kompetensi moral, yang merupakan dimensi kunci dari keterampilan profesional yang diperlukan baik oleh pemerintahan. Gambaran kedua dari  Kenneth Winston (2003) dalam Raymond (2009:70) terkait analisis etika terpadu menjelaskan bahwa individual, karakteristik kelembagaan dan kapasitas, didasarkan pada sifat moral demokrasi. Serta kesetiaan kepada publik, keyakinan pengambilan keputusan, dan pelaksanaan kebijaksanaan yang bertanggung jawab mendukung secara sah moral dan kompeten moral kepemimpinan pelayanan publik. Garofalo dan Geuras 2005, dalam Raymond (2009:70).
              Sesuai dengan gambaran dari Moore (1995) dalam Raymond (2009:70) pelayanan publik, bukan hanya mencari nilai publik, menggunakan inisiatif dan penilaian, akan tetapi juga menjadi responsif terhadap otoritas politik, kita membayangkan kepemimpinan pelayanan publik yang mengartikulasikan nilai-nilai, mengembangkan visi, kejelasan, dan keyakinan termasuk kompetensi moral, (Garofalo dan Geuras dalam Raymond (2009:70). Ini adalah kepemimpinan yang memerlukan kebijaksanaan, pilihan sulit, dan keterbukaan. Pegawai negeri adalah pelaku moral dimana kebijaksanaan dan keputusan menuntut penerapan pertimbangan moral dalam kebijakan dan manajemen, daripada hanya sekedar ketaatan kepada perintah secara hirarkis. Meskipun hal ini tidak mengecualikan kebutuhan hukum, kode, dan sanksi, dan legalistik ini merupakan hal yang penting dalam kepemimpinan moral.
              Konsep terakhir untuk meningkatkan wacana publik dan tata kelola adalah transparansi. Transparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga, dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau. Menurut Raymond (2009:70) Transparansi adalah instrumental dan nilai normatif, baik dimaksudkan untuk meningkatkan informasi kepada warga untuk memfasilitasi pilihan yang lebih efektif dan untuk memastikan akuntabilitas yang lebih besar, dan dirancang untuk berkontribusi terhadap tata kelola yang sah dengan membantu untuk menyelesaikan masalah utama. Sedangkan menurut Menurut Hafiz (2000:40) Transparansi adalah Keterbukaan dan kejujuran kepada masyarakat berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengetahui secara terbuka dan menyeluruh atas pertanggungjawaban pemerintahan dalam sumber daya yang dipercayakan kepadanya dan ketaatannya pada peraturan perundang-undangan.
              Lebih lanjut menurut Andrianto (2007:20) Transparansi adalah Keterbukaan secara sungguh-sungguh, menyeluruh, dan memberi tempat bagi partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam proses pengelolaan sumber daya publik. Namun penerapan transparansi dalam keadaan tertentu sering bertentangan dengan nilai-nilai atau kepentingan lainnya. Sebagai contoh, pengungkapan data dapat membahayakan privasi, keamanan publik, atau hak milik informasi. Oleh karena itu, keterampilan yang dibutuhkan untuk menafsirkan dan menerapkan informasi dan untuk membedakan kegunaan transparansi dalam situasi tertentu merupakan elemen penting dalam pemerintahan. (Fenster et al dalam Raymond, 2009:70). Raymond (2009:70-71) berpendapat bahwa keterampilan pelayan publik merupakan hal pokok yang didasarkan atas kesadaran moral dan kompeten untuk melakukan pekerjaan mereka dan untuk berkontribusi pada peningkatan wacana publik dan kualitas keputusan publik.
4.    Indikator Transparansi Pada Pelayanan Publik
              Prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi mengenai kebijakan, proses pembuatan, pelaksanaan, dan hasil yang dicapai.
              Prinsip ini menekankan kepada 2 (dua) aspek, yaitu:
a.    Komunikasi publik oleh pemerintah.
b.    Hak masyarakat terhadap akses informasi.
              Menurut Krina (2003:17) Indikator-indikator dari Transparansi adalah sebagai berikut:
a.    Penyediaan informasi yang jelas tentang tanggung jawab;
b.    Kemudahan akses informasi;
c.    Menyusun suatu mekanisme pengaduan jika ada peraturan yang dilanggar atau permintaan untuk membayar uang suap; dan
d.    Meningkatkan arus informasi melalui kerjasama dengan media massa dan lembaga non pemerintah.
5.    Membingkai Kepemimpinan Administrasi dan Transparansi
              Sama seperti kolaborasi antara warga dan pegawai negeri sangat penting untuk penciptaan wacana publik dan penilaian masyarakat, demikian juga kolaborasi antara pegawai negeri, akademisi, asosiasi profesi, dan kelompok kepentingan umum penting untuk membingkai hubungan antara kepemimpinan administrasi dan transparansi. Hal yang mendasar untuk proses ini adalah revitalisasi saling percaya, perjanjian antara administrator publik, seperti perserikatan warga dengan kita semua, dan masyarakat umum. Dalam hal ini, Garofalo dan Geuras dalam Raymond (2009:74) mengusulkan konsep yang mirip dengan Benjamin Barber (1998) yang disebut forum sipil nasional dimana pidato umum dan argumen politik yang wajar antara geografis dan penyebaran ekonomi masyarakat menjadi mungkin.
              Hal tersebut menurut Barber dalam Raymond (2009:74) adalah sebuah keuntungan dalam forum tersebut termasuk percakapan horizontal antara warga negara dan bukan percakapan vertikal yang lebih khusus antara warga dan elit. Musyawarah yang berlangsung bukan peristiwa tunggal; dan kemungkinan penggunaan media interaktif untuk memungkinkan dialog sebagai bentuk penentangan, misalnya, dominasi komersial proses pemilu. Hal tersebut bermanfaat untuk pertimbangan serius, sepanjang dengan pertimbangan pelayan publik sebagai agen moral dalam wacana publik. Peran baru yang lebih sentral, kesadaran moral dan kompetensi moral administrator publik akan menjembatani kesenjangan antara warga dan para tenaga ahli dengan mewujudkan kualitas baik dan memberikan kontribusi perhatian secara jelas untuk nilai-nilai serta informasi teknis dan kemampuan yang diperlukan untuk penilaian kebijakan informasi.
              Panggilan untuk pegawai negeri adalah kebutuhan untuk administrator publik untuk bertindak secara etis. Konteks ini adalah pada kapasitas organisasi pemerintah yang mempengaruhi pelaksanaan diskresi kekuasaan pegawai negeri (Bailey et al dalam Raymond, 2009:77). konflik antara nilai-nilai organisasi, misi dan tujuan dari organisasi publik dapat menyebabkan perilaku menyimpang dalam batas-batas organisasi.
              Sebuah pertanyaan kunci: mengapa orang-orang dalam organisasi publik melakukan hal-hal yang mereka tidak akan pernah melakukannya sendiri? Organisasi dimana orang bekerja dan didorong untuk mengaktualisasikan diri melalui motivasi dan sosialisasi dengan individu lainnya. Kepatuhan terhadap otoritas menjelaskan sebagian perilaku yang ditemukan di dalam organisasi publik. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Milgram 1974 dalam Raymond (2009:77) menemukan bahwa sebagian besar penduduk Amerika mungkin cenderung untuk mematuhi otoritas, bahkan ketika melakukan hal itu melibatkan tindakan yang tampaknya berbahaya bagi orang lain. Penelitian tersebut berusaha untuk memberikan daya prediksi apakah kontrol etika bekerja. Penelitian yang dilakukan tersebut mengisi kekosongan dalam literatur dengan membangun hubungan penting antara budaya organisasi publik dan perilaku etis.
              Cohen dalam Raymond (2009:77) menjelaskan bahwa pengaturan etika yang paling kondusif dan prediksi tanggung jawab perilaku moral dalam organisasi administrasi publik membutuhkan perilaku. Menurut Cohen dalam Raymond (2009:77) Perilaku etis secara sengaja melibatkan tindakan tanggung jawab, menghormati implisit dan eksplisit kontrak sosial, dan berusaha untuk mencegah, menghindari atau memperbaiki kerusakan. Khususnya dalam konteks organisasi, perilaku ini juga termasuk memperkenalkan goodwill (kelakuan baik) dalam jangka panjang dan melintasi batas-batas kelompok dan menghormati kebutuhan orang lain baik di dalam maupun di luar perusahaan.
1.    Pengaruh Etika Organisasi
              Waldo (1974) dalam Raymond (2009:78) menjelaskan bahwa tanggung jawab public managers menghadirkan dua prinsip yaitu individu dan organisasi merupakan dilema etika yang dihadapi oleh pelayan publik. Pendekatan organisasi dalam paradigma birokrasi tradisional administrasi publik akan panggilan etika ditegakkan oleh otoritas birokrasi (Fox et al dalam Raymond, 2009:78). Otoritas etika ditegakkan dalam menciptakan birokrasi hierarkis yang tersusun untuk mengarahkan administrator publik dengan aturan dan kontrol koordinasi dengan tenaga ahli menggunakan prinsip-prinsip ilmiah (Gulick et al dalam Raymond, 2009:78).
              Kontras model birokrasi rasional berpendapat pendekatan tanggung jawab merupakan langkah kunci dalam mengukur pengendalian etis. Sedangkan teori Postmodern mendukung desentralisasi lembaga pemerintah dan kekuatan akuntabilitas dan responsibilitas untuk tingkat yang lebih rendah dalam rantai kepemimpinan. dimana akuntabilitas berpusat pada kontrol eksternal, sedangkan responsibilitas berfokus pada pengendalian internal. Pembagian kekuasaan yang lebih membutuhkan kebijaksaaan yang lebih besar dalam alokasi tugas dan panggilan untuk partisipasi eksternal yang lebih besar pada bagian dari masyarakat untuk memegang pemimpin publik yang bertanggung jawab dan untuk menciptakan ketergantungan pada kelompok eksternal (Gortner dalam Raymond, 2009:78).
     Gerakan administrasi publik terhadap akuntabilitas diri menunjukkan perlunya mempertimbangkan kontrol internal organisasi. Cooper dalam Raymond (2009:78) menyatakan bahwa struktur dan budaya organisasi memberikan nilai terhadap keputusan langsung dan tindakan pegawai negeri. Budaya organisasi adalah asumsi dasar dan keyakinan yang dimiliki oleh anggota organisasi (Schein dalam Raymond, 2009:78). Namun iklim organisasi berbeda, dari budaya organisasi (Cullen et al dalam Raymond, 2009:78). Menurut Ott (1989) dalam Raymond (2009:78) perilaku individu terjadi dalam lingkungan psikologis didasarkan pada iklim organisasi. Norma-norma individu mempengaruhi iklim organisasi dan berkembang menjadi institusi sistem yang dikenal oleh anggota organisasi. Iklim etika organisasi adalah kumpulan persepsi bersama tentang apa yang merupakan etika yang benar masalah perilaku dan bagaimana etika harus ditangani (Victor dan Cullen dalam Raymond, 2009:79).
2.    Definisi Organisasi Publik
            Organisasi publik melayani peran dalam memberikan pelayanan publik dan menciptakan serta melaksanakan kebijakan publik. Peran ini melampaui masalah efisiensi dan efektivitas dan termasuk nilai-nilai kesetaraan, keadilan, dan transparansi (Appleby et all dalam Raymond, 2009:79).
           Otoritas politik menyiratkan kepemilikan publik, yang pada gilirannya memberikan perbedaan yang jelas dengan organisasi swasta melalui pendekatan tujuan kontrol organisasi. Apalagi, nilai demokrasi yang melekat dalam organisasi publik dan nilai-nilai berbasis pasar yang melekat dalam organisasi swasta memaksakan tantangan manajemen yang berbeda secara signifikan untuk bidang-bidang seperti pengambilan keputusan dan sistem penghargaan karyawan (Box 1999 dalam Raymond, 2009:79).
        Raymond (2009:79) mendefinisikan organisasi publik sebagai kolektif individu beroperasi dalam batas yang mendefinisikan orang dalam dan orang luar. Pegawai pemerintah beroperasi dalam sistem kegiatan dan koordinat untuk mencapai tujuan kebijakan khusus, merefleksikan nilai-nilai demokrasi, keadilan sosial, dan tanggap terhadap warga. Kegiatan berada di bawah kendali entitas politik yang menciptakan hasil yang diharapkan untuk proses, produk, atau jasa. Ekspektasi perilaku yang ada dalam proses sosialisasi dalam batas-batas yang ditetapkan organisasi.
       Lebih lanjut menurut Siagian, (2006:6), menjelaskan organisasi sebagai “Setiap bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih yang bekerja bersama serta secara formal terikat dalam rangka pencapaian suatu tujuan yang telah ditentukan dalam ikatan yang terdapat seorangatau beberapa orang yang disebut atasan dan seorang atau sekelompok orang yang disebut bawahan”.
              Definisi di atas menunjukkan bahwa orgaisasi dapat ditinjau dari dua segi
pandangan, yaitu ebagai berikut:
a.    Organisasi sebagai wadah di mana kegiatan-kegiatan administrasi dijalankan.
b.    Organisasi sebagai rangkaian hierarki dan interaksi antara orang-orang dalam suatu ikatan formal.
              Menurut Dimock dalam Tangkilisan (2005:132), mendefinisikan organisasi sebagai suatu cara yang sistematis untuk memadukan bagian-bagian yang saling tergantung menjadi suatu kesatuan yang utuh dimana kewenangan, koordinasi, dan pengawasan dilatih untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Sedangkan menurut Waldo dalam Syafie dengan (2004:96), menjelaskan bahwa “Organisasi sebagai suatu struktur dan kewenangankewenangan dan kebiasaan dalam hubungan antar orang-orang pada suatu sistem administrasi”.
              Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan organisasi antara lain adalah sebagai berikut:
a.    Wadah atau tempat terselenggaranya administrasi;
b.    Di dalamnya terjadi hubungan antar individu atau kelompok, baik dalam organisasi itu sendiri maupun keluar organisasi;
c.    Terjadi kerja sama dan pembagian tugas dalam organisasi tersebut;
d.    Berlangsungnya proses aktivitas berdasarkan kinerja masing-masing.
              Lebih lanjut menurut Muhammad, (2004:29) menjelaskan bahwa tiap organisasi disamping mempunyai elemen yang umum juga mempunyai karakteristik organisasi yang umum diantaranya adalah sebagai berikut:
a.    Dinamis, disebabkan karena adanya perubahan ekonomi, kondisi sosial dan teknologi;
b.    Memerlukan informasi, dan melalui proses komunikasi;
c.    Mempunyai maksud dan tujuan tertentu;
d.  Testruktur, organisasi dalam usaha mencapai tujuan biasanya membuat aturan-aturan, undang-undang dan hierarki hubungan dalam organisasi.
3.    Konseptualisasi Budaya dan Iklim Organisasi
              Inti dari budaya organisasi terletak pada pola yang mendasari asumsi, keyakinan, dan nilai-nilai dan tidak dalam perilaku terbuka. Schein (1992) dan Ott (1989) dalam Raymond (2009:79) menjelaskan bahwa fokus definisi budaya organisasi berada disekitar komponen kognitif dari pola asumsi dasar bersama dipelajari oleh anggota organisasi dalam menanggapi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal.
               Menurut Ott dan Schein dalam Raymond (2009:79) Teori organisasi menekankan nilai-nilai, norma-norma, ritual, dan mitos bersama oleh anggota organisasi saat menjelaskan budaya organisasi. Mereka melihat budaya dalam suatu organisasi sebagai variabel mirip dengan strategi atau struktur. Tiga teori organisasi budaya perspektif, integrasi, diferensiasi, dan fragmentasi, membantu menjelaskan perbedaan pendekatan untuk berteori budaya organisasi (Martin, dalam Raymond, 2009:79). Menurut Ott dan Schein dalam Raymond (2009:80) mendefinisikan budaya organisasi sebagai organisasi yang terlihat elemen, nilai-nilai dan asumsi tersembunyi yang menyediakan aturan perilaku untuk anggotanya. Konsensus pada unsur-unsur yang terlihat, nilai-nilai dan asumsi menghubungkan anggota organisasi. Perbedaan pendapat tidak mengecualikan organisasi anggota karena beberapa arti oleh masing-masing anggota.
          Iklim organisasi adalah arena dimana perilaku individu terjadi (Barker dan Ott dalam Raymond, 2009:80). Perilaku ini berevolusi menjadi sistem kelembagaan yang dikenal oleh anggota organisasi dan memberikan sinyal untuk perilaku yang benar (Victor dan Cullen 1987). Berlaku persepsi karyawan organisasi sinyal mengacu pada perjanjian umum di antara anggota perusahaan tentang apa praktik dan prosedur organisasi benar-benar berarti dalam hal yang diharapkan perilaku (Vidaver-Cohen 1988).
              Moran dan Volkwein (1986) dalam Raymond (2009:80) menjelaskan bahwa iklim organisasi beroperasi di tingkat sikap dan perilaku aktual sedangkan budaya beroperasi pada dasar asumsi dan nilai-nilai. Oleh karena itu iklim organisasi, adalah pola perilaku oleh anggota organisasi berdasarkan harapan perilaku.
4.    Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Perilaku Etis Seseorang
              Budaya organisasi menurut Schein dalam Sobirin (2007:132) adalah pola asumsi dasar yang dianut bersama oleh sekelompok orang setelah sebelumnya mereka mempelajari dan meyakini kebenaran pola asumsi tersebut sebagai cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang berkaitan dengan adaptasi eksternal dan integrasi internal, sehingga pola asumsi dasar tersebut perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk berpersepsi, berpikir dan mengungkapkan perasaannya dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan organisasi.
              Budaya organisasi sangatlah penting untuk dipahami karena budaya organisasi dapat mempengaruhi cara orang dalam berprilaku dan harus menjadi patokan dalam setiap program pengembangan organisasi dan kebijakan yang diambil. Hal ini terkait dengan bagaimana budaya itu mempengaruhi organisasi dan bagaimana suatu budaya itu dapat dikelola oleh organisasi.
              Budaya perusahaan pada dasarnya mewakili norma-norma perilaku yang diikuti oleh para anggota organisasi, termasuk mereka yang berada dalam hierarki organisasi. Bagi organisasi yang masih didominasi oleh pendiri, maka budayanya akan menjadi wahana untuk mengkomunikasikan harapan-harapan pendiri kepada para pekerja lainnya. Demikian pula jika perusahaan dikelola oleh seorang manajer senior otokratis yang menerapkan gaya kepemimpinan top down. Disini budaya juga akan berperan untuk mengkomunikasikan harapan-harapan manajer senior itu.
              Isu dan kekuatan suatu budaya memengaruhi suasana etis sebuah organisasi dan perilaku etis para anggotanya. Budaya sebuah organisasi yang punya kemungkinan paling besar untuk membentuk standar dan etika tinggi adalah budaya yang tinggi toleransinya terhadap risiko tinggi, sedang, sampai rendah dalam hal keagresifan, dan fokus pada sarana selain itu juga hasil.
              Manajemen dapat melakukan beberapa hal dalam menciptakan budaya yang lebih etis, yaitu:
a.         Model peran yang visibel
    Karyawan akan melihat sikap dan perilaku manajemen puncak (Top Management) sebagai acuan/landasan standar untuk menentukan perilaku dan tidakan-tindakan yang semestinya diambil.
b.    Komunikasi harapan etis ambiguitas
       Etika dapat diminimalisir dengan menciptakan dan mengkomunikasikan kode etik organisasi.
 c.    Pelatihan etis
     Pelatihan etis digunakan untuk memperkuat standar, tuntunan organisasi, menjelaskan praktik yang diperbolehkan dan yang tidak, dan menangani dilema etika yang mungkin muncul.
 BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
              Berdasarkan pemaparan singkat dari makalah tersebut terkait kepemimpinan administrasi dan transparansi serta pengaruh organisasi terhadap perilaku etis, maka dari itu penulis dapat menyimpulkan yaitu:
1.    Hal yang mendasar untuk membingkai hubungan antara kepemimpinan administrasi dan transparansi adalah revitalisasi saling percaya, perjanjian antara administrator publik dengan masyarakat melalui forum sipil nasional.
2.    Budaya organisasi adalah prediktif perilaku etis, inovasi kepemimpinan, dan untuk tingkat kohesi yang lebih rendah, tampaknya dimensi budaya organisasi merupakan kunci dalam hal mengembangkan etika iklim, dan menciptakan norma-norma organisasi dan memprediksi perilaku etis.
DAFTAR PUSTAKA
Andrianto, Nico, 2007. Transparasi dan Akuntabilitas Publik Melalui e-Government. Malang: Bayumedia Publishing.
Hafiz, Abdul Tanjung, 2000. Akuntansi, Transparansi, dan Akuntabiltas Keuangan Publik (Sebuah Tantangan). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Krina, Loina L, 2003. Indikator Dan Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparasi dan, Partisipasi. Jakarta: BAPENAS 9.
Muhammad, Arni, 2004. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Rasyid, Muhammad Ryaas, 1998. Desentralisasi Dalam Menunjang Pembangunan Daerah dalam Pembangunan Administrasi Di Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES.
Raymond, W Cox III, 2009. Ethics and Integrity in Public Administration; Concepts and Cases. New York: M.E.Sharpe Armonk.
Siagian, Sondang. P, 2006. Sistem Informasi Manajemen. Jakarta :PT. Bumi Aksara.
Sobirin, Achmad, 2007. Budaya Organisasi. Yokyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN.
Syafiie, Inu Kencana, 1999. Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia. Bandung: Refika Aditama.
Tangkilisan, Hessel Nogi S, 2005. Manajemen Publik. Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia.
Thoha, Miftah 2010. Kepemimpinan dan Manajemen, Devisi Buku Perguruan Tinggi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Wahjosumidjo, 2005. Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta: PT Raja Garfindo Persada.
Yamin, Martinis dan Maisah. 2010. Standarisasi Kinerja Guru. Jakarta: Persada Press.
Yusuf, Adian dkk, 2012. Etika Kepemimpinan. Sumber: https://prezi.com/plwximctlmnp/etika-kepemimpinan/ di akses pada tanggal 5 Desember 2014 pada pukul 14.00 Wita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar